Tilakkhaṇa Motivasi Hidup
Oleh : Sāmaṇera
Guṇapiyo
Sabbe saṅkhārā aniccā’ti;
Sabbe saṅkhārā dukkhā’ti;
Sabbe dhammā anattā’ti.
“Segala
bentukan tidak kekal adanya;
Segala
bentukan sukar bertahan adanya;
Segala
bentukan maupun bukan bentukan adalah bukan diri adanya.”
Tilakkhaṇa, ‘ti’ berarti tiga dan ‘lakkhaṇa’
berarti corak; sifat; ciri; karakteristik. Tilakkhaṇa
secara harafiah berati tiga corak, tiga corak atau sifat yang pasti ada dalam
kehidupan dalam pandangan Buddhis. Sudah sering bagi kita sebagai penganut
paham Buddhis mengenal yang namanya Tilakkhaṇa,
terdiri dari tiga yaitu Anicca, Dukkha, dan Anatta. Ketiga hal tersebut dapat kita temukan di banyak kotbah
yang disampaikan Buddha. Namun apakah dengan banyaknya ditemukan ketiga hal
tersebut dalam kotbah yang Buddha sampaikan kita sudah mengerti tentang
ketiganya? Untuk itu dalam artikel ini akan dibahas tentang ketiga hal tersebut
dan menjadikannya sebagai motivasi kehidupan.
Pengertian Motivasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dikatakan, motivasi adalah dorongan yang
timbul pada diri seseorang secara sadar
atau tidak untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu.
Motivasi
adalah usaha – usaha untuk menyediakan kondisi – kondisi sehingga anak itu mau
melakukan sesuatu (Prof. Drs. Nasution :
1995)
Robbins dan Judge
(2007) mendefinisikan motivasi sebagai proses yang
menjelaskan intensitas, arah dan ketekunan usaha untuk mencapai suatu tujuan.
Berdasarkan
beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi dapat
dipandang sebagai fungsi, berarti motivasi berfungsi sebagai daya penggerak dari dalam
individu untuk melakukan aktivitas tertentu dalam mencapai tujuan.
Motivasi dipandang dari segi proses,
berarti motivasi dapat dirangsang oleh factor luar,
untuk menimbulkan motivasi dalam diri siswa yang melalui proses rangsangan belajar sehingga
dapat mencapai tujuan yang di kehendaki. Motivasi daipandang dari segi tujuan,
berarti motivasi merupakan sasaran stimulus yang akan dicapai. Jika
seorang mempunyai keinginan untuk belajar suatu
hal, maka dia akan termotivasi untuk mencapainya.
Tilakkhaṇa
1. Anicca
Anicca berarti ketidakkekalan berasal dari kata A dan NICCA. A
berarti tidak dan NICCA berarti kekal. Terdapat ungkapan ’Sabbe saṅkhārā anicca’ yang berarti
segala sesuatu yang terdiri dari gabungan unsur-unsur itu tidak kekal.
Semua makhluk
hidup pada umumnya mengalami perubahan, entah itu perubahan fisik atau non
fisik, termaksud bumi dan segala isinya mengalami perubahan, tanpa peduli siapa
dia, lahir dari rahim mana, berasal dari mana, suku apa dia, humkum perubahan
ini pasti ada padanya.
Kebahagiaan
dan penderitaan ada pada setiap orang, baik itu orang biasa maupun orang yang
telah mencapai tingkat kesucian tertentu. Sama halnya pada semua makhluk, sifat
tidak kekal atau perubahan juga ada pada kebahagiaan dan penderitaan. Mengapa
demikian, karena kebahagiaan dan penderitaan tidak berlangsung untuk
selama-lamanya, pasti akan berakhir dalam waktu tertentu.
Dengan adanya
perubahan terhadap kebahagiaan dan penderitaan maka seseorang merasa tidak
nyaman terhadap suatu kebahagiaan, karena ia merasa ketika kebahagian
berlangsung ia takut akan datang penderitaan yang menghancurkan kebahagiaannya,
rasa takut dan cemas itulah yang malah membuat pendetiaan datang saat
kebahagiaan berlangsung, yang pada akhirnya merupakan penderitaan. Akan tetapi
tidak selamanya kebahagiaan akan mendatangkan penderitaan.
Seseorang
dapat menderita terhadap suatu perubahan karena memiliki beberapa faktor
pendukung, seperti kemelekatan, keinginan, hawa nafsu dan lain sebagainya.
Ketika kita berusaha mengamati dan menyadari kehidupan kita per-detiknya,
segalanya mengalami perubahan entah itu perubahan posisi tubuh, perubahan detak
jantung yang terus berdenyut, nafas masuk dan keluar, bahkan pikiran kita
setiap saat pun mengalami perubahan, berubah setiap detiknya. Dalam hitungan
waktu panjang sudah pastinya kita mengalami perubahan, mulai dari lahr menjadi
bayi ― masa
kanak-kanak ― remaja ― dewasa ― tua ― sakit ― sampai kematian datang, itulah proses perubahan
hitungan waktu panjang yang wajar kita alami. Demikian pula
terjadi perubahan dalam batin, seseorang dapat menjadi lebih baik atau
sebaliknya menjadi lebih buruk dalam perjalanan hidupnya.
2. Dukkha
Dalam
masyarakat Buddhis dan umum, dukkha
diartikan sebagai ‘penderitaan’, akan tetapi dukkha sendiri memiliki arti yang lebih luas. Yang dimaksud
dengan dukkha adalah keadaan yang tidak memuaskan, tidak menyenangkan,
kesakitan, kedukaan, kesedihan, penderitaan yang dialami oleh seseorang.
Terdapat ungkapan ‘Sabbe
saṅkhārā dukkha’ yang
berarti segala sesuatu yang merupakan gabungan unsur-unsur adalah dukkha.
Dukkha
yang dimaksud oleh Sang Buddha adalah dukkha secara psikologis yang berasal
dari:
a.
DUKKHA-DUKKHA
yaitu dukkha sebagai penderitaan biasa seperti kelahiran sakit, usia tua,
kematian, berpisah dengan yang dicintai, berkumpul dengan yang dibenci, tidak
memperoleh sesuatu yang diinginkan, kesedihan, keluh kesah, kegagalan dan
sebagainya.
b.
VIPARINĀMA
DUKKHA yaitu dukkha sebagai akibat dari perubahan seperti suatu
perasaan bahagia pada waktunya akan berubah dan perubahan ini akan menimbulkan
kesedihan, penderitaan dan ketidakbahagiaan.
c.
SANKHĀRA
DUKKHA yaitu dukkha sebagai akibat dari keadaan yang bersyarat.
Untuk itu seseorang harus memahami manusia sebagai gabungan dari lima khanda
yang terdiri atas badan jasmani, pikiran, perasaan, pencerapan dan kesadaran.
Sang Buddha menyatakan, ”O bhikkhu, apakah dukkha itu ? Harus diketahui bahwa
kemelekatan pada lima khanda itu adalah dukkha . Dukkha bersumber kepada tanha {nafsu keinginan}.’’
Tanha
merupakan nafsu keinginan yang tiada habisnya yang dapat dibedakan menjadi tiga
jenis:
a.
KAMA
TANHA yang merupakan nafsu keinginan akan kenikmatan indria.
b.
BHAVA
TANHA yang merupakan nafsu keinginan akan kelangsungan atau
lahir kembali.
c.
VIBHAVA
TANHA yang merupakan nafsu keinginan untuk pemusnahan diri.
Kita selalu hidup dalam keadaan tidak
terpuaskan, selalu ingin ini dan ingin itu. Keadaan yang tidak pernah terpuaskan
itulah yang menjadi penderitaan bagi kita, karena tidak semua apa yang kita
inginkan dapat kita penuhi. Oleh sebab itu, merasa puas dengan apa yang
dimiliki (Santuṭṭhi) akan membawa
kita kepada berkurangnya keinginan-keinginan dan membuat kita jauh dari keadaan
tidak terpuaskan.
Lalu apakah dukkha dapat dihentikan? Dukkha
dapat dihentikan melalui salah satu dari Empat Kesunyataan Mulia, dikatakan
oleh Buddha kesunyataan mulia pertama adalah dukkha, yang kedua adalah sumber dukkha, yang ketiga adalah terhentinya dukkha, dan kesunyataan mulia yang keempat adalah jalan untuk
menghentikan dukkha. Selama seseorang
belum mencapai tingkat kesucian tertinggi ‘Arahat’,
selama itu juga ia akan mengalami kelahiran kembali dalam 31 alam kehidupan,
dan selama itu juga ia belum terbebas dari dukkha.
3. Anatta
Kata anatta secara umum diartikan tidak ada diri atau jiwa. Atta dalam kamus bahasa pāli memili arti
diri, jiwa, atau roh (ātman). ). Dalam hal ini yang dimaksud adalah bahwa di
dalam alam semesta ini tidak terdapat jiwa atau roh yang kekal abadi yang tidak
berubah sepanjang masa .Terdapat ungkapan : ‘Sabbe dhammā
anatta’ yang
berarti segala sesuatu yang merupakan gabungan unsur-unsur maupun yang tidak
merupakan gabungan unsur-unsur adalah anatta.
Dalam
praktik kesehariaan, anatta juga
dapat diartikan sebagai sikap tidak egois. Egois berarti menganggap dirinya
paling hebat dan paling unggul. Namun perlu disadarkan bahwa segala hal yang
ada dalam hidup kita melibatkan banyak pihak. Kita butuh dokter saat sakit,
butuh petani yang menanam padi, sayuran, dan buah untuk memenuhi kebutuhan
makan kita. Tanpa mereka semua kebutuhan kita tidak akan terpenuhi. Ini lah hal
sederhana yang dimaksud dengan gabungan unsur-unsur. Termaksud diri kita, kata
‘aku, saya’ hanya istilah yang disepakati untuk memberikan nama terhadap
gabungan beberapa unsur (Pañcakhandha)
yaitu, unsur batin (nāma) dan jasmani
(rūpa) ― Batin (nāma) terdiri dari empat unsur yaitu perasaan (vedanā), pencerapan (saññā), bentuk pikiran (saṅkhāra) dan kesadaran(viññāṇa). Sama halnya ‘mobil’ dapat
dikatakan mobil jika tersusun atas beberapa komponen, yaitu ban, pintu, kaca,
stir, mesin, dan lain sebagainya.
Secara
duniawi adalah tidak tepat menyatakan bahwa manusia itu tidak ada, di mana
manusia itu adalah istilah yang disepakati untuk gabungan jasmani dan batin.
Yang dimaksud sebenarnya dengan ‘tidak ada aku’ adalah bahwa dalam diri semua
makhluk tidak ada sesuatu inti atau roh atau jiwa yang kekal abadi yang tidak
mengalami perubahan . Apabila seseorang berbuat jahat, maka ia sebagai gabungan
jasmani dan batin akan mengalami penderitaan sebagai akibat dari perbuatan
jahat itu.
Kesimpulan
Pada
dasarnya seseorang hidup di dunia haruslah memiliki Viriya (semangat) dalam melaksanakan sesuatu. Karena bagi seseorang
yang belum mencapai tingkat kesucian, selama itu juga dalam kehidupannya ― dalam dirinya
masih terdapat rasa ‘aku’ yang mengikuti setiap cara berfikir dan bertindaknya
dalam mencapai kesuksesannya. Yang perlu diperhatikan adalah menjadikan tilakkhaṇa sebagai motivasi hidup, yaitu
diharapkan dengan memahami apa sesunggunya itu tilakkhaṇa (aniccā, dukkhā,
dan anatta) lobha (keserakahan), dosa (kebencian), yang bersekutu dengan moha (kebodohan) akan berkurang. Dengan demikian ketika
mengalami pasang surut atau kegagalan dalam kehidupan kita paham, bahwa segala
sesuatu pasti mengalami perubahan demikian dengan kegagalan dan pasang surut
yang kita alami, pasti akan berlalu dan berubah, tentu baik ― buruk perubahannya
kita yang menentukan. Dan dengan demikian kita diarahkan untuk tidak menyakiti
makhluk lain karena kita tidak dapat menerima perubahan tersebut. Ketiga sifat
kehidupan ini sering kali menjadi faktor penghambat dalam kehidupan jika kita
tidak memahaminya, merasa gagal, putus ada dan akhirnya depresi bisa saja
terjadi pada diri kita. Namun dengan mengerti tentang tiga sifat (tilakkhaṇa) tersebut, yaitu aniccā, dukkhā, dan anatta kita
diharapkan dapat termotivasi karena paham akan perubahan dan dapat menerimanya,
lalu dapat merasa puas terhadap apa yang dimiliki, terlebih lagi kita dapat
bahagia dengan tidak egois, mengetahui bahwa segala sesuatu dalam hidup ini
tidak berdiri tunggal namun tersusun atau terdiri dari gabungan-gabungan. Demikianlah
caranya tilakkhaṇa dapat mendatangkan kedamaian pada diri sendiri
dan juga pada orang lain, dan sebagai
motivasi hidup yang menjadi suatu daya atau alat, baik dibangun untuk digunakan
sebagai dorongan dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan disini berarti tujuan
yang mengarah kepada kehidupan yang baik, mengurangi sifat
menyakiti dan merugikan pada diri seseorang.
Mendut, 16
Februari 2014. 23.44 WIB
Sumber:
-
Kaharuddin, Pandit Jinaratana. 2004. Kamus Umum Buddha Dhamma (Pāli – Sansekerta – Indonesia). Tri Sattva Buddhist Center, Jakarta.
-
Supandi, Cunda J. 1995. Tatabahasa Pāli. Yayasan Penerbit Karaniya, Bandung.
-
Tim penyusun, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar