Sabtu, 23 Agustus 2014

MENGHADAPI STRES DENGAN KOTBAH PERTAMA SANG BUDDHA TENTANG CĀTTARI-ARIYA-SACCĀNI ― EMPAT KEBENARAN ARIYA



Oleh: Sāmaera Yogi Guavaro Guapiyo

Imasmiṁ sati idaṁ hoti;
imassa upādā idaṁ uppajjati.
Imasmiṁ asati idaṁ na hoti;
imassa nirodhā idaṁ nirujjhati.
“Dengan adanya ini maka ada itu; dengan munculnya ini muncullah itu.
Dengan tidak adanya ini; maka tidak ada itu.
Dengan lenyapnya ini; maka lenyaplah itu.”



Stres sudah menjadi hal yang wajar datang pada setiap orang. Pengalaman seseorang mengenai stres beragam, ada yang stres karena belajar, ada yang stres karena pekerjaan, ada yang stres karena rumahtangga, ada juga yang stres karena tidak diperhatikan, stres yang tertinggi adalah stres karena tidak mendapatkan orang yang kita cintai, orang bilang bisa gak makan tiga hari tiga malam. Stres dalam ilmu psikologi dan kedokteran merupakan istilah teknik yang didefinisikan sebagai kekuatan pada suatu bidang. Dalam bukunya yang berjudul Psychology and Life, Philip Zimbardo mengatakan ada empat level yang berhubungan dengan reaksi seseorang terhadap tekanan-tekanan tersebut. Keempat hal tersebut adalah: level emosi, level prilaku, level fisiologis, dan lefel kongnitif. Respon emosi terhadap stres meliputi kesedihan, depresi, dan kemarahan, bahkan frustasi. Respon prilaku meliputi konsentrasi melemah, pelupa, dan produktivitas yang menurun. Respon fisiologis meliputi ketegangan jasmani, sakit kepala, dan tekanan darah tinggi. Respon pada level kongnitif meliputi kehilangan kepercayaan diri dan putus asa.

PELAKU KEBAJIKAN MEMBANGUN KEKUATAN YANG MELINDUNGI



(Oleh Sāmaṇera Guṇapiyo)


Attā hi attano nātho
Ko hi nātho paro siyā
Attanā hi sudantena
nāthaṁ labhati dullabhaṁ.

“Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi dirinya sendiri,
Karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya?
Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik,
Ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh amat sukar dicari.”
(Dhammapada:1)

Manusia mana di dunia ini yang tidak ingin memiliki suatu kekuatan yang mampu melindungi dirinya. Melindungi dari berbagai macam bahaya, ancaman, dan bahkan bencana alam sekalipun. Dari keinginan itulah setiap orang berusaha mencari yang namanya perlindungan – mencari kekuatan lebih, dan bukan lain untuk memberikan rasa aman, bebas dari ketakutan, dan ketenangan bagi dirinya. Orang-orang kaya mencari kekuatan untuk melindungi dengan cara membayar petugas keamanan, satpam atau bodyguard. Para pemimpin negara tentu memiliki juga pengamanan untuk melindunginya, di Indonesia dikenal ‘Paspampres’ atau Pasukan pengawal presiden. Secara alami ketika hujan manusia mencari perlindungan agar tidak basah karena air hujan. Ketika panas manusia pada umumnya mencari tempat untuk berteduh dari terik matahari. Menggunakan pakaian untuk melindungi tubuh, mengenakan alas kaki untuk melindungi kaki, dan lain sebagainya. Namun apakah perlindungan itu bersifat permanen? Apakah semua alat atau kekuatan tersebut mampu melindungi mereka dari segala macam ancaman?
Dalam Dhammapada dikatakan “Attā hi attano nātho,” yang berarti “diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri.” Dalam hal inilah Buddhisme menekankan, bahwa sesunggunya perlindungan atau kekuatan yang paling baik ada di dalam diri, bukan di luar diri ­– di gunung-gungung, di gua-gua, atau di hutan-hutan. Lalu bagaimana cara untuk membangun kekuatan untuk melindungi yang ada pada dalam diri kita, membangun potensi yang sudah ada, menggembangkannya sehingga dapat kita gunakan.