Jumat, 16 Mei 2014

PATTIDĀNA



PATTIDĀNA
Oleh: Sāmaṇera Guṇapiyo


Adāsi me akāsi me
Ñatimittā sakhā ca me.
petānaṁ dakkhinaṁ dajjā
pubbe katamanussaran’ti”
orang yang mengenang budi yang mereka lakukan di waktu lampau bahwa,
‘Ia memberi ini kepadaku. Ia melakukan hal ini untukku. Ia adalah kerabatku, sahabatku, dan temanku,’
Patut memberikan persembahan dāna kepada mereka yang telah meninggal.
(Tirokuḍḍa Sutta: Khuddakanikāya, Kuddakapāṭha)


Upacara pattidāna bukan sebuah upacara yang baru terdengar atau asing dalam kehidupan kita, terlebih lagi kita yang berumat Buddha. Dalam upacara kematian, malam duka, pemakaman jenazah, mengenang 3 hari, , 7 hari, 49 hari, 100 hari, 1 tahun, 1000 hari, atau tahunan upacara pattidāna adalah yang kerap kali dilaksanakan. Namun yang jadi permasalahan dalam melaksanakan pattidāna kadang ada orang yang belum mengerti, apa itu pattidāna dan apa tujuan serta manfaatnya, demikian yang sering muncul pertanyaan dalam orang yang melakukan pattidāna.

Pattidāna berasal dari dua kata yaitu patti yang berarti ‘jasa’ dan dāna  yang berarti pemberian. Seperti syair yang tertulis di atas, “orang yang mengenang budi yang mereka lakukan di waktu lampau bahwa, ‘Ia memberi ini kepadaku. Ia melakukan hal ini untukku. Ia adalah kerabatku, sahabatku, dan temanku,’ Patut memberikan persembahan dāna kepada mereka yang telah meninggal.” Artinya pattidāna merupakan suatu pemberian jasa dari seseorang kepada makhluk lainnya. Mengacu pada petikan syair di atas, pattidāna merupakan sesuatu yang patut dilakukan ketika seseorang mengenang jasa baik atau budi baik yang telah didapatkannya dari orang lain. Pattidāna juga merupakan bentuk ucapan terima kasih atas apa yang diterima sebelumnya. Dalam Maṅgala-sutta dikatakan, “Menghormat ayah dan ibu, membantu anak dan isteri, hidup tanpa cela, adalah berkah utama.” Artinya melakukan penghormatan terhadap orangtua baik itu semasih hidup atau sudah meninggal dunia  merupakan berkah utama. Menghormat orangtua ketika mereka telah meninggal dapat dilakukan dengan melakukan pattidāna yaitu melakukan pelimpahan jasa-jasa baik yang telah dilakukan.
Bagaimana cara melakukan pattidāna? Cara melakukannya adalah dengan cara melakukan suatu perbuatan baik terlebih dahulu, bisa itu berdana kepada anggota Saṅgha, berdana sesuatu yang dibutuhkan oleh orang yang membutuhkan, membersihkan vihāra, atau jika dimungkinkan ketika mengenang hari meninggalnya anggota keluarga, kita dapat mengundang anggota saṅgha untuk membacakan paritta avamaṅgala, beserta umat-umat Buddha, dalam upacara tersebutlah keluarga yang bersangkutan melimpahkan jasa-jasa kebajikannya. Ketika melakukan suatu perbuatan baik, diawali dengan pikiran baik, dan merasa bahagia setelah melakukannya, rasa bahagia itulah yang nantinya diberikan, dilimpahkan kepada para leluhur atau sanak saudara yang telah meninggal, dengan harapan semoga mereka juga turut berbahagia.

Yang menjadi syarat pattidāna dapat dilakukan dan dapat dirasakan oleh penerimanya adalah, perbuatan baik yang dilakukan hendaknya dilakukan oleh orang  yang merupakan anggota keluarga dari almarhum, atau dari si penerima, dengan demikian apa yang dilakukan akan dirasakan oleh si penerima. Pattidāna dapat dilaksanakan setiap waktu, setiap saat, saat kita telah melakukan perbuatan baik kita dapat langsung melimpahkan jasa tersebut, memberikan jasa baik yang telah kita lakukan kepada para leluhur, para almarhum, dengan berharap kebahagiaan yang kita rasakan mereka juga turut merasakannya. orang-orang yang baik itu memperoleh kebahagiaan.

Kalau kita pelajari dan mengerti dengan baik Tirokudha Sutta, Sutta itu lebih di tujukan kepada mahkluk-mahkluk di luar alam manusia yaitu alam petta. Lalu siapa yang akan menikmati persembahan-persembahan itu semua? Tidak salah sasaran yang akan menikmati dan gembira serta bersuka ria itu yang akan menikmatinya. Apakah mungkin orang tua, teman, pacar, dan lain-lain lahir di alam petta? Bukalah pengertian dan wawasan pengetahuan kita, kehidupan ini sangatlah panjang yang menjadi orang tua kita bukanlah sekali ini dalam kehidupan kita, mungkin orang tua di kehidupan sebelum-sebelumnya, karena kurangnya kebajikan, kurang berbuat baik , kurang beramal dan lain-lain. Tetapi hatinya jahat karena kondisi itulah kemudian dilahirkan di alam petta. Mereka-mereka semua adalah para leluhur kita yang pernah menjadi orangtua kita di zaman yang kita tidak tahu, mungkin saudara atau orang tua kita, dan mereka di lahirkan di alam petta. Saat kita pesta melakukan persembahan, mereka berdatangan dan berkumpul untuk menungu kita memberikanya kepada mereka. Karena mahkluk petta tersebut juga mahkluk yang mempunyai sifat ketergantungan. Para mahkluk petta ini hanya akan menungu dan menungu sebelum dia dipersilahkan. Yang menikmati persembahan itu adalah mahkluk-mahkluk petta. Mahkluk petta ini sifatnya hidupnya adalah bergantungan dengan orang lain dan tidak pernah mendapatkan rasa kepuasan, selalu kurang. Didalam Tirokuda Sutta mahkluk petta ini hidupnya ketergantungan, kalau sanak keluarga yang masih hidup lupa melimpahkan jasa kepada mereka, mereka tentu saja akan tambah menderita. Dalam setiap melakukan kebajikan ingatlah selalu untuk melimpakahkan jasa kepada leluhur kita. Tetapi itu mahkluk petta yang benar-benar hidup di alam kehidupanya, tetapi juga ada mahkluk petta yang hidup di luar kehidupannya.

Manfaat yang akan diperoleh ketika seseorang melakukan pattidāna adalah ia akan merasa hidup tenang, dan secara tidak langsung ia juga menambah perbuatan baiknya, karena pattidāna adalah salah satu bagian dari macam-macam dāna, yang tentu ketika dilakukan akan membuahkan hal-hal baik pada kehidupan kita. Jadi pandangan bahwa ketika seseorang membagikan jasa-jasa baiknya akan mengurangi timbunan perbuatan baiknya, merupakan pandangan salah, seseorang yang memiliki timbunan perbuatan baik, lalu dibagikan kepada makhluk-makhluk yang membutuhkan sesungguhnya ia bukan mengurangi tetapi menambahkan lagi perbuatan baik yang lainnya, melalui dāna yaitu pattidāna.

Oleh karena itulah, dengan cara melakukan pattidāna seseorang akan terus melakukan penghormatan terhadap mereka yang telah berbuat baik kepada dirinya semasih hidup, terutama orangtua dan sanak keluarga. Pattidāna juga merupakan bentuk bakti, yang hendaknya dilakukan selagi kita masih bisa melakukannya. Melakukan penghormatan, merawat, dan melindungi orangtua, anak, dan sanak keluarga tidak hanya sampai pada saat atau masa ketika mereka semua hidup, namun ketika mereka semua telah meninggal penghormatan tersebut juga layak untuk diberikan.

Kaloran – Temanggung, 16 Mei 2014



Kamis, 15 Mei 2014

UPACARA DETIK-DETIK WAISAK 2558/2014 VIHARA DHAMMA PANNYA KALORAN - TEMANGGUNG - JAWA TENGAH

Kaloran, Temanggung (14/5)- Waisak 2558/2014 merupakan momen yang setiap tahunnya wajib umat Buddha rayakan, memperingati dan mengenang tentang tiga pristiwa penting dalam sejarah Agama Buddha, ketiga peristiwa tersebut adalah;
  1. Lahirnya Boddhisatta Pangeran Sidharta Gautama di Taman Lumbini.
  2. Boddhisatta Petapa Gautama mencapai pencerahan dan menjadi seorang Buddha di Buddhagaya.
  3. Parinibbana (mangkat) Buddha Gautama di Kusinara.
Dengan ketiga pristiwa tersebutlah umat Buddha diminta untuk tetap semangat dalam mempelajari dan memperaktikan Dhamma dan Vinaya. Kelahiran Boddhisatta diartikan sebagai adanya suatu harapan bahwa kehidupan manusia dapat menapaki jalan terangnya. Boddhisatta Petapa Gautama mencapai pencerahan diartikan bahwa Dhamma ajaran yang menuju pembebasan dari lenyapnya kotoran batin telah ditemukan, dan dengan Dhamma seseorang dapat menuju jalan terangnya atau pembebasan sejati. Terakhir Parinibbana atau mangkatnya Buddha Gautama diartikan sebagai bukti atas suatu prakti Dhamma yang luhur, yang tinggi, dan sungguh-sungguh, setelah mempraktikan dan mencapai nibbana, setelah meninggal akan padamnya seluruh bentukan-bentukan.

Pada Waisak 15 Mei 2014 ini, umat Vihara Dhamma Panna, Kalimanggis, Kec. Kaloran, Kab. Temanggung, memulainya dengan melaksanakan puja bakti penutupan SPD (Sebulan Penghayatan Dhamma) (14/5), acara tersebut diisi dengan Dhammadesana yang disampaikan oleh Samanera Gunapiyo, membahas tentang bagaimana menerapkan Tilakkana sebagai motivasi dalam menjalani kehidupan, penyampaian Dhamma tersebut di tekankan, dan mendorong umat agar mempelajari Dhamma dan berusaha menafsirkan Dhamma agar mudah dijalankan dan nyaman dalam kehidupan sehari-hari. Antusias umat yang hadir mencerminkan semangat mereka dalam mempelajari Dhamma yang telah Guru Agung Buddha sampaikan 2500 tahun yang lalu.

Menunggu acara detik-detik Waisak yang jatuh pada pukul 02.15 WIB 15 Mei 2014, umat umat Buddha Vihara Dhamma Panna mengisi waktu dengan mengadakan 'nonton bareng', acara nonton bareng yang hanya bermodalkan infocus dan laptop menjadi suatu kehangatan didalam suasana kaloran yang terbilang dingin. Menjadi suasana yang hangat karena semua orang dari muda sampai tua berkumpul untuk menyaksikan jalannya cerita dalam film tersebut. 'Tanda Tanya' ya, itulah film yang diputar dan ditonton oleh para umat, menceritakan tentang perbedaan agama yang disikapi dengan saling tidak menghargai satu dengan yang lainnya, sehingga menimbulkan konflik dan perpecahan, sesuai dengan tema Waisak STI (Sangha Theravada Indonesia) demikianlah isi dari film tersebut, bahwa dengan membangun sikap 'kerukunan' antar satu agama dengan agama lainya, maka 'keutuhan' dapat terbangun, bukan hanya antar agama melainkan dalam keluarga, dalam lingkungan, dan bahkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Tepat pukul 01.00 puja bakti menyambut detik-detik Waisak dimulai. Upacara dimulai dengan membacakan paritta Namakara Patha yang dipimpin oleh Samanera Gunapiyo, setelahnya dilanjut dengan permohonan Sila oleh umat. Setelah selesai memohon sila umat melanjutkannya dengan membaca Vaisakhapunnamipuja Katha yang dipimpin oleh Samanera (pali) dan terjemahan dalam bahasa Jawa oleh pemimpin puja bakti. Setelah selesai membacakan Visakhapunnamipuja Katha Samanera dan para Umat melanjutkannya dengan kegiatan pradakkina/pradaksina, mengelilingi Dhammasala sebanyak tiga kali searah jarum jam, dengan merenungkan sifat-sifat Buddha, Dhamma, dan Sangha. pukul 01.45 meditasi detik-detik waisak dimulai, diawali dengan pengarahan meditasi oleh Samanera Gunapiyo. Meditasi detik-detik waisak berlangsung selama 30 menit sampai dengan 02.20, dengan suasana tenang, hening, dan damai, setiap umat melangsungkan meditasi detik-detik waisak dengan penuh penyadaran, penuh ketenangan, merenungkan tentang Buddha, Dhamma, dan Sangha. 

Demikianlah sampai pada pukul 03.00 upacara puja bakti detik-detik waisak berlangsung dengan ketenangan, berlangsung dengan kesungguhan yang kuat yang terpancar pada diri setiap umat yang hadir. Semoga dengan kedamaian yang ada pada upacara tersebut akan terus terbawa dan terbangun dalam kehidupan para umat Vihara Dhamma Panna, terlebih lagi terbangun dalam kehidupan luas masyarakat kalimanggis, kec. kaloran, kab. temanggung, dan pada umumnya untuk Bangsa Indonesia.

Sabbe satta bhavantu sukhitatta
Semoga semua makhluk hidup berbahagia. 

Kalimanggis, Kec. Kaloran, Kab. Temanggung
Jawa Tengah

15 Mei 2014

Samanera Gunapiyo

Senin, 12 Mei 2014

SIGNIFIKANSI AṬṬHAKA-VAGGA DALAM MEMAHAMI AJARAN SANG BUDDHA YANG SEBENARNYA


SIGNIFIKANSI AṬṬHAKA-VAGGA
DALAM MEMAHAMI AJARAN SANG BUDDHA YANG SEBENARNYA
Oleh: Samanera Gunavaro Gunapiyo


Pendahuluan
Agama Budha biasanya lebih dikenal dengan nama Buddha-Dhamma. Seluruh ajaran Sang Buddha Gotama dapat ditafsirkan dalam satu kata, yang dalam bahasa pāḷi disebut Dhamma atau dalam bahasa Sansekerta disebut Dharma. Bahasa pāḷi adalah bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat di kerajaan Magadha, pada masa hidup Sang Buddha. Dhamma adalah kebenaran semesta dari segala sesuatu yang berbentuk dan yang tidak berbentuk.
Bila manusia berada dalam Dhamma, ia akan dapat melepaskan dirinya dari penderitaan dan akan mencapai Nibbāna, yang merupakan akhir semua Dukkha. Berada didalam Dhamma disini berati seseorang mampu melaksanakan atau mempraktikan Dhamma dalam kehidupannya. Ajaran Buddha pada awalnya hanya terdiri atas Dhamma-Vinaya, sebelum akhirnya pada perkembangan konsili-konsili setelah Buddha Parinibbāna dibukukan dan disusun menjadi 3 (tiga) kelompok atau kerajang yang dinamakan Tipiṭaka, yaitu; Vinaya-Piṭaka, Sutta-Piṭaka, dan Abhidhamma-Piṭaka.
Aṭṭhaka-Vagga merupakan 4 (empat) dari 5 (lima) Vagga dalam Suttanipāta (Sn. 151-189), yang terdapat dalam Sutta-Piaka – Khuddaka-Nikāya. Dimana di dalamnya terdapat 16 (enam-belas) sutta. (1) Kāma-Sutta, (2) Guhaṭṭhaka-Sutta, (3) Duṭṭhaṭṭhaka -Sutta, (4) Saddhaṭṭhaka-Sutta, (5) Paramaṭṭhaka-Sutta, (6) Jarā-Sutta, (7) Tissametteyya-Sutta, (8) Pasūra-Sutta, (9) Māgandiya-Sutta, (10) Purābheda-Sutta, (11) Kalahavivād-Sutta, (12) Cūḷaviyūha, (13) Mahāviyūha, (14) Tuvaṭaka, (15) Attadaṇṭa-Sutta, dan (16) Sāriputta-Sutta.

SATISAMPAJANNYA



IDENTIFIKASI AGAMA BUDDHA PADA MASA BUDDHISME AWAL

BAB I
PENDAHULUAN

Transformasi merupakan perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dsb)[1]. Transformasi juga dapat diartikan sebagai suatu perubahan pola pikir masyarakat teradap suatu fungsi yang dapat memenuhi kebutuhannya. Transformasi bukan hanya terjadi pada suatu negara atau suatu lapisan masyarakat dalam tujuan tertentu, transformasi juga dapat terjadi dalam suatu ajaran agama. Agama yang mengalami transformasi tentu memiliki berbagai macam latar belakang yang mengakibatkan suatu transformasi tersebut, baik itu perkembangan pemikiran masyarakat agama tersebut atau karena pengaruh dari perkembangan suatu peradaban atau zaman.
Buddhisme adalah sebuah agama dan filsafat yang berasal dari anak benua India dan meliputi beragam tradisi kepercayaan, dan praktik yang sebagian besar berdasarkan pada ajaran yang dikaitkan dengan Siddhartha Gautama, yang secara umum dikenal sebagai Sang Buddha (berarti “yang telah sadar” dalam bahasa Sanskerta dan Pāli). Sang Buddha hidup dan mengajar di bagian timur anak benua India dalam beberapa waktu antara abad ke-6 sampai ke-4 SM (Sebelum Masehi). Beliau dikenal oleh para umat Buddha sebagai seorang guru yang telah sadar atau tercerahkan yang membagikan wawasan-Nya untuk membantu makhluk hidup mengakhiri ketidaktahuan/kebodohan (avijjā), kehausan/napsu rendah (taṇhā), dan penderitaan (dukkha), dengan menyadari sebab musabab saling bergantungan dan mengikis kekotoran batin yang menjadi sebab dari penderitaan, hancurnya atau lenyapnya kekotoran batin tersebut dinamakan Nibbāna. Setiap aliran Buddha berpegang kepada Tripitaka sebagai rujukan utama karena dalamnya tercatat sabda dan ajaran sang Buddha Gautama. Murid-murid yang masih mewarisi ajaran dari Buddha kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam 3 buku yaitu Sutta Piṭaka (kotbah-kotbah Sang Buddha), Vinaya Piṭaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu dan bhikkhunī) dan Abhidhamma Piṭaka (ajaran yang tinggi atau luhur).

Leaflet Pabbajjā Sāmaṇera Sementara 2 Minggu – Vihāra Mendut, Magelang – Jawa Tengah



Leaflet Pabbajjā Sāmaṇera Sementara 2 Minggu – Vihāra Mendut, Magelang – Jawa Tengah

MENCIPTAKAN KELUARGA HARMONIS DENGAN CARA KEPEMIMPINAN MENURUT BUDDHISME



MENCIPTAKAN KELUARGA HARMONIS
DENGAN CARA KEPEMIMPINAN MENURUT BUDDHISME
Oleh: Sāmaṇera Guṇavaro Guṇapiyo

Attā have jitaṁ seyyo   Yā cāyaṁ itarā pajā
Attadantassa posassa  niccaṁ saññatacarino.
Menaklukan diri sendiri sesungguhnya lebih baik, Daripada menaklukan orang lain.
Orang yang dapat menaklukan diri sendiri, Selalu dapat mengendalikan diri.
(Dhammapada: 104)

Pendahuluan
Kehidupan berumah tangga tidak luput dari keinginan untuk memiliki keluarga yang rukun dan bahagia. Keluarga mana di dunia ini yang tidak ingin hidup bahagia dan penuh dengan kerukunan, tentu semuanya mendambakan hal tersebut. Namun ketika suatu keluarga memiliki keinginan tersebut, apa yang mereka lakukan untuk mencapainya? Tujuan bias sama, cara selalu berbeda. Kesuksesan sebuah keluarga ditentukan oleh seberapa baik pemimpin keluarga dapat memimpin dan mengarahkan keluarganya untuk mencapai tujuan-tujuannya, akan tetapi pemimpin disini bukan hanya seorang suami, seorang isteri juga termaksud pemimpin dalam sebuah keluarga, memimpin dalam hal urusan rumah, urusan merawat anak, termaksud mengurus sang suami, demikian juga suami dan isteri (orangtua) adalah pemimpin bagi anak-anaknya, karena bagaimanapun seorang anak akan mencontoh setiap hal yang orangtuanya lakukan. Dengan demikian perlu adanya cara bagaimana memimpin keluarga dengan baik dan benar, sehingga dapat membimbing menuju pencapaian tujuan, keluarga yang penuh kedamaian.

Sabtu, 10 Mei 2014

Suasana di depan Kuti - Vihāra Dhamma Pañña, Kaloran - Temanggung, Jawa Tengah

Maaf kalau fotonya buram, maklum foto pake webcam laptop, jadi hasil tidak memuaskan. hehehe

Gunung yang tampak adalah Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.

Perjalanan ku di Kaloran, Temanggung - Jawa Tengah



Sabtu, 10 Mei 2014 ­– Suasana sejuk di pagi hari mulai menghampiri, kubuka jendela kamar ku tatap ke luar, suara air yang menambah ketenangan ikut melantunkan suaranya, saat kaki ini beranjak keluar tampak keindahan alam yang mata ini baru pertama kali merasakannya. Ya! Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing, keduanya tepat berada di depan kamar saya. Desa Kali Manggis, Kaloran – Temanggung, Jawa Tengah, daerah yang hampir sebagian besar penduduknya beragama Buddha.
            2 minggu lamanya saya akan tinggal di tempat ini. Tempat yang tidak ramai, tidak juga sepi, cukup hening dan merupakan tempat yang indah. Tak dapat ku bayangkan sampai sejauh ini, tinggal di tempat yang sejuk dan damai, umat Buddha yang  berada di tempat saya tinggal sangat antusias mempelajari Dhamma, mreka semua melukiskan wajah-wajah yang sangat menghargai kedamaian, menghargai kerukunan, dan menghargai sesame, bukankah itu cerminan apa yang mreka pelajari mereka praktikan dalam keseharian, Dhamma.
            Vihara Dhamma Pañña, demikian nama Vihāra tempat saya tinggal selama 2 minggu kedepan, mulai dari 8 mei – 21 mei 2014. Peminaan Sāmaṇera dalam masyarakat lah yang sedang saya laksanakan, menyambut peringatan Vesak 2558/2014. Hari pertama datang ke tempat ini sudah banyak saya bertukar bicara dengan umat, dan yang tidak menjadi asing, tempat ini merupakan tempat dimana beberapa Guru Agama saya di Karawang berasal, jadi ketika berbicara semua terasa lancar tanpa hambatan, walaupun saya masih agak canggung untuk sekedar bergabung bersama umat. Tepat hari ini perayaan Vesak dan ulang tahun Vihāra Dhamma Pañña, Bhante Jotidhammo turut hadir, lalu apa yang akan terjadi di hari ini? Yup, just thinking ‘all be okay’. Salam Metta, Sāmaṇera Guṇavaro Guṇapiyo.

Kamis, 08 Mei 2014

PESAN WAISAK 2558/2014 SAṄGHA THERAVĀDA INDONESIA



Empatbelas Pedoman Latihan ‘Interbeing’ (Oleh Thich Nhat Hanh) *Terjemajan


Empatbelas Pedoman Latihan Interbeing’[1]
Oleh: Thich Nhat Hanh

Latihan Perhatian (Sati) yang Pertama: Membuka
Sadar bahwa penderitaan diciptakan oleh sikap fanatik dan tidak toleran, kami bertekat untuk tidak menggagungkan  atau terikat terhadap ideologi, teori, atau doktrin apapun, termasuk Buddhis. Ajaran Buddha adalah pedoman yang artinya membantu kita untuk belajar melihat secara mendalam dan untuk mengembangkan pengetahuan dan kewelasasihan kita.

Latihan Perhatian (Sati) yang Kedua: Tidak Melekat Pada Pandangan-pandangan
Sadar bahwa penderitaan diciptakan oleh kelekatan terhadap pandangan-pandangan dan presepsi salah, kami bertekad untuk menghindari berpikiran sempit dan terikat terhadap pandangan-pandangan saat ini. Kami akan belajar dan praktik tidak melekat terhadap pandangan-pandangan agar menjadi terbuka terhadap pemahaman dan pengalaman orang lain. Kita sadar bahwa pengetahuan kita saat ini tidak dapat merubah, kebenaran mutlak. Kebenaran ditemukan dalam kehidupan dan kita akan melihat kehidupan di dalam dan  di sekeliling kita di setiap momen.