Kamis, 08 Mei 2014

Tilakkhaṇa Motivasi Hidup

Tilakkhaṇa Motivasi Hidup
Oleh : Sāmaṇera Guṇapiyo

Sabbe saṅkhārā aniccā’ti;
Sabbe saṅkhārā dukkhā’ti;
Sabbe dhammā anattā’ti.

Segala bentukan tidak kekal adanya;
Segala bentukan sukar bertahan adanya;
Segala bentukan maupun bukan bentukan adalah bukan diri adanya.


Tilakkhaṇa, ‘ti’ berarti tiga dan ‘lakkhaṇa’ berarti corak; sifat; ciri; karakteristik. Tilakkhaṇa secara harafiah berati tiga corak, tiga corak atau sifat yang pasti ada dalam kehidupan dalam pandangan Buddhis. Sudah sering bagi kita sebagai penganut paham Buddhis mengenal yang namanya Tilakkhaṇa,  terdiri dari tiga yaitu Anicca, Dukkha, dan Anatta. Ketiga hal tersebut dapat kita temukan di banyak kotbah yang disampaikan Buddha. Namun apakah dengan banyaknya ditemukan ketiga hal tersebut dalam kotbah yang Buddha sampaikan kita sudah mengerti tentang ketiganya? Untuk itu dalam artikel ini akan dibahas tentang ketiga hal tersebut dan menjadikannya sebagai motivasi kehidupan.

Pengertian Motivasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dikatakan, motivasi adalah  dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu.
Motivasi adalah usaha – usaha untuk menyediakan kondisi – kondisi sehingga anak itu mau melakukan sesuatu (Prof. Drs. Nasution : 1995
Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan motivasi sebagai proses yang menjelaskan intensitas, arah dan ketekunan usaha untuk mencapai suatu tujuan.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa  motivasi dapat dipandang sebagai fungsi, berarti motivasi berfungsi sebagai daya penggerak  dari dalam individu  untuk melakukan aktivitas tertentu  dalam mencapai tujuan. Motivasi dipandang  dari segi proses, berarti motivasi dapat dirangsang oleh factor luar, untuk menimbulkan motivasi dalam diri siswa yang melalui proses rangsangan belajar sehingga dapat  mencapai tujuan yang di kehendaki. Motivasi daipandang dari segi tujuan, berarti  motivasi merupakan sasaran stimulus yang akan dicapai. Jika seorang mempunyai keinginan untuk belajar suatu hal, maka dia akan termotivasi untuk mencapainya.


Tilakkhaṇa

1.    Anicca
Anicca berarti ketidakkekalan berasal dari kata A dan NICCA. A berarti tidak dan NICCA berarti kekal. Terdapat ungkapan Sabbe saṅkhārā anicca yang berarti segala sesuatu yang terdiri dari gabungan unsur-unsur itu tidak kekal.
Semua makhluk hidup pada umumnya mengalami perubahan, entah itu perubahan fisik atau non fisik, termaksud bumi dan segala isinya mengalami perubahan, tanpa peduli siapa dia, lahir dari rahim mana, berasal dari mana, suku apa dia, humkum perubahan ini pasti ada padanya.
Kebahagiaan dan penderitaan ada pada setiap orang, baik itu orang biasa maupun orang yang telah mencapai tingkat kesucian tertentu. Sama halnya pada semua makhluk, sifat tidak kekal atau perubahan juga ada pada kebahagiaan dan penderitaan. Mengapa demikian, karena kebahagiaan dan penderitaan tidak berlangsung untuk selama-lamanya, pasti akan berakhir dalam waktu tertentu.
Dengan adanya perubahan terhadap kebahagiaan dan penderitaan maka seseorang merasa tidak nyaman terhadap suatu kebahagiaan, karena ia merasa ketika kebahagian berlangsung ia takut akan datang penderitaan yang menghancurkan kebahagiaannya, rasa takut dan cemas itulah yang malah membuat pendetiaan datang saat kebahagiaan berlangsung, yang pada akhirnya merupakan penderitaan. Akan tetapi tidak selamanya kebahagiaan akan mendatangkan penderitaan.
Seseorang dapat menderita terhadap suatu perubahan karena memiliki beberapa faktor pendukung, seperti kemelekatan, keinginan, hawa nafsu dan lain sebagainya. Ketika kita berusaha mengamati dan menyadari kehidupan kita per-detiknya, segalanya mengalami perubahan entah itu perubahan posisi tubuh, perubahan detak jantung yang terus berdenyut, nafas masuk dan keluar, bahkan pikiran kita setiap saat pun mengalami perubahan, berubah setiap detiknya. Dalam hitungan waktu panjang sudah pastinya kita mengalami perubahan, mulai dari lahr menjadi bayi masa kanak-kanak remaja dewasa tua sakit sampai kematian datang, itulah proses perubahan hitungan waktu panjang yang wajar kita alami. Demikian pula terjadi perubahan dalam batin, seseorang dapat menjadi lebih baik atau sebaliknya menjadi lebih buruk dalam perjalanan hidupnya.

2.   Dukkha
Dalam masyarakat Buddhis dan umum, dukkha diartikan sebagai ‘penderitaan’, akan tetapi dukkha sendiri memiliki arti yang lebih luas. Yang dimaksud dengan dukkha adalah keadaan yang tidak memuaskan, tidak menyenangkan, kesakitan, kedukaan, kesedihan, penderitaan yang dialami oleh seseorang. Terdapat ungkapan ‘Sabbe saṅkhārā dukkha’ yang berarti segala sesuatu yang merupakan gabungan unsur-unsur adalah dukkha.
Dukkha yang dimaksud oleh Sang Buddha adalah dukkha secara psikologis yang berasal dari:
a.    DUKKHA-DUKKHA yaitu dukkha sebagai penderitaan biasa seperti kelahiran sakit, usia tua, kematian, berpisah dengan yang dicintai, berkumpul dengan yang dibenci, tidak memperoleh sesuatu yang diinginkan, kesedihan, keluh kesah, kegagalan dan sebagainya.
b.    VIPARINĀMA DUKKHA yaitu dukkha sebagai akibat dari perubahan seperti suatu perasaan bahagia pada waktunya akan berubah dan perubahan ini akan menimbulkan kesedihan, penderitaan dan ketidakbahagiaan.
c.    SANKHĀRA DUKKHA yaitu dukkha sebagai akibat dari keadaan yang bersyarat. Untuk itu seseorang harus memahami manusia sebagai gabungan dari lima khanda yang terdiri atas badan jasmani, pikiran, perasaan, pencerapan dan kesadaran. Sang Buddha menyatakan, ”O bhikkhu, apakah dukkha itu ? Harus diketahui bahwa kemelekatan pada lima khanda itu adalah dukkha . Dukkha bersumber  kepada tanha {nafsu keinginan}.’’
Tanha merupakan nafsu keinginan yang tiada habisnya yang dapat dibedakan menjadi tiga jenis:
a.    KAMA TANHA yang merupakan nafsu keinginan akan kenikmatan indria.
b.    BHAVA TANHA yang merupakan nafsu keinginan akan kelangsungan atau lahir kembali.
c.    VIBHAVA TANHA yang merupakan nafsu keinginan untuk pemusnahan diri.

          Kita selalu hidup dalam keadaan tidak terpuaskan, selalu ingin ini dan ingin itu. Keadaan yang tidak pernah terpuaskan itulah yang menjadi penderitaan bagi kita, karena tidak semua apa yang kita inginkan dapat kita penuhi. Oleh sebab itu, merasa puas dengan apa yang dimiliki (Santuṭṭhi) akan membawa kita kepada berkurangnya keinginan-keinginan dan membuat kita jauh dari keadaan tidak terpuaskan.
          Lalu apakah dukkha dapat dihentikan? Dukkha dapat dihentikan melalui salah satu dari Empat Kesunyataan Mulia, dikatakan oleh Buddha kesunyataan mulia pertama adalah dukkha, yang kedua adalah sumber dukkha, yang ketiga adalah terhentinya dukkha, dan kesunyataan mulia yang keempat adalah jalan untuk menghentikan dukkha. Selama seseorang belum mencapai tingkat kesucian tertinggi ‘Arahat’, selama itu juga ia akan mengalami kelahiran kembali dalam 31 alam kehidupan, dan selama itu juga ia belum terbebas dari dukkha.

3.   Anatta
         Kata anatta secara umum diartikan tidak ada diri atau jiwa. Atta dalam kamus bahasa pāli memili arti diri, jiwa, atau roh (ātman). ). Dalam hal ini yang dimaksud adalah bahwa di dalam alam semesta ini tidak terdapat jiwa atau roh yang kekal abadi yang tidak berubah sepanjang masa .Terdapat ungkapan : ‘Sabbe dhammā anattayang berarti segala sesuatu yang merupakan gabungan unsur-unsur maupun yang tidak merupakan gabungan unsur-unsur adalah anatta.
           Dalam praktik kesehariaan, anatta juga dapat diartikan sebagai sikap tidak egois. Egois berarti menganggap dirinya paling hebat dan paling unggul. Namun perlu disadarkan bahwa segala hal yang ada dalam hidup kita melibatkan banyak pihak. Kita butuh dokter saat sakit, butuh petani yang menanam padi, sayuran, dan buah untuk memenuhi kebutuhan makan kita. Tanpa mereka semua kebutuhan kita tidak akan terpenuhi. Ini lah hal sederhana yang dimaksud dengan gabungan unsur-unsur. Termaksud diri kita, kata ‘aku, saya’ hanya istilah yang disepakati untuk memberikan nama terhadap gabungan beberapa unsur (Pañcakhandha) yaitu, unsur batin (nāma) dan jasmani (rūpa) Batin (nāma)  terdiri dari empat unsur yaitu perasaan (vedanā), pencerapan (saññā), bentuk pikiran (saṅkhāra) dan kesadaran(viññāṇa). Sama halnya ‘mobil’ dapat dikatakan mobil jika tersusun atas beberapa komponen, yaitu ban, pintu, kaca, stir, mesin, dan lain sebagainya.         
           Secara duniawi adalah tidak tepat menyatakan bahwa manusia itu tidak ada, di mana manusia itu adalah istilah yang disepakati untuk gabungan jasmani dan batin. Yang dimaksud sebenarnya dengan ‘tidak ada aku’ adalah bahwa dalam diri semua makhluk tidak ada sesuatu inti atau roh atau jiwa yang kekal abadi yang tidak mengalami perubahan . Apabila seseorang berbuat jahat, maka ia sebagai gabungan jasmani dan batin akan mengalami penderitaan sebagai akibat dari perbuatan jahat itu.

Kesimpulan
Pada dasarnya seseorang hidup di dunia haruslah memiliki Viriya (semangat) dalam melaksanakan sesuatu. Karena bagi seseorang yang belum mencapai tingkat kesucian, selama itu juga dalam kehidupannya dalam dirinya masih terdapat rasa ‘aku’ yang mengikuti setiap cara berfikir dan bertindaknya dalam mencapai kesuksesannya. Yang perlu diperhatikan adalah menjadikan tilakkhaṇa sebagai motivasi hidup, yaitu diharapkan dengan memahami apa sesunggunya itu tilakkhaṇa (aniccā, dukkhā, dan anatta) lobha (keserakahan), dosa (kebencian), yang bersekutu dengan moha (kebodohan) akan berkurang. Dengan demikian ketika mengalami pasang surut atau kegagalan dalam kehidupan kita paham, bahwa segala sesuatu pasti mengalami perubahan demikian dengan kegagalan dan pasang surut yang kita alami, pasti akan berlalu dan berubah, tentu baik buruk perubahannya kita yang menentukan. Dan dengan demikian kita diarahkan untuk tidak menyakiti makhluk lain karena kita tidak dapat menerima perubahan tersebut. Ketiga sifat kehidupan ini sering kali menjadi faktor penghambat dalam kehidupan jika kita tidak memahaminya, merasa gagal, putus ada dan akhirnya depresi bisa saja terjadi pada diri kita. Namun dengan mengerti tentang tiga sifat (tilakkhaṇa) tersebut, yaitu aniccā, dukkhā, dan anatta kita diharapkan dapat termotivasi karena paham akan perubahan dan dapat menerimanya, lalu dapat merasa puas terhadap apa yang dimiliki, terlebih lagi kita dapat bahagia dengan tidak egois, mengetahui bahwa segala sesuatu dalam hidup ini tidak berdiri tunggal namun tersusun atau terdiri dari gabungan-gabungan. Demikianlah caranya tilakkhaṇa  dapat mendatangkan kedamaian pada diri sendiri dan juga pada orang lain, dan sebagai motivasi hidup yang menjadi suatu daya atau alat, baik dibangun untuk digunakan sebagai dorongan dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan disini berarti tujuan yang mengarah kepada kehidupan yang baik, mengurangi sifat menyakiti dan merugikan pada diri seseorang.

Mendut, 16 Februari 2014. 23.44 WIB

Sumber:
-       Kaharuddin, Pandit Jinaratana. 2004. Kamus Umum Buddha Dhamma (Pāli – Sansekerta – Indonesia).  Tri Sattva Buddhist Center, Jakarta.
-       Supandi, Cunda J. 1995. Tatabahasa Pāli. Yayasan Penerbit Karaniya, Bandung.
-       Tim penyusun, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar