MENCIPTAKAN
KELUARGA HARMONIS
DENGAN CARA KEPEMIMPINAN
MENURUT BUDDHISME
Oleh: Sāmaṇera Guṇavaro Guṇapiyo
Attā have jitaṁ
seyyo Yā cāyaṁ itarā pajā
Attadantassa posassa niccaṁ
saññatacarino.
Menaklukan diri sendiri sesungguhnya lebih baik, Daripada menaklukan
orang lain.
Orang yang dapat menaklukan diri sendiri, Selalu dapat
mengendalikan diri.
(Dhammapada:
104)
Pendahuluan
Kehidupan berumah tangga tidak luput dari keinginan untuk memiliki keluarga
yang rukun dan bahagia. Keluarga mana di dunia ini yang tidak ingin hidup
bahagia dan penuh dengan kerukunan, tentu semuanya mendambakan hal tersebut. Namun
ketika suatu keluarga memiliki keinginan tersebut, apa yang mereka lakukan
untuk mencapainya? Tujuan bias sama, cara selalu berbeda. Kesuksesan sebuah
keluarga ditentukan oleh seberapa baik pemimpin keluarga dapat memimpin dan
mengarahkan keluarganya untuk mencapai tujuan-tujuannya, akan tetapi pemimpin
disini bukan hanya seorang suami, seorang isteri juga termaksud pemimpin dalam
sebuah keluarga, memimpin dalam hal urusan rumah, urusan merawat anak,
termaksud mengurus sang suami, demikian juga suami dan isteri (orangtua) adalah
pemimpin bagi anak-anaknya, karena bagaimanapun seorang anak akan mencontoh setiap
hal yang orangtuanya lakukan. Dengan demikian perlu adanya cara bagaimana
memimpin keluarga dengan baik dan benar, sehingga dapat membimbing menuju
pencapaian tujuan, keluarga yang penuh kedamaian.
Pembahasan
Dalam Ajaran Guru Agung Buddha, dikatakan ada empat hal atau empat cara
menjadi seorang pemimpin yang baik, keempat hal ini dapat ditemukan didalam Samyutta-Nikāya I: 215. Apa sajakah
keempat hal tersebut? Demikian yang Guru Agung Buddha paparkan:
1.
Sacca
Seorang pemimpin
baik itu pemimpin Negara, vihara, atau keluarga hendaknya ia memiliki sacca yaitu kejujuran. Seorang yang
memimpin dengan kejujuran tentu akan disenangi banyak orang, dan
kepemimpinannya bebas dari celaan. Pemimpin yang tidak jujur akan merugikan
banyak orang, terlebih lagi pemimpin dalam keluarga, baik isteri, suami, atau
orangtua terhadap anaknya, komponen kleuarga tersebut hendaknya mengutamakan kejujuran
dalam berbagai aspek, baik keuangan maupun yang lainnya. Dengan memiliki
kejujuran keluarga tersebut akan terbebas dari perselisihan dan kesalah-pahaman,
sehingga keribuatan dalam keluarga akan sulit terjadi, keluarga akan penuh
kerukunan dan kedamaian.
2.
Dama
Dama berarti
mengetahui cara untuk mengendalikan pikirannya sendiri. Artinya seorang
pemimpin hendaknya dapat mengetahui cara bagaimana ia dapat memiliki pikiran
yang tenang, tenang ketika dihadapkan dengan suatu masalah atau suatu
persoalan. Dengan mampunya seorang pemimpin mengendalikan pikiran, ia tidak
akan mudah emosi, terkendali dalam setiap perbuatannya. Pikiran diibaratkan
seperti monyet yang liar, loncat dari satu pohon ke pohon yang lainnya,
demikian lah dengan seseorang yang belum mengetahui cara dalam mengendalikan
pikiran. Mengendalikan pikiran juga sangat berguna dalam memutuskan suatu hal,
pikiran yang tenang akan menghasilkan keputusan yang baik, tidak sembrono, dan
asal jadi.
3.
Khanti
Kesabaran adalah kunci dimana seseorang dihadapkan dengan
banyak permasalahan hidup. Kesabaran berarti tidak tergesa-gesa dalam melakukan
sesuatu, tidak penuh dengan nafsu (emosi) dalam menginginkan sesuatu, artinya
seseorang selalu melihat seberapa besar kemampuannya dalam mendapatkan apa yang
diinginkan. Kesabaran juga tidak diartikan sebagai orang yang duduk diam tidak
melakukan sesuatu – tetapi malah menginginkan sesuatu. Kesabaran disini berarti
seseorang harus tekun dan ulet, tidak pantang menyerah meski beberapa kali
mengalami kegagalan dan jalan buntu – dengan kata lain khanti (kesabaran) disni berarti tekun melakukan sesuatu dan tidak
kenal lelah atau putus asa.
4.
Cāga
Orang mana yang tidak mau pemimpinnya memiliki sifat
dermawan, isteri mana yang tidak mau suaminya murah hati, apalagi kalau murah
hatinya kepada keluarga, kepada isteri atau suami. Cāga berati sifat mau memberi dan sifat mau berbagi, yang hendaknya
sifat seperti ini dimiliki oleh seorang pemimpin, baik negara maupun rumah
tangga. Kepala rumah tangga, ibu rumah tangga, dan anak jika mereka semuanya
tidak mau saling berbagi apa jadinya? Suami tidak mau berbagi penghasilan, ibu
tidak mau berbagi tenaga dalam mengurus rumah tangga, dan anaknya tidak mau
berbagi masalah yang dialaminya, tidak dapat dipungkiri keluarga yang seperti
itu adalah keluarga yang tidak pernah merasakan kebahagiaan dan kedamaian dalam
berkeluarga. Mau berbagi tidak hanya cukup dalam keluarga, artinya keluarga
tersebut juga seyogianya mau berbagi dengan orang-orang yang membutuhkan,
kepada yang layak menerima (anggota saṅgha),
dan tentunya dengan pemberian yang layak.
Dengan keempat hal yang Guru Agung Buddha paparkan, seseorang
hendaknya menerapkan hal-hal tersebut dalam kehidupannya. Kenapa? Karena tidak
ada kebagaiaan yang instan, tidak ada kesuksesan yang datang dengan sendirinya,
harus ada usaha yang dilakukan, tidak cukup dengan belajar dan tahu. Dalam pepatah
jawa dikatakan ‘Ngelmu iku kelakone
khanti laku’ artinya ilmu itu bisa terwujud dengan cara dilakukan – Dhamma yang membawa manfaat tidak cukup
juga dengan belajar dan tahu tetapi akan membawa manfaat yang nyata ketika Dhamma mau dipraktikan dengan
sungguh-sungguh. Oleh karena itu lakukanlah apa yang hendaknya dilakukan, dan
jangan lakukan apa yang hendaknya tidak dilakukan, sesuatu hal yang bermanfaat
akan dirasakan manfaatnya ketika kita semua mau mencoba untuk melakukannya.
Kaloran – Temanggung, 12 Mei 2014, 09:45 WIB
Referensi:
- Kaharuddin,
Pandit Jinaratana. 2004. Kamus Umum
Buddha Dhamma (Pāli – Sansekerta – Indonesia). Tri Sattva Buddhist Center, Jakarta.
-
Tim penyusun, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta.
- Tim
Penyusun. 2013. Kitab Suci Dhammapada.
Penerbit Bahussuta Society, Singkawang Selatan. (Penerjamah Indonesia: YM. Phra
Rājavarācāriya ‘Bhante Win Vijāno’, Penerjemah Inggris: Ven. Acharya Buddharakkhita,
dan Penerjemah Mandarin: Ven. Bhikkhu Dhammavaro ‘Fa Zhen’)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar