Senin, 12 Mei 2014

MENCIPTAKAN KELUARGA HARMONIS DENGAN CARA KEPEMIMPINAN MENURUT BUDDHISME



MENCIPTAKAN KELUARGA HARMONIS
DENGAN CARA KEPEMIMPINAN MENURUT BUDDHISME
Oleh: Sāmaṇera Guṇavaro Guṇapiyo

Attā have jitaṁ seyyo   Yā cāyaṁ itarā pajā
Attadantassa posassa  niccaṁ saññatacarino.
Menaklukan diri sendiri sesungguhnya lebih baik, Daripada menaklukan orang lain.
Orang yang dapat menaklukan diri sendiri, Selalu dapat mengendalikan diri.
(Dhammapada: 104)

Pendahuluan
Kehidupan berumah tangga tidak luput dari keinginan untuk memiliki keluarga yang rukun dan bahagia. Keluarga mana di dunia ini yang tidak ingin hidup bahagia dan penuh dengan kerukunan, tentu semuanya mendambakan hal tersebut. Namun ketika suatu keluarga memiliki keinginan tersebut, apa yang mereka lakukan untuk mencapainya? Tujuan bias sama, cara selalu berbeda. Kesuksesan sebuah keluarga ditentukan oleh seberapa baik pemimpin keluarga dapat memimpin dan mengarahkan keluarganya untuk mencapai tujuan-tujuannya, akan tetapi pemimpin disini bukan hanya seorang suami, seorang isteri juga termaksud pemimpin dalam sebuah keluarga, memimpin dalam hal urusan rumah, urusan merawat anak, termaksud mengurus sang suami, demikian juga suami dan isteri (orangtua) adalah pemimpin bagi anak-anaknya, karena bagaimanapun seorang anak akan mencontoh setiap hal yang orangtuanya lakukan. Dengan demikian perlu adanya cara bagaimana memimpin keluarga dengan baik dan benar, sehingga dapat membimbing menuju pencapaian tujuan, keluarga yang penuh kedamaian.
Pembahasan
Dalam Ajaran Guru Agung Buddha, dikatakan ada empat hal atau empat cara menjadi seorang pemimpin yang baik, keempat hal ini dapat ditemukan didalam Samyutta-Nikāya I: 215. Apa sajakah keempat hal tersebut? Demikian yang Guru Agung Buddha paparkan:
1.      Sacca
Seorang pemimpin baik itu pemimpin Negara, vihara, atau keluarga hendaknya ia memiliki sacca yaitu kejujuran. Seorang yang memimpin dengan kejujuran tentu akan disenangi banyak orang, dan kepemimpinannya bebas dari celaan. Pemimpin yang tidak jujur akan merugikan banyak orang, terlebih lagi pemimpin dalam keluarga, baik isteri, suami, atau orangtua terhadap anaknya, komponen kleuarga tersebut hendaknya mengutamakan kejujuran dalam berbagai aspek, baik keuangan maupun yang lainnya. Dengan memiliki kejujuran keluarga tersebut akan terbebas dari perselisihan dan kesalah-pahaman, sehingga keribuatan dalam keluarga akan sulit terjadi, keluarga akan penuh kerukunan dan kedamaian.

2.      Dama
Dama berarti mengetahui cara untuk mengendalikan pikirannya sendiri. Artinya seorang pemimpin hendaknya dapat mengetahui cara bagaimana ia dapat memiliki pikiran yang tenang, tenang ketika dihadapkan dengan suatu masalah atau suatu persoalan. Dengan mampunya seorang pemimpin mengendalikan pikiran, ia tidak akan mudah emosi, terkendali dalam setiap perbuatannya. Pikiran diibaratkan seperti monyet yang liar, loncat dari satu pohon ke pohon yang lainnya, demikian lah dengan seseorang yang belum mengetahui cara dalam mengendalikan pikiran. Mengendalikan pikiran juga sangat berguna dalam memutuskan suatu hal, pikiran yang tenang akan menghasilkan keputusan yang baik, tidak sembrono, dan asal jadi.

3.      Khanti
Kesabaran adalah kunci dimana seseorang dihadapkan dengan banyak permasalahan hidup. Kesabaran berarti tidak tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu, tidak penuh dengan nafsu (emosi) dalam menginginkan sesuatu, artinya seseorang selalu melihat seberapa besar kemampuannya dalam mendapatkan apa yang diinginkan. Kesabaran juga tidak diartikan sebagai orang yang duduk diam tidak melakukan sesuatu – tetapi malah menginginkan sesuatu. Kesabaran disini berarti seseorang harus tekun dan ulet, tidak pantang menyerah meski beberapa kali mengalami kegagalan dan jalan buntu – dengan kata lain khanti (kesabaran) disni berarti tekun melakukan sesuatu dan tidak kenal lelah atau putus asa.

4.      Cāga
Orang mana yang tidak mau pemimpinnya memiliki sifat dermawan, isteri mana yang tidak mau suaminya murah hati, apalagi kalau murah hatinya kepada keluarga, kepada isteri atau suami. Cāga berati sifat mau memberi dan sifat mau berbagi, yang hendaknya sifat seperti ini dimiliki oleh seorang pemimpin, baik negara maupun rumah tangga. Kepala rumah tangga, ibu rumah tangga, dan anak jika mereka semuanya tidak mau saling berbagi apa jadinya? Suami tidak mau berbagi penghasilan, ibu tidak mau berbagi tenaga dalam mengurus rumah tangga, dan anaknya tidak mau berbagi masalah yang dialaminya, tidak dapat dipungkiri keluarga yang seperti itu adalah keluarga yang tidak pernah merasakan kebahagiaan dan kedamaian dalam berkeluarga. Mau berbagi tidak hanya cukup dalam keluarga, artinya keluarga tersebut juga seyogianya mau berbagi dengan orang-orang yang membutuhkan, kepada yang layak menerima (anggota saṅgha), dan tentunya dengan pemberian yang layak.

Dengan keempat hal yang Guru Agung Buddha paparkan, seseorang hendaknya menerapkan hal-hal tersebut dalam kehidupannya. Kenapa? Karena tidak ada kebagaiaan yang instan, tidak ada kesuksesan yang datang dengan sendirinya, harus ada usaha yang dilakukan, tidak cukup dengan belajar dan tahu. Dalam pepatah jawa dikatakan ‘Ngelmu iku kelakone khanti laku’ artinya ilmu itu bisa terwujud dengan cara dilakukan – Dhamma yang membawa manfaat tidak cukup juga dengan belajar dan tahu tetapi akan membawa manfaat yang nyata ketika Dhamma mau dipraktikan dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu lakukanlah apa yang hendaknya dilakukan, dan jangan lakukan apa yang hendaknya tidak dilakukan, sesuatu hal yang bermanfaat akan dirasakan manfaatnya ketika kita semua mau mencoba untuk melakukannya.

Kaloran – Temanggung, 12 Mei 2014, 09:45 WIB
Referensi:
-     Kaharuddin, Pandit Jinaratana. 2004. Kamus Umum Buddha Dhamma (Pāli – Sansekerta – Indonesia).  Tri Sattva Buddhist Center, Jakarta.
-     Tim penyusun, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta.
-     Tim Penyusun. 2013. Kitab Suci Dhammapada. Penerbit Bahussuta Society, Singkawang Selatan. (Penerjamah Indonesia: YM. Phra Rājavarācāriya ‘Bhante Win Vijāno’, Penerjemah Inggris: Ven. Acharya Buddharakkhita, dan Penerjemah Mandarin: Ven. Bhikkhu Dhammavaro ‘Fa Zhen’)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar