Senin, 12 Mei 2014

SIGNIFIKANSI AṬṬHAKA-VAGGA DALAM MEMAHAMI AJARAN SANG BUDDHA YANG SEBENARNYA


SIGNIFIKANSI AṬṬHAKA-VAGGA
DALAM MEMAHAMI AJARAN SANG BUDDHA YANG SEBENARNYA
Oleh: Samanera Gunavaro Gunapiyo


Pendahuluan
Agama Budha biasanya lebih dikenal dengan nama Buddha-Dhamma. Seluruh ajaran Sang Buddha Gotama dapat ditafsirkan dalam satu kata, yang dalam bahasa pāḷi disebut Dhamma atau dalam bahasa Sansekerta disebut Dharma. Bahasa pāḷi adalah bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat di kerajaan Magadha, pada masa hidup Sang Buddha. Dhamma adalah kebenaran semesta dari segala sesuatu yang berbentuk dan yang tidak berbentuk.
Bila manusia berada dalam Dhamma, ia akan dapat melepaskan dirinya dari penderitaan dan akan mencapai Nibbāna, yang merupakan akhir semua Dukkha. Berada didalam Dhamma disini berati seseorang mampu melaksanakan atau mempraktikan Dhamma dalam kehidupannya. Ajaran Buddha pada awalnya hanya terdiri atas Dhamma-Vinaya, sebelum akhirnya pada perkembangan konsili-konsili setelah Buddha Parinibbāna dibukukan dan disusun menjadi 3 (tiga) kelompok atau kerajang yang dinamakan Tipiṭaka, yaitu; Vinaya-Piṭaka, Sutta-Piṭaka, dan Abhidhamma-Piṭaka.
Aṭṭhaka-Vagga merupakan 4 (empat) dari 5 (lima) Vagga dalam Suttanipāta (Sn. 151-189), yang terdapat dalam Sutta-Piaka – Khuddaka-Nikāya. Dimana di dalamnya terdapat 16 (enam-belas) sutta. (1) Kāma-Sutta, (2) Guhaṭṭhaka-Sutta, (3) Duṭṭhaṭṭhaka -Sutta, (4) Saddhaṭṭhaka-Sutta, (5) Paramaṭṭhaka-Sutta, (6) Jarā-Sutta, (7) Tissametteyya-Sutta, (8) Pasūra-Sutta, (9) Māgandiya-Sutta, (10) Purābheda-Sutta, (11) Kalahavivād-Sutta, (12) Cūḷaviyūha, (13) Mahāviyūha, (14) Tuvaṭaka, (15) Attadaṇṭa-Sutta, dan (16) Sāriputta-Sutta.




TIPIṬAKA

Vinaya-Piṭaka
Sutta-Piṭaka
Abhidhamma-Piṭaka



Khuddaka-Nikāya



Suttanipāta-Pāḷi



Aṭṭhaka-Vagga











Aṭṭhaka Vagga merupakan teks tertua dari canon Pāḷi. Sebelum menjadi bagian di dalam Suttanipāta - Aṭṭhaka-Vagga keberadaannya berdiri sendiri. Faktanya dibuktikan dengan banyaknya referensi atau rujukan mengenai Aṭṭhaka-Vagga, vagga ini dapat ditemukan pada beberapa bagian Tipiṭaka; Vinaya (I, 196), Samyutta-Nikāya (III, 9,2), dan Udāna (59). Pada Mahāniddesa yang terdapat dalam Khuddhaka-Nikāya terdapat komentar megenai Aṭṭhaka-Vagga.
Pada sutta sansekerta dinamakan Arthapada-Sūtra. Sama dengan sutta pāḷi dalam sutta sansekerta terdapat 16 sūtra. N.A. Jayawickrama dalam analisanya yang kritis mengenai Suttanipāta-Pāḷi menytakan Arthavargiyāni-Sūtrāni merujuk kedalam Divyāvadāna, Arthavargīya pada Abhidharmakośa dan Bodhisattvabhūmi dan beberapa tulisan sansekerta, dan banyak opini merujuk pada versi sansekerta dari Aṭṭhaka-Vagga.
Dalam pemaknaan arti dari Aṭṭhaka-Vagga terdapat banyak perbedaan pendapat. Lord Chalmers didalam terjemahannya dari Suttanipāta menyatakan bahwa judul Aṭṭhaka-Vagga didalam bahasa Inggris sama dengan ‘buku ke delapan’ (Aṭṭhaka = Aṣṭaka). Dia meyatakan Aṭṭhaka = delapan, karena 4 (empat) sutta yang terdapat didalam Aṭṭhaka-Vagga memiliki 8 (delapan) bagian. N.A. Jayawickrama menyatakan bahwa itu adalah kesalahan dalam pemberian nama, dan Aṭṭhaka didalam hal ini memiliki arti ‘bermakna’ (arthaka), seperti yang diberikan dalam vagga versi sansekerta.
Jadi Aṭṭhaka-Vagga memiliki 2 penafsiran makna atau arti, yaitu; Aṭṭhaka-vagga = 8 (delapan) kelompok; atau Atthaka-Vagga = kelompok yang bermanfaat.

Latar Belakang Aṭṭhaka-Vagga
Aṭṭhaka-Vagga pertama kali diucapkan ulang oleh seorang Bhikkhu yang bernama Sona Kotikanna. Latar belakang Sona Kotikanna adalah seorang pengikut perumah awam dari Y.A. Mahākaccāna, yang kemudian dijadikan sebagai pembatunya. Setelah beberapa waktu memohon kepada Y.A. Mahākaccāna untuk menjadi seorang Bhikkhu, pada akhirnya Sona Kotikanna di Upassampada menjadi seorang Bhikkhu oleh Y.A. Mahākaccāna. Pada suatu waktu timbul didalam pikiran Bhikkhu Sona Kotikanna untuk pergi menemui Buddha. Bhikkhu Sona Kotikanna lalu meminta izin kepada Y.A. Mahākaccāna. Setelah mendapatkan izin, Bhikkhu Sona Kotikanna lalu melakukan perjalanan jauh untuk menemui Buddha. Setelah beberapa waktu melakukan perjalanan panjang tiba Bhikkhu Sona Kotikanna di tempat Buddha berada, di Savatthi. Bhikkhu Sona Kotikanna lalu berjumpa dengan Buddha, setelah menghormat dan dipersilakan istirahat oleh Buddha di tempat yang telah disiapkan oleh Ananda, pada keesokan harinya Buddha meminta kepada Bhikkhu Sona Kotikanna untuk mengulang Dhamma, dan Bhikkhu Sona Kotikanna memenuhi permintaan tersebut dan mengulang 16 bagian dari Aṭṭhaka-Vagga. Pada akhir pengulangan Dhamma, Buddha memuji ketangkasan, pemahaman, ingatan dan penyampaian yang sangat baik, yang telah Bhikkhu Sona Kotikanna lakukan.


Sutta dalam Aṭṭhaka-Vagga

1.       Kāma-Sutta (Kenikmatan Indera)
Sutta ini menjelaskan mengenai kenikmatan-kenikmatan indera yang harus dihindari. Menjadi sangat penting untuk dihindari karena akan membawa pada pencapaian Nibbāna. Ketika seseorang masih menginginkan berbagai jenis kenikmatan indera, emosi kuat, bahaya dan penderitaan akan mengikutinya.


2.       Guhaṭṭhaka-Sutta (Gua)
Dikatakan ‘gua’ kerena dianggap lubang panjang atau dalam dan gelap. Jika seseorang melekat pada gua tubuh, sama halnya dia terjerumus didalam lubang yang panjang dan gelap. Gua tubuh disini adalah kenikmatan-kenikmatan indera yang terkondisi oleh nafsu keinginan. Bagi seseorang yang seperti itu maka penderitaan akan terus mengikutinya, sebaliknya orang yang tidak melekat pada objek-objek duniawi ia akan mencapai Nibbāna atau pembebasan.

3.       Duṭṭhahaṭṭhaka-Sutta (Korupsi)
Menjelaskan mengenai keyakinan bahwa diri sendiri adalah yang paling benar. Sehingga memunculkan kesombongan, dari kesombongan tersebut ia sangat melekat pada pandangan-pandangan yang dibagunnya dan menolak pandangan lain.

4.       Suddhaṭṭhaka-Sutta (Kemurnian)
Kemurnian disini adalah bagi mereka yang telah melepaskan diri dari apapun yang dilihat, didengar atau dikongnisi, mereka yang tidak berspekulasi, tidak menjungjung tinggi pandangan-pandangan manapun, maka mereka melepaskan sipat kemelekatan dan tidak merindukan apapun di dunia ini.

5.       Paramaṭṭhaka-Sutta (Kesempurnaan)
Baginya tidak ada nafsu untuk meraih ini atau itu, di dunia ini ataupun di dunia yang akan datang. Tak lagi dia berhubungan dengan dogma karena dia tidak lagi membutuhkan penghiburan yang di tawarkan oleh dogma-dogma tersebut.
Mereka tidak membentuk dogma apapun, serta tidak lebih menyukai apapun. Pandangan-pandangan dogmatis, tidak dipandang tinggi olehnya, tidak dikuasai peraturan maupun spiritual, maka akan menuju pantai seberang dan tidak akan pernah kembali, jika telah memiliki kemantapan didalamnya.

6.       Jarā-Sutta (Kelapukan)
Sekalipun manusia akan hidup lebih dari 100 (seratus) tahun, dia pasti mati karena kelapukan, manusia yang tamak dan egois tidak akan melepaskan kesedihan, ratap tangis, dan kekikiran. Begitu pula dengan orang yang tidak melekat dengan apa yang dilihat, didengar, ataupun yang dipikirkan, bagai setetes air yang tidak melekat pada daun teratai.

7.       Tissametteyya-Sutta (Tissametteya)
Berisikan mengenai pujian terhadap kehidupan selibat. Terdapat bagian yang menyatakan; hendaknya seseorang berlatih di dalam kesendirian, karena itulah kehidupan yang sesuai, dan dengan demikian dia tidak boleh menganggap dirinya yang terbaik. Dan setelah ini dia berada di ambang pembebasan Nibbāna. Hidup sendiri berarti bebas dari nafsu-nafsu indera.

8.       Pasūra-Sutta (Perselisihan mempertahankan pandangan dan kesia-siaan)
Dengan berspekulasi dipikiran mengenai berbagai pandangan filsafat yang berbeda dan bersikeras mengenai hal itu dengan mengatakan hal itu yang paling benar, lalu merenungkan pandangan-pandangan itu. Tetapi dia tidak akan maju sembari mengikat diri pada manusia yang telah muni.

9.       Māgandiya-Sutta
Berisikan tentang dialog Buddha dengan Māgandiya, dimana Māgandiya menawarkan putrinya pada Buddha untuk di jadikan isteri.

10.   Purābheda-Sutta (Sifat-sifat seorang muni)
a.       Telah meninggalkan nafsu keinginan.
b.      Tidak memiliki kemarahan, ketakutan, dan kesombongan.
c.       Tidak merindukan masa depan dan menyesali masa lampau.
d.      Tidak menyembunyikan apapun, tidak merendah, dan tidak menghina orang lain.
e.      Tidak memikirkan diri sendiri dan tidak memiliki kebencian.
f.        Bekerja tidak mengharap sesuatu.
g.       Memiliki kewaspadaan yang membuat pikiran menjadi seimbang.
h.      Terbebas dari ketergantungan.

11.   Kalahavivāda-Sutta (Perselisihan dan pendirian)
Berisikan tentang penyebab-penyebab kemarahan dan kemelekaran.

a.       Airmata dan kesedihan mendalam.
b.      Kecongkakan dan kesombongan.
c.       Rasa dendam dan penghinaan
d.      Menyukai hal-hal yang berharga dan ingin memilikinya.

Keempat hal diatas berasal dari dorongan nafsu indera.

12.   Cūlaviyūha-Sutta (Penyebab-penyebab kecil pertikaian)
Karena berdiri kaku diatas pandangannya sendiri dan bergantung pada kriterianya sendiri (idealis), dia memasuki perselisihan di dunia. Berhenti dari segala teori akan terbebas dari perselisihan.

13.   Mahāviyūha-Sutta (Penyebab utama perselisihan)
Dengan mengatasi semua teori yang bedasarkan pada apa yang dilihat, didengar atau dipikirkan, dia menjadi orang bijaksana, yang menaruh beban dan terbebas, tidak berkhayal dalam pandangan-pandangan, tidak menginginkan apapun juga.

14.   Tuvaaka-Sutta (Jalan menuju kebahagiaan)
Berisikan tentang pengembaraan Bhikkhu yang Ideal.

a.       Menghindari menjadi sombong akan pendirian-pendiriannya.
b.      Tidak berfikir dirinya yang paling baik atau lebih baik.
c.       Mencari ketenangan di dalam diri bukan di luar diri.
d.      Berdiam tanpa nafsu apapun.
e.      Menjaga matan dan mulut, tidak memiliki keinginan untuk mencoba atau merasakan hal-hal baru.
f.        Tidak sedih atau berduka terhadap kesan yang terjadi dari kontak-kontak indera.
g.       Tidak serakah.
h.      Senang bermeditasi.
i.         Tidak banyak tidur, meninggalkan kemalasan, penipuan, hubungan seks, dan hiasan.
j.        Tidak memplajari praktik gaib atau meramal.
k.       Tidak merasa terganggu atau terusik oleh kritikan dan terkesan oleh pujian.
l.         Tidak melakukan jual – beli barang.
m.    Tidak membual atau berbohong.
n.      Tidak berbicara kasar yang dapat menyebabkan pertengkaran dan kemarahan.


15.   Attadaṇḍa-Sutta (Prilaku kekerasan)
Berisikan tentang kebebasan sempurna, isi dari sutta ini sama dengan Tuvaaka-Sutta.

16.   Sāriputta-Sutta (Praktik latihan seorang Bhikkhu)

4 (empat) pembatasan (Pariyanta):
a.       Sīlasavara       : pengendalian diri secara moral.
b.      Indriyasavara                : pengendalian Indera.
c.       Bhijanamattaññutā        : sikap tidak berlebihan terhadap makanan.
d.      Jāgiriyānuyoga : penuh kewaspadaan



Kesimpulan
Ajaran Agama Buddha yang sebenarnya adalah mengarah pada pengikisan atau penghacuran kekotoran batin yang dapat menuntun dalam pencapaian tertinggi Nibbāna. Yaitu adalah melihat dunia ini tidak memuaskan, mengetahui keadaan tanpa ikatan, melihat suatu keadaan sebagaimana adanya. Dengan mempelajari Aṭṭhaka-Vagga seseorang diarahkan atau dituntun untuk melihat suatu hal sebagai apa adanya, sehingga merasa jenuh dan bosan terhadap kehidupan ini, dengan demikian mempelajari dan mempraktikan apa yang dibahas di dalam Aṭṭhaka-Vagga kita dapat mengerti ajaran Agama Buddha yang sebenarnya dengan mengarahkan diri menuju pembebasan dan akhir dari Dukkha (Nibbāna).


­__________________________________________________

Referensi
-          Anggawati, Lanny & Wena Cintiawati (Penerjemah). 1995. Kitab Suci UDĀNA (Judul asli: The Udāna by John D. Ireland, translated from Pāḷi). Yogyakarta: Vidyāsena – Vihāra Vidyāloka.
-          Anggawati, Lanny & Wena Cintiawati (Penerjemah). 2007. Panduan Tipiaka (Judul asli: Guide to Tipiaka by U Ko Lay). Klaten: Wisma Sambodhi.
-          Anggawati, Lanny & Wena Cintiawati (Penerjemah). 1999. Sutta-Nipāta Kitab Suci Agama Buddha (Judul asli: The Sutta-Nipāta by H. Saddatissa, translated from Pāḷi). Klaten: Vihāra Bodhivaṁsa.
-          Malalasekera, G.P, dkk. 1966. Encyclopaedia of Buddhism. Ceylon: The Goverment of Ceylon.
-          Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar