PEMIMPIN
DALAM PANDANGAN AGAMA BUDDHA
Oleh: Sāmaṇera Yogi Guṇavaro Guṇapiyo
“Yo sahassaṁ sahassena
saṅgāme mānuse jine
ekañca jeyyamattānaṁ
sa ve saṅgāmajuttamo.”
“Walaupun seseorang dapat
menaklukan beribu-ribu musuh
dalam beribu kali pertempuran,
namun sesungguhnya penakluk
terbesar adalah
orang yang dapat menaklukan dirinya sendiri.”
(Dhammapada: 103)
Tahun 2014, tempat dimana kita tinggal Indonesia akan
menyelenggarakan pesta akbar, yang telah menjadi kegiatan rutin setiap lima
tahun. Pesta itu adalah pesta demokrasi. Ya, Indonesia akan mulai masuk dalam
babak penentuan, yaitu menentukan siapa calon pemimpin berikutnya, pemimpin
negara atau para pempin rakyat yang katanya mewakili harapan-harapan warga
negara Indonesia. Pemimpin Negara atau Presiden, merupakan sosok penting dalam
kepemerintahan yang berlangsung di Indonesia, beberapa kali Indonesia sudah
mengganti pemimpinnya, mulai dari Indonesia merdeka 1945 sampai sekarang saat
ini 2014 yang akan menjadi tahun baru bagi pemimpin baru. Banyak orang, banyak
kalangan, mengejar posisi tersebut, posisi sebagai pimpinan negara ‘RI-1’ itu
yang akrab di telinga kita. Orang tersebut berasal dari banyak kalangan, mulai
dari pengusaha, purnawirawan, atau bahkan mantan-mantan penjabat negara. Dari
latar belakang tersebut tentu sudah tidak aneh atau asing lagi apa itu
kepemimpinan bagi mereka, sehingga apa yang seharusnya dilakukan dan dikerjaan
mereka sudah paham sepenuhnya. Tetapi apakah iya, mereka paham sepenuhnya
tentang kepemimpinan, terutama kepemimpinan yang ‘baik’.
Kepemimpinan secara umum berarti proses
keseluruhan aktivitas untuk mempengaruhi orang lain atau suatu kelompok agar
mau ikut serta dalam mencapai tujuan bersama. Artinya dalam proses
kepemimpinan, seorang pemimpin harus berusaha mempengaruhi anggota kelompoknya
untuk mencapai suatu tujuan, yang tentunya dilakukan secara bersama-sama. Dari
proses kepemimpinan tersebut terdapat beberapa sifat pemimpin secara umum,
pertama pemimpin yang bersifat otoriter, kedua demokrasi, dan ketiga
laissez faier (bersifat tidak aktif). Dari sifat tersebut jelas Indonesia yang
merupakan negara demokrasi pasti memegang sifat pemimpin yang seharusnya
demokrasi juga, yaitu dimana segala keputusan diputuskan secara bersama
(musyawarah). Lalu bagaimana tanggapan orang mengenai pemimpin? Banyak orang
bilang pemimpin itu harus syang bersikap adil, bijaksana, bersih, tidak korupsi, mau mebela rakyat
kecil, itu tentu tanggapan dari masyarakat golongan bawah, sebaliknya
masyarakat golongan atas pasti menginginkan pemimpin yang mau mendukung
kebijakan-kebijakan ekonomi yang menguntungkan perusahaan. Dengan banyaknya
penjelasan tentang apa itu pemimpin, dan bagaimana pemimpin yang baik kemudian
Buddhisme memiliki uraian tersendiri tentang kepemimpinan.
Kepemimpinan Dalam
Buddhisme
Dalam Khuddaka
Nikāya – Jātaka Pāli V. 378 yang berisikan tentang kisah-kisah kelahiran
Buddha diceritakan mengenai Dasa-Rāja
Dhamma, yaitu sepuluh macam Dhamma untuk seorang raja atau pemimpin.
Kesepuluh hal tersebut dapat dijadikan kriteria atau tolak ukur bagi seorang
pemimpin, baik itu untuk menjadi pemimpin maupun untuk memilih pemimpin.
Kesepuluh hal tersebut adalah:
1. Däna (Kemurahan Hati)
Sebagai pemimpin harus memiliki sifat murah hati, mau memberi, dan
menolong. Tidak pilih-pilih terhadap siapa yang akan ditolongnya.
2. Sīla (Memiliki Moral Atau Melaksanakan Sīla)
Memiliki moral yang baik, sehingga dapat menjadikan dirinya sebagai
teladanatau panutan. Dapat dilakukan dengan menjalankan sīla (mengindari pembunuhan, pencurian, asusila, berkata tidak
benar, dan minum minuman keras).
3. Pariccāga (Rela Berkorban)
Sorang pemimpin harus mau mengorbankan kesenangan pribadi untuk
kepentingan orang banyak, arinya tidak mementingkan diri sendiri, dan
mengkedepankan ego. Mau berkorban disini adalah mau berkorban materi, tenaga,
pikiran, dan terutama waktu.
4. Ājjava (Ketulusan Hati)
Ketulusan hati disini berari seorang pemimpin harus memiliki kejujuran
berusaha menghindari ucapan tidak benar, bohong, atau menipu (musāvādā), dalam hal ini termaksud
korupsi dan pencitraan diri agar dipandang baik.
5. Maddava (Ramah Tamah)
Seorang pemimpin harus mampu bersikap ramah, ramah tamah dalam arti ia mau
diajak untuk berunding dan bertukar pikiran, terlebih lagi ia mau menerima
pendapat orang lain.
6. Tapa (Kesederhanaan)
Memiliki kesederhanaan baik dalam ucapan atau perbuatan jasmani (tingkah
laku). Seorang pemimpin yang memiliki kesederhanaan tersebut akan mendapatkan
tanggapan baik dari masyarakat.
7. Akkodha (Tidak Pemarah)
Bebas dari kebencian dan tidak menyimpan dendam, hendaknya seorang
pemimpin membangun sifat demikian sehingga ia akan menciptakan kedamaian, baik
bagi dirinya dan lingkungannya.
8. Avihiṁsā (Tidak Melakukan Kekerasan)
Seorang pemimpin harus memimpin dengan tanpa kekerasan, baik itu melalui
jasmani atau ucapan, dan berusaha tidak menghancurkan anggotanya.
9. Khanti (Kesabaran)
Seorang pemimpin dalam kepemimpinannya harus diiringi dengan sikap sabar
dan telaten dalam memimpin dan dalam setiap permasalahan yang ada dalam
kepemimpinannya.
10. Avirodhana (Tidak Bertentangan Dengan Kebenaran)
Artinya seorang pemimpin harus mampu melaksanakan aturan-aturan yang ada
pada tempat ia memimpin, yang dimana aturan-aturan tersebut menjadi dasar
kebenaran dalam ruang lingkup kepemimpinannya.
Itulah kesepuluh hal yang dapat dijakdikan sebagai
kriteria atau tolak ukur seorang pemimpin dalam Agama Buddha. Kesepuluh hal
tersebut juga salaing berkaitan satu dengan yang lainnya, artinya ketika
seorang pemimpin memiliki sifat murah hati, ia tentu akan memiliki moral yang
baik, moral yang baik tentu mendorong ia
untuk rela berkorban, rela berkorban yang ia miliki karena moral yang baik akan
tentu didasari oleh ketulusan, dari ketulusan yang ia miliki disetiap
pekerjaannya tentu mebangun keramahan sikap, orang yang ramah tentu
kesederhanaan yang dibangunnya, orang yang memiliki moral, tulus, murah hati
tentu akan menghindari sifat marah dan kekerasan dalam kehidupannya, sabar
jelas ada didalamnya dan apapun yang dilakukan pasti sesuai dengan dasar
kebenaran yang ada.
Kesepuluh hal tersebut jika terdapat dalam diri
seorang pemimpin, tentu akan membawa kepemimpinannya menuju kesuksesan dan
keberhasilan dari pencapaian tujuan-tujuannya. Pemimpin yang baik tentu bukan
pemimpin yang berusaha membuang tujuan-tujuan awalnya, tetapi tentu ia berusaha
dengan keras untuk mencapai tujuannya terlebih lagi tujuan tersebut adalah
tujuan yang membawa keuntungan bagi orang banyak, membawa kesejahteraan dan
kemajuan. Dengan demikian untuk memilih seorang pemimpin kesepuluh hal tersebut
dapat dijadikan sebagai kriteria dalam memilih calon pemimpin. Jadi untuk apa
kita takut dalam memilih pemimpin, jika kita sudah tahu bagaimana ciri-ciri
pemimpin yang baik sesuai dengan ajaran Agama Buddha. Dan tentunya bagi calon
pemimpin, untuk terpilih dan dapat sukses dalam kepemiminannya peganglah dengan
tekad kuat dan dengan semangat (Viriya)
kesepuluh hal tersebut, maka apa yang menjadi tujuan dasar dan cita-cita yang
diharapkan akan terlaksana dan didapat dengan baik, tentu setelah didapat
haruslah dirawat sesuai dengan Dhamma, sesuai dengan kesepuluh hal itu juga.
Mendut, 16 April 2014 – 23:15
WIB
Kepustakaan:
-
Kaharuddin, Pandit Jinaratana. 2004. Kamus Umum Buddha Dhamma (Pāli – Sansekerta – Indonesia). Tri Sattva Buddhist Center, Jakarta.
-
Soetarno, Drs. R.
1989. Psikologi Sosial. Penerbit
Kanisius, Yogyakarta.
-
Supandi, Cunda J. 1995. Tatabahasa Pāli. Yayasan Penerbit Karaniya, Bandung.
-
Tim Penyusun. 2013. Kitab Suci Dhammapada. Penerbit Bahussuta Society, Singkawang Selatan.
(Penerjamah Indonesia: YM. Phra Rājavarācāriya ‘Bhante Win Vijāno’, Penerjemah
Inggris: Ven. Acharya Buddharakkhita, dan Penerjemah Mandarin: Ven. Bhikkhu
Dhammavaro ‘Fa Zhen’)
-
Tim penyusun, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta.
Senarai kepemimpinan dalam perspektif para ilmuwan dunia sbg pembelajaran.
BalasHapusOrang bijak agun, sabdakan intisari sikap kepemimpinan diera modern disebut sebagai pemimpin yang sangag elegant thinking ;
Diantara orang - orang pembenci, pendendam, pemfitnah, dan konspirasi sikap apapun
Kita jangan jangan lantas ikut membenci dalam artian alasan solidaritas, kelompok, emansipasi dan atau hal lain ,misalnya ; alasan etnis, suku, rasianilisme, dan agama kemudian membenci demikian.
Sikap sangat bijak dalam ajaran sabda Buddha adalah rasionalitas sempurna baik dalam sokap maupun berwawasan sebagai seorang pemimpin dunia.
Sikap itu dalam nasehatnya ; jangan ikut membenci diantara orang -orang yang membenci, fitnah, konsprasi, dendam itu. Namun cinta kasih dengan bijak di kedepankan pada sikap prilaku yang betul betul baik adanya.
Ada model kepemimpinan baik sekali dari pakar ilmuwan dunia itu ;
K5 =sebagai kata kunci bukan kaki lima istnot this it.
K yang pertama adalah karakter baik
K yang kedua adalah komitmen dalam sikap prilaku secara lahir batin
K yang ketiga adalah kerja sama yang baik sama sama menguntungkan positif
K yang ke empat adalah kompensasi dalam sotuasi dan kondisi disesuaikan
K yang ke lima adalah konsistensi dalam kunci akhir kelima hal ini, harus di usahakan denban maksut baik totalitas sebagai profesionalisme pemimpin yang baik
Masukkan komentar Anda...
BalasHapus