SEKILAS DHAMMA UNTUK MELEGAKAN DAHAGA
KEBAHAGIAAN KARENA MELEPAS
Oleh:
Bhikkhu Guṇapiyo
Sabbehi me piyehi manāpehi nānābhāvo vinābhāvo
(segala
miliku yang kucintai dan kusenangi wajar berubah, wajar terpisah dariku)
Kebahagiaan
sejati bagi umat Buddha adalah kebahagiaan karena melepas. Kalimat pembuka
tersebut mungkin dapat menjadi bahan perdebatan yang tak kunjung selesai,
mengapa demikian? Karena tidak sesuai dengan pola kebiasaan. Sisi lain
menyatakan, bahagia itu ketika memiliki ini dan itu, memiliki sesuatu atau sepuluhatu, yang pasti dapat memiliki
apa yang diinginkan. Buddhisme memiliki cerita dan pola lain dalam menyatakan
kebahagiaan sejati, bahkan menurut mata seorang Buddhis, lahir di alam surga
pun! Belum termasuk dalam kebahagiaan sejati.
Melepas
berarti tidak menggenggam, tidak melekati, tidak memeluk, tidak menyimpan terus
menerus, dan tidak yang tidak-tidak. Mengapa tidak menggenggam atau melepas
merupakan kebahagiaan sejati menurut Buddhisme? Mari kita awali dengan satu
cerita.
Suatu
pagi yang cerah, lari dengan bahagia seorang pemuda tampan bernama Rukkha. Ia
sangat senang sekali, sangat bahagia, karena di pagi itu ia mendapatkan hadiah
dari kedua orangtuanya. Hadiah ini sudah ia idam-idamkan lama sekali, sebuah gadget canggih keluaran terbaru, sebut
saja Apem 6-. Anak muda mana yang
tidak menginginkannya, semua ingin memilikinya, bahkan dengan segala cara.
Berbeda dengan Rukkha, ia memperolehnya dengan cara susah payah, ia bekerja
membantu kedua orangtuanya selama berminggu-minggu, menjaga toko dan melayani
pembeli. Senangnya Rukkha saat itu tidak bisa dituliskan atau digambarkan, ia
sangat mengagumi barang tersebut, ia sangat bangga dengan perolehannya, hingga
tidak sadar.... ia menderita, ia takut, ia sedih, ia merasa tidak aman, kenapa?
Rukkha enggan membuka bungkus plastiknya, enggan membuka kardusnya, bahkan ia
enggan menggunakannya. Ia teralu senang, ia teralu bangga, sampai ia takut
barang itu rusak, dicuri, dipinjam, di.. di.. di... dan jadilah ia menderita.
Apa kaitan cerita di atas dengan
ungkapan pada kalimat pembuka pada paragraf awal? Rukkha seorang pemuda tampan
yang awalnya bagaia menjadi tidak bahagia karena ia enggan melepas bungkus dan membuka
kotak dari Apem 6- nya, ia enggan
menggunakannya. Dalam hal ini melepas bukan berarti semudah itu, bukan berarti
melepas bungkus atau kotak kemasan saja. Dasar permasalahan bagi Rukkha adalah
ia tidak mau melepas, melepas ketakutan akan kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi pada barang yang dimilikinya. Melepas kecemasan, melepas ketakutan,
melepas keragu-raguan, itulah permasalahannya. Terkadang kita hidup di dunia
ini teralu menggenggam ‘ketakutan’ dan ‘kecemasan’, sehingga kita sangat sulit
untuk move on, bergerak maju kedepan,
bergerak untuk sukses. Dan terlebih lagi melakukan perubahan. Tidak menggenggam
pada kecemasan bukan berarti kita tidak melakukan perencanaan, perencanaan
memang perlu dan memikirkan segala kemungkinan juga perlu, akan tetapi jangan
sampai ketakutan dan kecemasan terus membayangi kita, terus mengikuti kita dan
sulit untuk dilepas.
Praktik
Dāna yang diajarkan oleh Guru Agung
Buddha bukan hanya sekedar melepas materi, melepas barang. Dāna juga bukan sekedar memasukan lembaran rupiah ke dalam kotak
dana atau ke dalam kantong dana. Tetapi inti dari praktik Dāna adalah melepas, tidak menggenggam, sehingga mendorong kita
untuk tidak melekat pada suatu hal, termasuk kecemasan dan ketakutan. Ketika
kedua hal tersebut mampu kita lepas, disanalah kebahagiaan akan kita rasakan.
Kebahagiaan sejati, kebahagiaan ketika kita mampu meleapas. Beban yang kita
bawa sudah teralu banyak, ada kalanya kita turunkan dan kita lepas. Bayangkan
saja oleh kita semua, ketika kita melepas kekhawatiran, kecemasan, dan
ketakutan, apakah hidup kita damai? Apakah kita akan tenang kemanapun? Apakah
ketika kita tenang dan damai, itu bukan kebahagiaan? Jelas itu adalah
kebahagiaan, jelas itulah kebahagiaan sejati. Untuk itu, mari kita bersama-sama
melepas, melepas segala keterikatan kita terhadap suatu hal, agar kebahagiaan
ada pada kita. Melepas, tidak terikat, bukan berarti kita tidak boleh memiliki
sesuatu, tetapi sejatinya pahamilah, bahwa segala sesuatu pasti berubah, segala
sesuatu wajar terpisah dari kita. “Sabbehi
me piyehi manāpehi nānābhāvo vinābhāvo” (segala miliku yang kucintai dan
kusenangi wajar berubah, wajar terpisah dariku).
Didalam
salah satu sutta Majjhima Nikāya – Bhaddekaratta Sutta, Guru Agung Buddha
mengatakan bagaimana seseorang dapat memiliki satu malam yang baik, yaitu
dengan cara hidup di masa sekarang, di momen saat ini. Hidup saat ini berarti
tidak menggenggam kenangan di masa lampau, dan tidak berharap pada
kemungkinan-kemungkinan di masa yang akan datang. Berikut adalah kutipan Sutta tersebut;
“Tak sepatutnya mengenang sesuatu
yang telah berlalu,
tak sepatutnya berharap pada
sesuatu yang akan datang
Sesuatu yang telah berlalu adalah
hal yang lampau,
dan sesuatu yang akan datang adalah
hal yang belum tiba.”[1]
Dari
kutipan sutta tersebutlah kita dapat
melihat, bahwa yang ingin diarahkan oleh Guru Agung Buddha adalah seseorang
tidak sepatutnya melekat pada kenangan dan melekat pada sesuatu yang belum
tiba. Masa lalu, kehidupan lampau, memang ada, akan tetapi hal itu ada bukan untuk
digenggam terus menerus, bukan untuk dilekati terus menerus. Hal itu ada
sebagai motivasi dan dorongan untuk kehidupan kita saat ini, dimana ketika ada
kenangan buruk, kita mampu melepasnya dan berusaha untuk berubah, dan dimana
ada kenangan baik kita gunakan sebagai motivasi, bukan malah bersenang dan
menggenggam kenangan baik itu. Sebaliknya masa yang akan datang memang patut
direncanakan, akan tetapi jangan kita banyak berencana tapi tidak banyak
berbuat, yang mana hanya akan mendorong kita pada khayalan-khayalan akan hasil
dari rencana tersebut, mendambakan hasil yang baik. Menjadi menderita ketika
hasil tidak sesuai dengan khayalan, hasil tidak sesuai dengan rencana. Untuk
itu kenanglah, berencanalah, tapi jangan lekati hal tersebut, jangan menggenggamnya
teralu lama. Lepaslah kenangan-kenangan yang lampau, dan lepaslah harapan atau
khayalan-khayalan di masa yang akan datang, hiduplah damai, saat ini, in the present moment.
Ingatlah
melepas, melepas, dan melepas, untuk apa? Kebahagiaan. Sama halnya ketika kita
makan dan minum. Ada kalanya saat setelah makan dan minum kita pasti akan buang
air kecil atau buang air besar. Buang air kecil dan buang air besar adalah
melepas, melepas sisa-sisa makanan dan minuman yang telah kita konsumsi. Ketika
kita lancar dalam membuang air besar dan kecil, bukankah pencernaan kita
lancar? Bahagia kan? Enak makan lagi kan? Itulah kebahagiaan karena melepas.
[1]
Ñāṇamoli, Bhikkhu and Bhikkhu Bodhi. 1995. The Middle Length Discources of The Buddha,
a New Translation of the Majjhima Nikāya. Buddhis Publication Society:
Kandy, Sri Lanka. (hlm. 1039)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar