SIGNIFIKANSI AṬṬHAKA-VAGGA
DALAM MEMAHAMI AJARAN SANG BUDDHA YANG SEBENARNYA
Oleh: Samanera Gunavaro Gunapiyo
Pendahuluan
Agama Budha biasanya lebih dikenal dengan nama Buddha-Dhamma. Seluruh ajaran Sang
Buddha Gotama dapat ditafsirkan dalam satu kata, yang dalam bahasa pāḷi disebut Dhamma atau dalam bahasa Sansekerta
disebut Dharma. Bahasa pāḷi adalah bahasa yang dipergunakan
oleh masyarakat di kerajaan Magadha, pada masa hidup Sang Buddha. Dhamma adalah kebenaran semesta dari
segala sesuatu yang berbentuk dan yang tidak berbentuk.
Bila manusia berada dalam Dhamma, ia akan dapat melepaskan dirinya
dari penderitaan dan akan mencapai Nibbāna,
yang merupakan akhir semua Dukkha.
Berada didalam Dhamma disini berati
seseorang mampu melaksanakan atau mempraktikan Dhamma dalam kehidupannya. Ajaran Buddha pada awalnya hanya terdiri
atas Dhamma-Vinaya, sebelum akhirnya
pada perkembangan konsili-konsili setelah Buddha Parinibbāna dibukukan dan disusun menjadi 3 (tiga) kelompok atau
kerajang yang dinamakan Tipiṭaka,
yaitu; Vinaya-Piṭaka, Sutta-Piṭaka, dan
Abhidhamma-Piṭaka.
Aṭṭhaka-Vagga merupakan 4 (empat) dari 5 (lima) Vagga dalam Suttanipāta (Sn. 151-189), yang terdapat dalam Sutta-Piṭaka –
Khuddaka-Nikāya.
Dimana di dalamnya terdapat 16 (enam-belas) sutta.
(1) Kāma-Sutta, (2) Guhaṭṭhaka-Sutta, (3) Duṭṭhaṭṭhaka -Sutta, (4) Saddhaṭṭhaka-Sutta, (5) Paramaṭṭhaka-Sutta, (6) Jarā-Sutta, (7) Tissametteyya-Sutta, (8) Pasūra-Sutta,
(9) Māgandiya-Sutta, (10) Purābheda-Sutta, (11) Kalahavivād-Sutta, (12) Cūḷaviyūha, (13) Mahāviyūha, (14) Tuvaṭaka,
(15) Attadaṇṭa-Sutta, dan (16) Sāriputta-Sutta.
TIPIṬAKA
|
|||||
Vinaya-Piṭaka
|
Sutta-Piṭaka
|
Abhidhamma-Piṭaka
|
|||
Khuddaka-Nikāya
|
|||||
Suttanipāta-Pāḷi
|
|||||
Aṭṭhaka-Vagga
|
|||||
Aṭṭhaka Vagga merupakan teks tertua dari canon Pāḷi. Sebelum menjadi bagian di dalam Suttanipāta - Aṭṭhaka-Vagga keberadaannya berdiri sendiri. Faktanya dibuktikan
dengan banyaknya referensi atau rujukan mengenai Aṭṭhaka-Vagga, vagga ini
dapat ditemukan pada beberapa bagian Tipiṭaka;
Vinaya (I, 196), Samyutta-Nikāya (III, 9,2), dan Udāna
(59). Pada Mahāniddesa yang
terdapat dalam Khuddhaka-Nikāya
terdapat komentar megenai Aṭṭhaka-Vagga.
Pada sutta sansekerta dinamakan Arthapada-Sūtra.
Sama dengan sutta pāḷi dalam sutta sansekerta terdapat 16 sūtra. N.A. Jayawickrama dalam
analisanya yang kritis mengenai Suttanipāta-Pāḷi
menytakan Arthavargiyāni-Sūtrāni merujuk
kedalam Divyāvadāna, Arthavargīya pada
Abhidharmakośa dan Bodhisattvabhūmi dan beberapa tulisan sansekerta, dan banyak opini merujuk
pada versi sansekerta dari Aṭṭhaka-Vagga.
Dalam
pemaknaan arti dari Aṭṭhaka-Vagga
terdapat banyak perbedaan pendapat. Lord Chalmers didalam terjemahannya dari Suttanipāta menyatakan bahwa judul Aṭṭhaka-Vagga didalam bahasa Inggris
sama dengan ‘buku ke delapan’ (Aṭṭhaka =
Aṣṭaka). Dia meyatakan Aṭṭhaka = delapan, karena 4 (empat) sutta yang terdapat didalam Aṭṭhaka-Vagga memiliki 8 (delapan)
bagian. N.A. Jayawickrama menyatakan bahwa itu adalah kesalahan dalam pemberian
nama, dan Aṭṭhaka didalam hal ini
memiliki arti ‘bermakna’ (arthaka),
seperti yang diberikan dalam vagga
versi sansekerta.
Jadi Aṭṭhaka-Vagga
memiliki 2 penafsiran makna atau arti, yaitu; Aṭṭhaka-vagga = 8 (delapan) kelompok; atau Atthaka-Vagga = kelompok yang bermanfaat.
Latar Belakang Aṭṭhaka-Vagga
Aṭṭhaka-Vagga pertama kali diucapkan ulang oleh seorang Bhikkhu yang bernama Sona
Kotikanna. Latar belakang Sona Kotikanna adalah seorang pengikut perumah awam
dari Y.A. Mahākaccāna, yang kemudian dijadikan sebagai pembatunya. Setelah
beberapa waktu memohon kepada Y.A. Mahākaccāna untuk menjadi seorang Bhikkhu,
pada akhirnya Sona Kotikanna di Upassampada
menjadi seorang Bhikkhu oleh Y.A. Mahākaccāna. Pada suatu waktu timbul didalam
pikiran Bhikkhu Sona Kotikanna untuk
pergi menemui Buddha. Bhikkhu Sona Kotikanna lalu meminta izin kepada Y.A.
Mahākaccāna. Setelah mendapatkan izin, Bhikkhu Sona Kotikanna lalu melakukan
perjalanan jauh untuk menemui Buddha. Setelah beberapa waktu melakukan
perjalanan panjang tiba Bhikkhu Sona Kotikanna di tempat Buddha berada, di Savatthi. Bhikkhu Sona Kotikanna lalu berjumpa
dengan Buddha, setelah menghormat dan dipersilakan istirahat oleh Buddha di
tempat yang telah disiapkan oleh Ananda, pada keesokan harinya Buddha meminta
kepada Bhikkhu Sona Kotikanna untuk mengulang Dhamma, dan Bhikkhu Sona Kotikanna memenuhi permintaan tersebut dan
mengulang 16 bagian dari Aṭṭhaka-Vagga.
Pada akhir pengulangan Dhamma, Buddha
memuji ketangkasan, pemahaman, ingatan dan penyampaian yang sangat baik, yang
telah Bhikkhu Sona Kotikanna lakukan.
Sutta dalam Aṭṭhaka-Vagga
1. Kāma-Sutta (Kenikmatan Indera)
Sutta ini menjelaskan mengenai kenikmatan-kenikmatan indera
yang harus dihindari. Menjadi sangat penting untuk dihindari karena akan
membawa pada pencapaian Nibbāna.
Ketika seseorang masih menginginkan berbagai jenis kenikmatan indera, emosi
kuat, bahaya dan penderitaan akan mengikutinya.
2. Guhaṭṭhaka-Sutta (Gua)
Dikatakan ‘gua’ kerena dianggap lubang panjang atau dalam dan gelap. Jika
seseorang melekat pada gua tubuh, sama halnya dia terjerumus didalam lubang
yang panjang dan gelap. Gua tubuh disini adalah kenikmatan-kenikmatan indera
yang terkondisi oleh nafsu keinginan. Bagi seseorang yang seperti itu maka
penderitaan akan terus mengikutinya, sebaliknya orang yang tidak melekat pada
objek-objek duniawi ia akan mencapai Nibbāna
atau pembebasan.
3. Duṭṭhahaṭṭhaka-Sutta (Korupsi)
Menjelaskan mengenai keyakinan
bahwa diri sendiri adalah yang paling benar. Sehingga memunculkan kesombongan,
dari kesombongan tersebut ia sangat melekat pada pandangan-pandangan yang
dibagunnya dan menolak pandangan lain.
4. Suddhaṭṭhaka-Sutta (Kemurnian)
Kemurnian disini adalah bagi mereka yang telah melepaskan
diri dari apapun yang dilihat, didengar atau dikongnisi, mereka yang tidak
berspekulasi, tidak menjungjung tinggi pandangan-pandangan manapun, maka mereka
melepaskan sipat kemelekatan dan tidak merindukan apapun di dunia ini.
5. Paramaṭṭhaka-Sutta (Kesempurnaan)
Baginya tidak ada nafsu untuk meraih ini atau itu, di
dunia ini ataupun di dunia yang akan datang. Tak lagi dia berhubungan dengan
dogma karena dia tidak lagi membutuhkan penghiburan yang di tawarkan oleh
dogma-dogma tersebut.
Mereka tidak membentuk dogma apapun, serta tidak lebih
menyukai apapun. Pandangan-pandangan dogmatis, tidak dipandang tinggi olehnya,
tidak dikuasai peraturan maupun spiritual, maka akan menuju pantai seberang dan
tidak akan pernah kembali, jika telah memiliki kemantapan didalamnya.
6. Jarā-Sutta (Kelapukan)
Sekalipun manusia akan hidup lebih dari 100 (seratus)
tahun, dia pasti mati karena kelapukan, manusia yang tamak dan egois tidak akan
melepaskan kesedihan, ratap tangis, dan kekikiran. Begitu pula dengan orang
yang tidak melekat dengan apa yang dilihat, didengar, ataupun yang dipikirkan,
bagai setetes air yang tidak melekat pada daun teratai.
7. Tissametteyya-Sutta (Tissametteya)
Berisikan mengenai pujian terhadap kehidupan selibat.
Terdapat bagian yang menyatakan; hendaknya seseorang berlatih di dalam
kesendirian, karena itulah kehidupan yang sesuai, dan dengan demikian dia tidak
boleh menganggap dirinya yang terbaik. Dan setelah ini dia berada di ambang
pembebasan Nibbāna. Hidup sendiri berarti
bebas dari nafsu-nafsu indera.
8. Pasūra-Sutta (Perselisihan mempertahankan pandangan
dan kesia-siaan)
Dengan berspekulasi dipikiran mengenai berbagai pandangan
filsafat yang berbeda dan bersikeras mengenai hal itu dengan mengatakan hal itu
yang paling benar, lalu merenungkan pandangan-pandangan itu. Tetapi dia tidak
akan maju sembari mengikat diri pada manusia yang telah muni.
9. Māgandiya-Sutta
Berisikan tentang dialog Buddha dengan Māgandiya,
dimana Māgandiya menawarkan putrinya pada Buddha untuk di jadikan
isteri.
10. Purābheda-Sutta (Sifat-sifat seorang
muni)
a.
Telah meninggalkan nafsu keinginan.
b.
Tidak memiliki kemarahan, ketakutan, dan kesombongan.
c.
Tidak merindukan masa depan dan menyesali masa lampau.
d.
Tidak menyembunyikan apapun, tidak merendah, dan tidak
menghina orang lain.
e.
Tidak memikirkan diri sendiri dan tidak memiliki kebencian.
f.
Bekerja tidak mengharap sesuatu.
g.
Memiliki kewaspadaan yang membuat pikiran menjadi seimbang.
h.
Terbebas dari ketergantungan.
11. Kalahavivāda-Sutta (Perselisihan dan
pendirian)
Berisikan tentang penyebab-penyebab
kemarahan dan kemelekaran.
a.
Airmata dan kesedihan mendalam.
b.
Kecongkakan dan kesombongan.
c.
Rasa dendam dan penghinaan
d.
Menyukai hal-hal yang berharga dan ingin memilikinya.
Keempat hal diatas berasal dari dorongan nafsu indera.
12. Cūlaviyūha-Sutta (Penyebab-penyebab kecil pertikaian)
Karena berdiri kaku diatas pandangannya sendiri dan
bergantung pada kriterianya sendiri (idealis), dia memasuki perselisihan di
dunia. Berhenti dari segala teori akan terbebas dari perselisihan.
13. Mahāviyūha-Sutta (Penyebab utama perselisihan)
Dengan mengatasi semua teori yang bedasarkan pada apa yang
dilihat, didengar atau dipikirkan, dia menjadi orang bijaksana, yang menaruh
beban dan terbebas, tidak berkhayal dalam pandangan-pandangan, tidak
menginginkan apapun juga.
14. Tuvaṭaka-Sutta (Jalan menuju
kebahagiaan)
Berisikan tentang pengembaraan Bhikkhu yang Ideal.
a.
Menghindari menjadi sombong akan pendirian-pendiriannya.
b.
Tidak berfikir dirinya yang paling baik atau lebih baik.
c.
Mencari ketenangan di dalam diri bukan di luar diri.
d.
Berdiam tanpa nafsu apapun.
e.
Menjaga matan dan mulut, tidak memiliki keinginan untuk
mencoba atau merasakan hal-hal baru.
f.
Tidak sedih atau berduka terhadap kesan yang terjadi dari
kontak-kontak indera.
g.
Tidak serakah.
h.
Senang bermeditasi.
i.
Tidak banyak tidur, meninggalkan kemalasan, penipuan,
hubungan seks, dan hiasan.
j.
Tidak memplajari praktik gaib atau meramal.
k.
Tidak merasa terganggu atau terusik oleh kritikan dan
terkesan oleh pujian.
l.
Tidak melakukan jual – beli barang.
m.
Tidak membual atau berbohong.
n.
Tidak berbicara kasar yang dapat menyebabkan pertengkaran dan
kemarahan.
15. Attadaṇḍa-Sutta (Prilaku kekerasan)
Berisikan tentang kebebasan sempurna, isi dari sutta ini sama dengan Tuvaṭaka-Sutta.
16. Sāriputta-Sutta (Praktik latihan seorang
Bhikkhu)
4 (empat) pembatasan (Pariyanta):
a.
Sīlasaṁvara : pengendalian diri secara moral.
b.
Indriyasaṁvara : pengendalian Indera.
c.
Bhijanamattaññutā : sikap tidak berlebihan terhadap
makanan.
d.
Jāgiriyānuyoga : penuh kewaspadaan
Kesimpulan
Ajaran Agama Buddha yang sebenarnya adalah mengarah pada
pengikisan atau penghacuran kekotoran batin yang dapat menuntun dalam
pencapaian tertinggi Nibbāna. Yaitu adalah melihat
dunia ini tidak memuaskan, mengetahui keadaan tanpa ikatan, melihat suatu
keadaan sebagaimana adanya. Dengan mempelajari Aṭṭhaka-Vagga seseorang diarahkan atau dituntun untuk melihat suatu hal
sebagai apa adanya, sehingga merasa jenuh dan bosan terhadap kehidupan ini,
dengan demikian mempelajari dan mempraktikan apa yang dibahas di dalam Aṭṭhaka-Vagga kita dapat mengerti
ajaran Agama Buddha yang sebenarnya dengan mengarahkan diri menuju pembebasan
dan akhir dari Dukkha (Nibbāna).
__________________________________________________
Referensi
-
Anggawati, Lanny & Wena Cintiawati (Penerjemah). 1995. Kitab
Suci UDĀNA
(Judul asli: The Udāna by John D. Ireland, translated from Pāḷi). Yogyakarta:
Vidyāsena – Vihāra Vidyāloka.
-
Anggawati, Lanny & Wena Cintiawati (Penerjemah). 2007. Panduan
Tipiṭaka (Judul asli: Guide to Tipiṭaka by
U Ko Lay). Klaten: Wisma Sambodhi.
-
Anggawati, Lanny & Wena Cintiawati (Penerjemah). 1999. Sutta-Nipāta Kitab Suci Agama Buddha (Judul
asli: The Sutta-Nipāta by H. Saddatissa, translated from Pāḷi). Klaten: Vihāra Bodhivaṁsa.
-
Malalasekera, G.P, dkk. 1966. Encyclopaedia of Buddhism.
Ceylon: The Goverment of Ceylon.
-
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus
Besar Bahasa indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar