Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Minggu, 06 September 2015

Mari Belajar Untuk Kehidupan yang Lebih Baik



Tangerang, Minggu (06/09/15) - Belajar adalah hal yang sangat penting bagi kemajuan hidup kita. Tanpa belajar kita tidak mungkin memperoleh pengetahuan, dan tidak mungkin dapat mengerti suatu hal. Konsep atau mental yang 'masa bodoh' merupakan penyakit yang mengakibatkan pada kematian. Kematian mental yang tidak akan pernah berkembang, atau kematian lingkungan tempat ia tinggal. Mengapa demikian?

Sering kali kita mendengar kata 'ya sudahlah, orang kemampuan saya cuman begini, mau bagaimana lagi.' Kalimat pernyataan demikianlah yang akan menjadi faktor utama kita tidak pernah berkembang, dan tidak pernah mengalami kemajuan di dalam kehidupan ini. Merasa cukup sampai pada titik itu, merasa sudah tidak bisa apa-apa, hingga pada akhirnya tidak mau belajar kembali. Itulah sebabnya, pernyataan berpuas pada keadaan tidak berlaku pada 'belajar', seseorang yang senantiasa belajar, belajar, dan terus belajar akan jauh lebih paham mengenai kehidupan ini secara luas. Alih-alih merasa cukup dengan yang ada, ia hanya bermalas-malas tidak ingin belajar kembali.

Hal berikutnya yang harus sering kali kita tekankan, terkadang kita merasa diri kita benar atau sudah baik. Akan tetapi itu hanya pandangan dari dalam 'inside', lalu bagaimana dengan pandangan dari luar 'out'? Pandangan dari luar pun harus kita dengar, untuk apa? untuk  perbaikan diri. Ya! ada orang yang tidak senang untuk dinasihati, diberitahu, atau bahkan dikritik. Orang dengan jenis seperti ini adalah orang yang akan selalu terpuruk di dalam kebencian, di dalam penderitaan, dan di dalam kebodohannya. Dalam Anguttara Nikaya - Vajirupamasutta, Buddha pernah mengatakan bahwa ada satu jenis manusia seperti hal demikian, yang di ibaratkan manusia dengan pikiran seperti luka mengangah Arukhupamacitta Puggala.  Artinya semakin ia tidak senang dinasihati, semakin ia membuat dirinya terluka lebar, semakin menderita dan semakin kesakitan. Layaknya luka yang mengangah, ketika di garuk maka lukanya akan semakin parah.

Untuk itulah, mari kita bersama-sama mengarahkan diri ini kearah yang lebih baik, dengan cara belajar, belajar, dan belajar. Dengan belajar seseorang akan memperoleh pengetahuan, dari pengetahuan yang diperoleh tersebut maka apa yang akan diucapkannya adalah apa yang baik, tidak sembarang omong asal bunyi. Akan tetapi ingat, belajar saja tidak cukup, untuk itu kita harus praktik kerendahan hati dengan cara, ketika dinasihati, ketika kita mendapat kritikan, dengarkanlah, terimalah, pelajarilah, dan kemudian berubahlah jika kita salah. Sehingga dengan demikian, harmonisasi akan terbangun didalam kehidupan kita.

Selamat belajar, selamat belajar memiliki kerendahhatian.

Kamis, 20 Agustus 2015

KETAHUI SIAPA DIRIMU DAN BERIKAN REVOLUSI UNTUKNYA



KETAHUI SIAPA DIRIMU DAN BERIKAN REVOLUSI UNTUKNYA
(Mengulas Vajirupamasutta dan Pañca-anupubbikatha)
Oleh: Bhikkhu Guṇapiyo

Attānañce piyaṁ jaññā,
rakkheyya naṁ surakkhitaṁ
tiṇṇamaññataraṁ yāmaṁ,
paṭijaggeyya paṇḍito’ti

Bila orang mencintai dirinya sendiri,
maka ia harus menjaga dirinya dengan baik.
Orang bijaksana waspada selama tiga masa dalam kehidupannya.
(Dhammapada, Atta Vagga: 157)


Ada orang yang baik, ada orang yang kurang baik. Ada orang yang pintar, ada orang yang kurang pintar. Ada orang yang mudah diajar, ada juga orang yang kuang ajar. Ada wanita cantik, ada pria tampan. Ada yang kurang cantik atau tampan, ada juga sang sangat kurang cantik dan tampan. Keberagaman, perbedaan, dan uniknya satu dengan yang lainnya, itulah warna dari kehidupan ini. Setiap manusia, setiap makhluk, memiliki perbedaan masing-masing, sekalipun dia adalah anak kembar – kembar identik akan tetapi dalam hal sifat atau karakter keduanya pasti memiliki sifat yang berbeda. Sifat atau kebiasaan yang membedakan satu dengan yang lainnya, menentukan tingkat keberhasilan seseorang di dalam hidupnya, baik itu dalam hal kesuksesan materi atau batin (mental).

KEBAHAGIAAN KARENA MELEPAS



SEKILAS DHAMMA UNTUK MELEGAKAN DAHAGA
KEBAHAGIAAN KARENA MELEPAS
Oleh: Bhikkhu Guṇapiyo

Sabbehi me piyehi manāpehi nānābhāvo vinābhāvo
(segala miliku yang kucintai dan kusenangi wajar berubah, wajar terpisah dariku)


Kebahagiaan sejati bagi umat Buddha adalah kebahagiaan karena melepas. Kalimat pembuka tersebut mungkin dapat menjadi bahan perdebatan yang tak kunjung selesai, mengapa demikian? Karena tidak sesuai dengan pola kebiasaan. Sisi lain menyatakan, bahagia itu ketika memiliki ini dan itu, memiliki sesuatu atau sepuluhatu, yang pasti dapat memiliki apa yang diinginkan. Buddhisme memiliki cerita dan pola lain dalam menyatakan kebahagiaan sejati, bahkan menurut mata seorang Buddhis, lahir di alam surga pun! Belum termasuk dalam kebahagiaan sejati.

Melepas berarti tidak menggenggam, tidak melekati, tidak memeluk, tidak menyimpan terus menerus, dan tidak yang tidak-tidak. Mengapa tidak menggenggam atau melepas merupakan kebahagiaan sejati menurut Buddhisme? Mari kita awali dengan satu cerita.

Suatu pagi yang cerah, lari dengan bahagia seorang pemuda tampan bernama Rukkha. Ia sangat senang sekali, sangat bahagia, karena di pagi itu ia mendapatkan hadiah dari kedua orangtuanya. Hadiah ini sudah ia idam-idamkan lama sekali, sebuah gadget canggih keluaran terbaru, sebut saja Apem 6-. Anak muda mana yang tidak menginginkannya, semua ingin memilikinya, bahkan dengan segala cara. Berbeda dengan Rukkha, ia memperolehnya dengan cara susah payah, ia bekerja membantu kedua orangtuanya selama berminggu-minggu, menjaga toko dan melayani pembeli. Senangnya Rukkha saat itu tidak bisa dituliskan atau digambarkan, ia sangat mengagumi barang tersebut, ia sangat bangga dengan perolehannya, hingga tidak sadar.... ia menderita, ia takut, ia sedih, ia merasa tidak aman, kenapa? Rukkha enggan membuka bungkus plastiknya, enggan membuka kardusnya, bahkan ia enggan menggunakannya. Ia teralu senang, ia teralu bangga, sampai ia takut barang itu rusak, dicuri, dipinjam, di.. di.. di... dan jadilah ia menderita.

Selasa, 07 April 2015

PELAKU KEBAJIKAN AKAN BERBAHAGIA DI KEDUA ALAM


PELAKU KEBAJIKAN AKAN BERBAHAGIA DI KEDUA ALAM
(Empat Cakka)

Oleh: Sāmaera Yogi Guṇavaro Guṇapiyo

“Dhamma care sucarita,
na na duccaritaṁ care;
Dhammacārī sukhaṁ seti,
asmiṁ loke paramhi ca’ti.”

Hendaklah seseorang hidup sesuai dengan Dhamma
dan tak menempuh cara-cara jahat.
Barang siapa hidup sesuai dengan Dhamma,
maka ia akan hidup bahagia di dunia ini maupun di dunia selanjutnya.
(Dhammapada: 169 – Loka Vagga)



            Apa yang telintas di dalam pikiran kita saat mendengar kata ‘kebahagiaan’ dan ‘kebajikan’? Apakah keduanya dapat dipisahkan? Atau?
            Kebahagiaan dan kebajikan adalah dua hal yang saling menopang satu dengan yang lainnya. Kebahagiaan, kebahagiaan bukan lah hal instan, kebahagiaan yang dapat kita rasakan merupakan hasil dari kebajikan yang telah kita lakukan, dilakukan sebelumnya. Ketika seseorang membantu orang lainnya, orang lain tersebut merasa bahagia dan berpuas hati, kebahagian yang dapat kita rasakan dari kebajikan tersebut adalah, ketika kita mampu melihat orang yang kita bantu merasa bahagia dan menikmati pemberian kita. Demikian pula dengan kebahagiaan, kebahagian yang kita rasakan merupakan suatu kondisi yang baik, yang dapat mendorong kita untuk berbuat baik lagi, lagi dan lagi. Dengan kata lain, ketika seseorang melakukan kebajikan dan kemudian berbahagia atas hasil yang diperoleh, orang tersebut di dorong untuk kembali melakukan kebajikan dengan kebahagiaan yang tengah ia rasakan.

Selasa, 17 Februari 2015

Tentang Maghapuja

Ilustrasi suasana magha

Māghapūjā adalah salah satu hari raya umat Buddha. Hari raya ini memperingati peristiwa agung yang hanya terjadi dijaman Buddha. Peristiwa Māghapūjā ini diawali ketika Sang Buddha berada di Taman Tupai, hutan bambu Veluvana-arama, di kota Rajagaha pada bulan Magha. Pada saat yang sama Sang Buddha dikunjungi oleh para Bhikkhu yang telah mencapai tingkat kesucian Arahat dan memiliki beberapa kemampuan abhinna. Dengan keinginan sendiri dan tanpa saling memberitahukan terlebih dahulu satu dengan yang lain, Mereka masing-masing pergi untuk mengunjungi Sang Buddha. Pertemuan tanpa disengaja oleh para Bhikkhu Arahat di Taman Tupai itu dihadiri dalam jumlah mencapai 1250 orang Bhikkhu. Pada kesempatan itu Sang Buddha mengadakan uposatha dan melakukan Ehi Bhikkhu Upasampada kepada mereka, yaitu pentabisan bhikkhu dengan memakai ucapan Ehi Bhikkhu (datanglah, O, para Bhikkhu). Setelah mengadakan Ehi Bhikkhu Upasampada selanjutnya Beliau memberikan pembabaran Ovādapāṭimokhā kepada Mereka. Pertemuan Agung para Bhikkhu Arahat tersebut dinamakan Caturangasanipata, yaitu pertemuan akbar yang didukung oleh 4 (empat) faktor peristiwa utama yang istimewa, yaitu :
  1. Berkumpulnya para Bhikkhu yang berjumlah 1250 orang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
  2. Mereka semuanya telah mencapai tingkat kesucian dan memiliki kemampuan abhinna.
  3. Mereka ditabiskan dengan memakai ucapan Ehi Bhikkhu.
  4. Sang Buddha membabarkan Ovadapatimokkha kepada Mereka.

Ovādapāṭimokhā merupakan salah satu Dhamma yang sangat diminati oleh para Bijaksana, yang ingin melaksanakan kedisiplinan dalam bersila, terutama diminati oleh seorang Bhikkhu yang sedang melaksanakan kehidupan suci. Berikut isi tiga syair Ovādapāṭimokhā:

Khantī paramaṁ tapo tītikkhā

nibbānaṁ paramaṁ vadanti buddhā

na hi pabbajito parūpaghātī

samaṇo hoti paraṁ viheṭhayanto.

Kesabaran adalah cara bertapa yang paling baik.
Sang Buddha bersabda : Nibbanalah yang tertinggi dari segalanya.
Beliau bukan pertapa yang menindas orang lain.
Beliau bukan pula pertapa yang menyebabkan kesusahan orang lain.


Sabbapāssa akaraṇaṁ

Kusalassūpasampadā

sacittapariyodapanaṃ

etaṁ buddhāna sāsanaṁ

Janganlah berbuat kejahatan
Perbanyaklah perbuatan baik
Sucikan hati dan pikiranmu
Itulah Ajaran semua Buddha


anūpavādo anūpaghāto

pātimokkhe ca saṃvaro

mattaññutā ca bhattasmiṁ

pantañca sayanāsanaṁ

adhicitte ca āyogo

etaṁ buddhāna sāsananti

Tidak menghina, tidak melukai
Mengendalikan diri sesuai dengan tata-tertib.
Makanlah secukupnya
Hidup dengan menyepi.
Dan senantiasalah berpikir luhur.

Pada sumber lainnya, di Kitab Buddhavaṁsa terdapat beberapa cerita mengenai māghapūjā pada masa Buddha-buddha yang lampau, diantaranya meliputi jumlah Bhikkhu Arahat yang hadir dan berapa kali pelaksanaannya, berikut adalah datanya:
  1. Buddha Vipassī: 3x Māghapūjā (1) 6,8 juta; (2) 100rb; dan (3) 80rb bhikkhu Arahat 
  2. Buddha Sikhi: 3x Māghapūjā (1) 100rb; (2) 80rb; dan (3) 70rb bhikkhu arahat
  3. Buddha Vessabhu: 3x  Māghapūjā (1) 80rb; (2) 70rb; dan (3) 60 rb bhikkhu arahat
  4. Buddha Kakusandha: 1x  Māghapūjā 40rb bhikkhu arahat
  5. Buddha Kassapa: 1x  Māghapūjā 20rb bhikkhu arahat
  6.  Buddha Gotama: 1x Māghapūjā1250 bhikkhu arahat

Selasa, 02 Desember 2014

Cara Menanggapi Ucapan Yang Mungkin Ditujukan Orang Lain Kepada Diri Kita, mengacu pada "Kakacupama Sutta - Majjhima Nikaya"



Oleh: Samanera Gunapiyo
 
Dalam kehidupan ini, kita sering kali mendengar omongan-omongan mengenai diri kita, baik itu perihal kebaikan yang telah dilakukan atau perbuatan cela yang sudah kita lakukan.

Dalam Majjhima Nikāya I.126 – Kakacupama Sutta, Buddha pun memaparkan bahwa ada lima kemungkinan ucapan yang dapat ditujukan orang lain kepada diri kita, mereka berbicara:
  1. Pada waktu tepat atau pada waktu tidak tepat (kālena vā akālena vā).
  2. Benar atau tidak benar (bhūtena vā abhūtena vā).
  3. Lembut atau kasar (saṇhena vā pharusena vā).
  4. Berhubungan dengan kebaikan atau mencelakakan (atthasaṃhitena vā anatthasaṃhitena vā).
  5. Disertai dengan pikiran cinta kasih atau benci (mettacittā vā dosantarā vā).
Jika menerima ucapan perihal yang baik, kita tentu saja bisa siap, malah bisa bersenang hati. Lalu bagaimana jika ucapan atau omongan yang tidak enak di hati dapat kita terima dengan baik? 

Pada sutta yang sama Buddha mengatakan,

Bila ada orang berbicara dengan lima macam ucapan itu, para bhikhu harus melatih diri mereka: 'Pikiran kami tidak akan terpengaruh, kami tidak akan mengucapkan kata-kata buruk dan kami akan tetap penuh kasih sayang demi kesejahteraan (banyak orang) dengan pikiran diliputi cinta kasih tak ada kebencian. Kami akan memancarkan pikiran cinta kasih kepada orang itu; kami akan meliputi diri dengan cinta kasih yang banyak, penuh dan tak terbatas tanpa kejahatan atau iri hati untuk semua makhluk di alam semesta ini, sebagai obyeknya.'

Dalam hal ini Buddha menekankan beberapa poin dalam menanggapi ucapan yang ditujukan orang lain kepada diri kita, yaitu:
  1. Pikiran tidak mudah terpengaruh. 
  2. Tidak mencaci dengan kata buruk kepadanya. 
  3. Senantiasa memenuhi diri dengan kasih sayang demi kesejahteraan makhluk lain dengan pikiran yang diliputi cinta kasih tak ada kebencian serta iri hati.
Itulah beberapa hal yang selayaknya seseorang latih dalam dirinya ketika menanggapi ucapan atau pembicaraan tidak menyenangkan yang ditujukan kepada dirinya.

Pada bagian akhir sutta tersebut Buddha menyatakan, Taṃ vo bhavissati dīgharattaṃ hitāya sukhāyā (hal ini cukup mensejahterakan dan membahagiakan anda semua).”

Minggu, 30 November 2014

Berawal dari Tumpukan Kardus

 Oleh, Samanera Gunapiyo (Vihara Mendut| 29 November 2014)

Berawal dari setumpuk kardus. Suatu cerita datang pada saat hari menjelang sore. Seorang pemuda yang nampak tidak muda dan tidak tua sedang merasakan keletihannya. Ingin rasanya ia membaringkan badan pada saat itu. Beberapa menit berlalu, apa daya mimpi tak sampai, tidur tak didapatnya. Rintik hujan mulai turun, hembusan angin sejuk mulai menusuk, bingung dan jenuh mulai terasa. Teringat akan tumpukan kardus, pemuda itu lekas bangkit dari kekecewaannya yang gagal untuk memperoleh mimpi dalam tidurnya. Melihat ruangan yang katanya kantor namun lebih pantas disebut gudang, nampak didalamnya tumpukan kardus yang tak karuan, menumpuk semaunya, seolah berteriak untuk segera dirapikan. Oleh pemandangan itulah bergegas si pemuda memulai panggilan dari teriakan sang kardus.

Bersih, rapih, ayo! Itu yang muncul dalam benak si pemuda. Namun siap sangka, dalam hati tulusnya ia juga berteriak, "dasar manusia, menumpuk barang tak punya aturan, semaunya!" Sadar akan teriakan tersebut si pemuda terhentak, hmmm.... disana ada 'aku', aku yang merapihkan, aku yang merasa rapih. Sang aku mulai meraja, apalagi melihat hari-hari sebelumnya, hari dimana si pemuda sedang merapihkan kardus-kardus tersebut, dan kini kembali merapihkannya. 'Aku' ini sepeti jelangkung, yang datang tak diundang dan pulang semaunya. Si pemuda dalam kucuran keringatnya bertarung dengan sang aku, berusaha kembali pada tujuan awal, melakukan sesuatu yang tulus, yang spontan, dan tanpa alih-alih mendapat pujian. Pertempuran itu mulai sengit kala sang 'angin' datang, angin yang selalu membuat semuanya berhamburan dan berantakan, yang hanya merasa dirinya membawa kesejukan, namun ketika berlebihan, hancurlah semua. Dua lawan satu, si pemuda mudai terdiam dalam batinnya, berusaha tetap fokus dengan kegiatannya. Dalam hitunga satu, lima, dua, empat, dan tiga sang angin mulai pergi, kini tinggal sang aku dan si pemuda. Lama cukup berlalu, kardus mulai tertata, meski tertata dalam peperangan kardus-kardus mulai terlihat indah, rapih, dan elok. Kemana sang aku?

Dalam kehidupan kita, sering kita menjumpai hal serupa, dimana sang aku selalu datang tanpa diundang. Sang aku yang datang mulai kita lawan. DIlawan dengan kekuatan agar ia cepat hilang dan pergi. Perlawanan yang kita lakukan terkadang terasa lelah, dan tanpa ambil pusing kita mulai meninggalkan perlawanan itu, berusaha tidak perduli dengan sang aku, saat itulah, saat dimana sang aku pergi dengan semaunya. 'Aku' yang terkadang sulit untuk kita tekan, malah menjadi mudah ketika kita tidak merespon kedatangannya, tidak menganalisa maksud dan tujuannya. Apalagi saat kita melakukan pekerjaan yang berguna, sang aku selalu datang. Saat dimana sang aku datang, berusahalah tidak meresponnya, tetap pada pekerjaan kita, dan cukup sadari "oh sang aku datang," dalam bahasa gaul di katakan 'as it has come to be.' Demikianlah kita belajar dari tumpukan kardus.

Minggu, 12 Oktober 2014

Apa itu PINDAPATA?


Minggu, 12 Oktober 2014 -- Vihara Karangdjati Yogjakarta

Kata Pindapata berasal dari bahasa Pali yang artinya menerima persembahan makanan. Sedangkan yang disebut Patta adalah sejenis mangkok makanan yang digunakan oleh para Bhikkhu/Bhikkhuni.

Pindapatta merupakan tradisi Buddhis yang telah dilaksanakan sejak zaman kehidupan Sang Buddha Gotama (bahkan sejak jaman para Buddha terdahulu) hingga saat ini, terus berlanjut hingga jaman Buddha-Buddha yang akan datang. Tradisi Pindapatta ini masih tetap dilaksanakan di beberapa negara, seperti Thailand, Kamboja, Myanmar dan Srilanka. Sedangkan di negara-negara lain termasuk Indonesia, tradisi ini sudah jarang dilaksanakan disebabkan banyak faktor yang tidak mendukung pelaksanaan kebiasaan ini. Seperti jumlah Bhikkhu yang tidak banyak, juga jumlah umat Buddha yang sedikit, dan banyak pula diantaranya yang tidak mengerti dan tidak mengenal tatacara tradisi Pindapatta ini.

Pindapatta dilaksanakan oleh para Bhikkhu/ Bhikkhuni dengan cara berjalan kaki dengan kepala tertunduk sambil membawa Patta/ Patra (mangkok makanan) untuk menerima/ memperoleh dana makanan dari umat guna menunjang kehidupannya.

Pemberian dana makanan kepada para Bhikkhu/Bhikkhuni ini tidak sama dengan pemberian sedekah atau berdana kepada seorang pengemis, peminta-minta, dan sebagainya. Dalam Pindapatta ini seorang Bhikkhu/Bhikkhuni tidak boleh mengucapkan kata-kata meminta, tetapi umatlah yang secara sadar dan ikhlas, serta semangat bakti memberikan/ mendanakan makanan demi membantu kelangsungan kehidupan suci para anggota Sangha dan membantu kelangsungan serta melestarikan Buddha Dhamma itu sendiri. Bagi para Bhikkhu/ Bhikkhuni sendiri, pindapatta ini merupakan cara untuk melatih diri hidup sederhana/ prihatin, belajar menghargai pemberian orang lain, dan melatih Sati (perhatian/kesadaran murni), serta merenungkan bahwa fungsi utama makanan adalah untuk memenuhi kebutuhan badan jasmani agar tidak cepat sakit dan lapuk, bukan untuk kesenangan dan mencari kenikmatan. Sedangkan bagi umat Buddha, pindapatta ini merupakan ladang yang subur untuk menanam jasa kebajikan sebab berdana kepada Mereka yang menjalani kehidupan suci merupakan suatu berkah yang utama.(red.)