Minggu, 30 November 2014

Berawal dari Tumpukan Kardus

 Oleh, Samanera Gunapiyo (Vihara Mendut| 29 November 2014)

Berawal dari setumpuk kardus. Suatu cerita datang pada saat hari menjelang sore. Seorang pemuda yang nampak tidak muda dan tidak tua sedang merasakan keletihannya. Ingin rasanya ia membaringkan badan pada saat itu. Beberapa menit berlalu, apa daya mimpi tak sampai, tidur tak didapatnya. Rintik hujan mulai turun, hembusan angin sejuk mulai menusuk, bingung dan jenuh mulai terasa. Teringat akan tumpukan kardus, pemuda itu lekas bangkit dari kekecewaannya yang gagal untuk memperoleh mimpi dalam tidurnya. Melihat ruangan yang katanya kantor namun lebih pantas disebut gudang, nampak didalamnya tumpukan kardus yang tak karuan, menumpuk semaunya, seolah berteriak untuk segera dirapikan. Oleh pemandangan itulah bergegas si pemuda memulai panggilan dari teriakan sang kardus.

Bersih, rapih, ayo! Itu yang muncul dalam benak si pemuda. Namun siap sangka, dalam hati tulusnya ia juga berteriak, "dasar manusia, menumpuk barang tak punya aturan, semaunya!" Sadar akan teriakan tersebut si pemuda terhentak, hmmm.... disana ada 'aku', aku yang merapihkan, aku yang merasa rapih. Sang aku mulai meraja, apalagi melihat hari-hari sebelumnya, hari dimana si pemuda sedang merapihkan kardus-kardus tersebut, dan kini kembali merapihkannya. 'Aku' ini sepeti jelangkung, yang datang tak diundang dan pulang semaunya. Si pemuda dalam kucuran keringatnya bertarung dengan sang aku, berusaha kembali pada tujuan awal, melakukan sesuatu yang tulus, yang spontan, dan tanpa alih-alih mendapat pujian. Pertempuran itu mulai sengit kala sang 'angin' datang, angin yang selalu membuat semuanya berhamburan dan berantakan, yang hanya merasa dirinya membawa kesejukan, namun ketika berlebihan, hancurlah semua. Dua lawan satu, si pemuda mudai terdiam dalam batinnya, berusaha tetap fokus dengan kegiatannya. Dalam hitunga satu, lima, dua, empat, dan tiga sang angin mulai pergi, kini tinggal sang aku dan si pemuda. Lama cukup berlalu, kardus mulai tertata, meski tertata dalam peperangan kardus-kardus mulai terlihat indah, rapih, dan elok. Kemana sang aku?

Dalam kehidupan kita, sering kita menjumpai hal serupa, dimana sang aku selalu datang tanpa diundang. Sang aku yang datang mulai kita lawan. DIlawan dengan kekuatan agar ia cepat hilang dan pergi. Perlawanan yang kita lakukan terkadang terasa lelah, dan tanpa ambil pusing kita mulai meninggalkan perlawanan itu, berusaha tidak perduli dengan sang aku, saat itulah, saat dimana sang aku pergi dengan semaunya. 'Aku' yang terkadang sulit untuk kita tekan, malah menjadi mudah ketika kita tidak merespon kedatangannya, tidak menganalisa maksud dan tujuannya. Apalagi saat kita melakukan pekerjaan yang berguna, sang aku selalu datang. Saat dimana sang aku datang, berusahalah tidak meresponnya, tetap pada pekerjaan kita, dan cukup sadari "oh sang aku datang," dalam bahasa gaul di katakan 'as it has come to be.' Demikianlah kita belajar dari tumpukan kardus.