KETAHUI SIAPA DIRIMU DAN BERIKAN REVOLUSI UNTUKNYA
(Mengulas Vajirupamasutta dan Pañca-anupubbikatha)
Oleh: Bhikkhu Guṇapiyo
Attānañce piyaṁ jaññā,
rakkheyya naṁ surakkhitaṁ
tiṇṇamaññataraṁ yāmaṁ,
paṭijaggeyya paṇḍito’ti
Bila orang mencintai dirinya sendiri,
maka ia harus menjaga dirinya dengan
baik.
Orang bijaksana waspada selama tiga
masa dalam kehidupannya.
(Dhammapada, Atta Vagga: 157)
Ada
orang yang baik, ada orang yang kurang baik. Ada orang yang pintar, ada orang
yang kurang pintar. Ada orang yang mudah diajar, ada juga orang yang kuang
ajar. Ada wanita cantik, ada pria tampan. Ada yang kurang cantik atau tampan,
ada juga sang sangat kurang cantik dan tampan. Keberagaman, perbedaan, dan
uniknya satu dengan yang lainnya, itulah warna dari kehidupan ini. Setiap
manusia, setiap makhluk, memiliki perbedaan masing-masing, sekalipun dia adalah
anak kembar – kembar identik akan tetapi dalam hal sifat atau karakter keduanya
pasti memiliki sifat yang berbeda. Sifat atau kebiasaan yang membedakan satu dengan
yang lainnya, menentukan tingkat keberhasilan seseorang di dalam hidupnya, baik
itu dalam hal kesuksesan materi atau batin (mental).
Perbedaan-perbedaan
yang ada dapat kita lihat dari berbagai macam sudut pandang. Misalkan saja
dilihat dari kemampuan intelektual, kemampuan spiritual, atau kemampuan
emosionalnya. Guru Agung Buddha di dalam salah satu kelompok ajarannya
menguraikan perihal jenis-jenis individu – jenis-jenis manusia, yang ditinjau
bedasarkan pikirannya. Uraian tersebut terdapat di dalam salah satu Nikāya yaitu, Aṅguttara Nikāya III, Vajirupama-sutta[1].
Vajirupama-sutta berarti sutta dengan
perumpamaan berlian atau kilat (vajira: berlian/kilat),
dimana di dalam sutta ini, Buddha menjabarkan mengenai tiga jenis manusia
bedasarkan pikirannya. Apa saja tiga jenis tersebut?
1.
Arukūpamacitto-puggala
Perumpamaan manusia dengan pikiran
seperti luka menganga. Di sini, seseorang mudah marah dan mudah gusar. Bahkan
jika ia dikritik sedikit maka ia akan kehilangan kesabarannya dan menjadi jengkel,
melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan
kekesalan. Seperti halnya luka bernanah, jika ditusuk dengan tongkat atau
digaruk-garuk, akan mengeluarkan lebih banyak cairan lagi, demikian pula
seseorang di sini berprilaku demikian. Orang ini dikatakan memiliki pikiran
yang bagaikan luka terbuka.
2.
Vijjūpamacitto-puggala
Perumpamaan manusia dengan pikiran seperti kilat
halilintar. Di sini, seseorang memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah
penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya
penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Seperti
halnya, dalam kegelapan malam, seseorang yang berpenglihatan baik dapat melihat
bentuk-bentuk melalui cahaya kilat halilintar, demikian pula seseorang di sini
memahami sebagaimana adanya hal-hal tersebut. Orang seperti itu dikatakan
memiliki pikiran bagaikan kilat halilintar.
3.
Vajirūpamacitto-puggala
Perumpamaan manusia dengan pikiran
seperti berlian. Di sini seseorang telah seutuhnya mencapai kebebasan pikiran
yang tanpa noda, merealisasinya dengan pengalaman langsung. Kebebasan pikiran
yang tanpa noda, adalah dimana keserakahan, kebencian, dan delusi lenyap dan
terkikis. Orang yang demikian diperumpamakan seperti berlian, karena dari sekian
banyak permata dan batuan hanya berlianlah yang dapat memotongnya. Berlian
jugalah yang selalu bertahan dengan nilai keindahannya, tidak butuh waktu
tertentu.
Dari ketiga jenis
individu atau manusia tersbut, yang ketiga lah yang terbaik. Menjadi manusia
dengan pikiran seperti berlian, yang terbebas dari kotoran batin. Layaknya
berlian yang tidak dengan instan muncul begitu saja, mebutuhkan waktu yang
panjang untuk mengkristal. Demikian juga dengan kita sebagai manusia, tidak ada
cara instan untuk melenyapkan kotoran batin yang ada di dalam diri. Semua
proses pengkristalan dimulai dari usaha gigih, keuletan, dan proses
pembelajaran yang baik. Semua butuh proses, untuk itu jangan pernah protes akan
suatu proses.
Lantas bagaimana jika
kita sebagai manusia sudah terlanjur menjadi manusia dengan pikiran seperti
luka menganga? Sudah teralu sering emosi, mudah naik darah, tidak senang
dinasihati. Revolusi lah solusinya. Revolusi mental, revolusi batin adalah
solusi untuk merubah diri ini ke arah yang lebih baik, ke arah pengkristalan
menuju manusia dengan pikiran layaknya berlian. Revolusi batin atau mental yang
seperti apa yang Guru Agung Buddha berikan untuk hal tersebut?
2600 tahun yang lalu,
saat setelah Buddha memperoleh pencapaian sempurnanya datang dua orang pedagang
ke hadapannya. Saat itu kedua pedagang tersebut yaitu Tapusa dan Balika,
memohon kepada Buddha untuk memberikan beberapa ajarannya. Pada saat itulah
Guru Agung Buddha menguraikan lima hal yang dapat membantu seseorang untuk
memiliki mental yang maju dan
berkembang, atau pañca-anupubbikata[2].
Lima hal tersebut adalah;
1. Dāna
Tidak melekati sesuatu dengan cara
mau berbagi apa yang dimiliki untuk kebahagiaan dan manfaat makhluk / orang
lain. Melekat terhadap suatu hal adalah awal seseorang tidak dapat tumbuh maju
dan berkembang, memasuki zona nyaman dan terbiasa dengan hal tersebut.
2. Sīla
Dasar dari pelaksanaan sīla adalah metta, yaitu cinta kasih terhadap semua makhluk tanpa terkecuali.
Memiliki cinta kasih berarti mendorong diri pada pelaksanaan sīla yang baik, karena pada dasarya
tanpa cinta kasih, pelaksanaan sīla
tidak akan berjalan. Jika seseorang telah memiliki cintakasih, maka kemanapun
ia pergi, ia akan damai dan berbahagia. Kedamaian dan kebahagiaan yang ia
miliki, adalah bentuk dari mental yang maju dan berkembang. Kalau sudah
demikian yang namanya emosi, keras kepala egois, dan mudah sakit hati, tidak
akan ada.
3. Sagga
Merupakan hasil dari pelaksanaan dāna dan sīla yaitu, kebahagiaan-kebahagiaan di alam dewa. Hal tersebut
disampaikan oleh Guru Agung Buddha dengan maksud untuk memotivasi kita, agar
kita mau melaksanakan praktik-praktik yang ada. Bukankah ketika seseorang
mengetahui hasil atau manfaat dari suatu hal, maka ia akan jauh lebih
bersemangat untuk mendapatkannya? Demikian juga halnya dengan sagga, yang bertujuan untuk membuat kita
semakin semangat dalam melaksanakan praktik-praktik Dhamma.
4. Kamadinava
Tidak seperti promosi lainnya yang
ketika ada syarat dan ketentuan berlaku ditulis kecil-kecil. Guru Agung Buddha
dalam hal ini menjelaskannya secara gamblang, secara terang bahwa, sekalipun
kita mendapatkan hasil yang baik, kita patut berwaspada. Mengapa kita patut
berwaspada, karena di dalam hasil yang kita dapatkan ada bahaya-bahaya yang
menanti kita. Bahaya-bahaya tersebut akan muncul ketika kita teralu
bersenang-senang, teralu menikmati dengan nafsu berlebih hasil-hasil yang kita
peroleh. Dalam bagian inilah kita diminta untuk membentengi kehidupan ini
dengan pengendalian akan kesenangan-kesenangan indera, dengan apa benteng tersebut
dapat kita bangun? “Meditasi.” Dengan meditasi-lah kita dapat melihat
bahaya-bahaya tersebut, dan dengan melihat bahaya-bahaya yang ada kita akan
senantiasa terkendali dalam kehidupan ini, sehingga kita tidak terjerumus di
dalam bahaya tersebut.
5. Nekhamanisaṁsa
Terakhir adalah faedah-faedah dari peninggalan
kesenangan-kesenangan indera, atau bisa dikatakan Nibbāna. Pada tahap inilah mental seseorang telah menemui titik
pengkristalannya, seutuhnya menjadi manusia dengan pikiran seperti berlian.
Ketika kita mampu meninggalkan kesenangan-kesenangan indera, dan terlatih dalam
hal pengendalian, kemudian mampu melenyapkan kotoran batin yang ada di dalam
diri ini, maka kita telah merevolusi batin, metal, atau diri ini ke arah yang
jauh lebih baik.
Itulah kelima hal yang
Guru Agung Buddha berikan sebagai solusi untuk merevolusi mental ini menuju
kerah yang jauh lebih baik, ke arah pengkristalam untuk menjadi manusia dengan
pikiran seperti berlian.
Kesimpulan
Memahami dengan baik apa
yang Guru Agung Buddha ajarkan, kita hendaknya mau untuk mempraktikannya.
Karena awal dari keberhasilan seseorang baik itu dalam hal materi atau mental
adalah mau menjalankan apa yang telah ia rencanakan, yang telah ia ketahui,
yang telah ia pahami, jalan mana untuk mencapai semua itu. Sifat, karakter,
kebiasaan, tabiat seseorang bisa saja berbeda, akan tetapi tujuan dari
masing-masing pribadi mereka adalah sama, yaitu memperoleh kebahagiaan. Ada
manusia yang ingin bahagia dengan cara yang baik, cara yang sesuai dengan
Dhamma, ada juga yang ingin bahagia tetapi menggunakan cara-cara singkat.
Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu, menghiraukan ketidak-baikan
untuk apa yang dianggapnya baik, dari situlah ‘kepalsuan’ kemudian muncul.
Kepalsuan beredar dimana-mana, di dunia politik, di dunia pendidikan, di dunia
ekonomi, bahkan yang menjadi parah kepalsuan pun beredar di dunia keagamaan –
Bhikkhu palsu, pandita palsu, bahkan umat Buddha palsu. Mari kita belajar untuk
mengenal Dhamma lebih jauh, mengenal Dhamma lebih dalam, dan mempraktikan
Dhamma dengan sungguh-sungguh, karena dengan cara demikianlah ‘kepalsuan’ dapat
dicegah.
Referensi:
-
Bodhi, Bhikkhu. 2012. The Numerical Discourses of the Buddha (A Translation of Aṅguttara
Nikāya). Wisdom Publication; Boston.
-
−.
2013. Kitab Suci Dhammapada.
Bahussuta Society; Singkawang Selatan.
-
Vajirananavarorasa, H.R.H. The Late Ptriarch
Prince. (alih bahasa Bhikkhu Jeto). 2013. Dhamma
Vibhāga. Vidyāsenā Vihāra Vidyāloka; Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar