Senin, 12 Mei 2014

IDENTIFIKASI AGAMA BUDDHA PADA MASA BUDDHISME AWAL

BAB I
PENDAHULUAN

Transformasi merupakan perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dsb)[1]. Transformasi juga dapat diartikan sebagai suatu perubahan pola pikir masyarakat teradap suatu fungsi yang dapat memenuhi kebutuhannya. Transformasi bukan hanya terjadi pada suatu negara atau suatu lapisan masyarakat dalam tujuan tertentu, transformasi juga dapat terjadi dalam suatu ajaran agama. Agama yang mengalami transformasi tentu memiliki berbagai macam latar belakang yang mengakibatkan suatu transformasi tersebut, baik itu perkembangan pemikiran masyarakat agama tersebut atau karena pengaruh dari perkembangan suatu peradaban atau zaman.
Buddhisme adalah sebuah agama dan filsafat yang berasal dari anak benua India dan meliputi beragam tradisi kepercayaan, dan praktik yang sebagian besar berdasarkan pada ajaran yang dikaitkan dengan Siddhartha Gautama, yang secara umum dikenal sebagai Sang Buddha (berarti “yang telah sadar” dalam bahasa Sanskerta dan Pāli). Sang Buddha hidup dan mengajar di bagian timur anak benua India dalam beberapa waktu antara abad ke-6 sampai ke-4 SM (Sebelum Masehi). Beliau dikenal oleh para umat Buddha sebagai seorang guru yang telah sadar atau tercerahkan yang membagikan wawasan-Nya untuk membantu makhluk hidup mengakhiri ketidaktahuan/kebodohan (avijjā), kehausan/napsu rendah (taṇhā), dan penderitaan (dukkha), dengan menyadari sebab musabab saling bergantungan dan mengikis kekotoran batin yang menjadi sebab dari penderitaan, hancurnya atau lenyapnya kekotoran batin tersebut dinamakan Nibbāna. Setiap aliran Buddha berpegang kepada Tripitaka sebagai rujukan utama karena dalamnya tercatat sabda dan ajaran sang Buddha Gautama. Murid-murid yang masih mewarisi ajaran dari Buddha kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam 3 buku yaitu Sutta Piṭaka (kotbah-kotbah Sang Buddha), Vinaya Piṭaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu dan bhikkhunī) dan Abhidhamma Piṭaka (ajaran yang tinggi atau luhur).

Buddhisme sekarang telah berusia lebih dari 2500 (dua ribu lima ratus) tahun. Sesuai dengan apa yang Buddha katakan dalam ajarannya, bahwa “segala sesuatu di dunia ini tidak kekal”, ajaran Buddha pun mengalami trasformasi dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasi religius pada pengikutnya. Dalam transformasi yang dialami oleh Buddhisme, di satu sisi Budhisme banyak menyumbangkan ide atau gagasan mengenai filsafat yang dipegangnya kepada berbagai ajaran agama yang berkembang pada zamannya dan pernah berhubungan dengannya, Buddhisme juga tidak dapat dipungkiri mengasimilasi[2] banyak jenis doktrin-doktrin non-Buddhis.
Buddhisme yang mengalami transformasi atau suatu perubahan dari masa awalnya sampai masa sekarang tentu bersebab dan memiliki faktor dari banyak hal yang berada diluarnya atau dilingkungannya. Dari perubahan tersebut Buddhisme terbagi atas beberapa aliran dan dimasing-masing aliran tersebut ajaran awal dari masa Buddhisme awal telah mengalami perubahan dan penyesuaian terhadap aliran yang ada. Sehingga pada saat ini Ajaran Buddha telah mengalami sedikit perbedaan terhadap ajaran Buddha pada masa Buddhisme awal.
Bedasarkan apa yang terjadi atas perkembangan Buddhisme awal dan Buddhisme yang sekarang. Dalam pembahasan ini akan dibahas mengenai ajaran agama Buddha pada masa Buddhime awal, sehingga dengan demikian dapat ditemukan kemurnian awal dari apa yang Buddhisme ajarkan pada masa awal, atau bisa dikatakan masa sebelum aliran-aliran atau sekte-sekte terbentuk. Pembahasan ini tentu bukan bertujuan untuk membenarkan atau menyalahkan antara Buddhisme awal dengan Buddhisme setelah munculnya sekte-sekte atau aliran-aliran yang ada pada saat ini. Namun pembahasan ini lebih bertujuan untuk meninjau atau melihat apa yang sebenarnya tertuju pada ajaran agama Buddha masa Buddhisme awal.

BAB II
BUDDHISME AWAL

Tentu saja, semua aliran Buddhis mempercayai bahwa ajaran mereka berasal dari Buddha historis dalam pengertian tertentu, dan mereka semuanya benar, dalam pengertian tertentu. Tidak diragukan bahwa kita dapat menelusuri jejak kelanjutan di antara aliran-aliran Buddhisme, sedemikian sehingga mereka semuanya dapat dengan sah dianggap sebagai pewaris ajaran Sang Buddha. Namun pada waktu yang sama dapat  menjadi aneh jika beberapa hal tidak berubah dalam 2500 tahun sejarah Buddhis, dan sungguh tidak Buddhis untuk menyatakan bahwa Buddhisme tidak pernah berubah.
Periode paling awal dari Buddhisme adalah periode dimana ketika Buddha masih hidup dan membabarkan Dhamma kepada para siswanya. Dalam periode inilah Dhamma diajarkan dan diterima dalam masyarakat, diajarkan langsung oleh Buddha, sehingga kemurnian dari apa yang diajarkannya masih dapat dipertahankan. Kemurnian dari ajaran Buddha yang menjadi tolak ukur Buddhisme awal berlangsung hingga Buddha Parinibbāna[3]. Periode paling awal dari Buddhisme adalah bersatu, dengan tidak adanya aliran-aliran yang terpisah secara jelas. Periode ini bertahan sampai masa Asoka, ±100 tahun setelah Parinibbāna Buddha. Pada masa ini belum terdapat pembagian antara sekte dan ajarannya masih disampaikan secara lisan. Pada buku Ivan Taniputera Dipl. Ing. yang membahas mengenai ‘Studi Banding Doktrin Buddhisme Aliran Selatan dan Utara’ menyatakan bahwa, dalam hal ini Buddhisme awal dibagi menjadi dua masa atau dua periode, yaitu:






Setelah 350 SM terjadi perpecahan pada Saṅgha yang terjadi karena kontroversi yang ada karena perbedaan dalam penafsiran ajaran dan peraturan hidup membiara. Suatu kelompok yang lebih progresif, Mahasamghika (Kumpulan Besar), menentang ajaran tradisional yang sudah dibakukan oleh kelompok yang lebih konservatif yang disebut Theravāda (atau disebut Sthaviravada dalam Bahasa Sansekerta). Semua teks yang kita miliki sekarang disusun ke dalam bentuknya yang sekarang oleh aliran-aliran ini, menggunakan kumpulan materi tekstual bersama yang diwariskan melalui komunitas Buddhis awal. Pada zaman itu naskah-naskah tertua Buddhis adalah Nikāya-Nikāya Pāli (Sutta-Piṭaka) yang sama dengan Āgama Sutra pada Sansekerta. Salah satu acuan terawal selain dari kitab-kita agama Buddha tentang keberadaan beberapa sutta adalah tugu Bhabra dari Raja Asoka abad ke-3 SM, yang menyebutkan tujuh kitab berasal dari sutta terdahulu yang sekarang telah diidentifikasi, seperti Cullavagga dari Vinaya Piṭaka.
Pada awal melihat perbedaan dan adanya pembentukan banyak sekte (aliran) dalam Buddhisme saat ini, dapat dilakukan perbandingan dari isi kitab suci masing-masing sekte, sehingga dengan perbandingan tersebut titik temu Buddhisme awal akan dapat ditemukan. Materi awal terutama ditemukan dalam Sutta-sutta seperti yang dikumpulkan dalam lima Āgama (Sansekerta) atau Nikāya (Pāli).
KITAB SUCI (TIPIṬAKA)
THERAVĀDA (Pāli)
MAHAYANA (Sansekerta)
Nikāya
Āgama
Dīgha Nikāya
Dirgha Āgama
Majjhima Nikāya
Madya Āgama
Aṅguttara Nikāya
Anguttara Āgama
Samyutta Nikāya
Samyukta Āgama
Khuddaka Nikāya
Kruddaka Āgama
Dilakukan Perbandingan mucul titik temu
Adanya kesamaan ajaran dijadikan karakteristik Buddhisme Awal

Selain itu Vinaya Piṭaka juga sudah dikenal pada zaman itu. Vinaya mengandung banyak materi yang umum misalnya pāṭimokkha (Pāli) atau  Praktimoksa (Sansekerta), tetapi juga banyak tambahan yang belakangan ini dilakukan terhadap isi dari Vinaya itu sendiri. Terutama ketika muncul kontroversi yang terjadi oleh karena penafsiran ajaran dan peraturah hidup membiara yang berbeda-beda. Pendapat pertama mengatakan bahwa penyebab perpecahan adalah sepuluh peraturan kebhikkhuan yang diusulkan beberapa anggota Saṅgha agar ditinjau kembali. Pendapat kedua mengatakan bahwa perpecahan terjadi karena perbedaan pendapat mengenai arahat sebagai mana yang dikemukakan oleh seorang Bhikkhu bernama Mahadeva. Pandangan Mahadeva ini ditentang oleh para Bhikkhu yang lebih senior, namun didukung oleh para anggota Sangha yang lebih muda. Dari kedua pendapat tersebut tidak dapat diketahui mana yang lebih benar, namun yang pasti pendapat-pendapat tersebut menunjukan bahwa pada saat itu telah terjadi pepecahan yang diakibatkan oleh beda penafsiran antara Vinaya Piṭaka dan Sutta Piṭaka.
Abhidhamma (Pāli) atau Abhidharma (Sansekerta) merupakan penyusunan yang belakangan dilakukan. Lebih lanjut pada buku yang sama Ivan Taniputera Dipl. Ing. mengatakan bahwa pada masa itu masing-masing aliran tersebut mengarang suatu kumpulan dan penafsiran ajaran yang terdapat pada Sutta Piṭaka dan Vinaya Piṭaka untuk mendukung kebenaran dari ajaran mereka. Kumpulan dari penafsiran itu yang kini dinamakan Abhidhamma, sehingga dalam perkembangannya masing-masing aliran memiliki Abhidhamma-nya sendiri-sendiri, yang kemudian digabungkan dengan Sutta Piṭaka dan Vinaya Piṭaka, sehingga terbentuk apa yang disebut Tipiṭaka (Tiga Keranjang). Di antara Abhidhamma yang dipergunakan oleh berbagai aliran tersebut, hanya ada tiga Abhidhamma[4] yang masih bertahan hingga saat ini, yakni : Abhidhamma Pāli, Abhidhamma Sarvatisvadin, dan Abhidhamma Sariputra.
Abhidhamma Pāli
Abhidharma Sarvastivadin Sansekerta
Dhammasaṅgaṇī
Sangitiparyaya
Vibhaṅga
Dharmaskandha
Dhātukathā
Prajnapti
Punggalapaññatti
Vijnanakaya
Kathāvatthu
Dhatukaya
Yamaka
Prakarana
Paṭṭhāna
Jnanaprasthana
Sedangkan Abhidhamma Sariputra merupakan gabungan keduanya. Dari tabel yang telah diberikan diatas terdapat perbedaan antara Abhidhamma Pāli dengan Abhidharma Sarvastivadin Sansekerta, dan dengan perbedaan tersebut, suatu analisa mengenai Buddhisme awal tidak dapat dilakukan melalui ajaran yang ada pada Abhidhamma atau Abhidharma.
Oleh sebab itu upaya yang sungguh-sungguh untuk menyelidiki Buddhisme Awal harus didasarkan terutama pada lima Āgama (Sansekerta) / Nikāya (Pāli), karena dalam masing-masing sutta yang dibahas dalam 2 (dua) sumber tersebut dapat ditemukan kesamaan-kesamaan yang akhirnya dapat menjadi titik temu dalam menentukan karakteristik Buddhisme awal. Selain itu juga sumber-sumber yang berkaitan dengan sutta merupakan sumber dari naskah-naskah tua yang ada pada Buddhisme awal, sehingga dengan dilakukannya pembandingan antara sutta-sutta yang ada dari setiap sekte dan aliran tersebut, tidak menutup kemungkinan untuk ditemukannya suatu kesamaan yang dapat digunakan sebagai titik temu dalam menemukan karakteristik ajaran agama Buddha pada masa Buddhisme awal.

BAB III
AJARAN BUDDHA PADA MASA BUDDHISME AWAL

Sesuai dengan apa yang telah dibahas pada bab sebelumnya, ajaran Buddha paa masa Buddhisme awal dapat ditinjau melalui sumber yang dianggap paling tua yaitu Nikāya-Pāli (Sutta-Piṭaka) yang sama dengan Āgama-Sutra pada Sansekerta. Nikāya-Pāli  yang ada saat ini masih dipertahankan oleh aliran Theravāda dan Āgama-Sutra yang masih dipertahankan dalam teks mandarin yang berasal dari teks sansekerta oleh aliran Mahayana.  Pada bagian ini juga akan dibahas mengenai kesamaan-kesamaan dari masing-masing Nikāya dan Āgama terhadap konsep-konsep terpenting yang membentuk Buddhisme, dan dengan tidak diakuinya salah satu dari konsep ini, maka akan dapat diketemukan suatu ajaran yang sangat menyimpang dari karakteristik Buddhisme tersebut. Karakteristik dari Buddhisme atau Buddhisme awal adalah non-spekulatif, non-otoritarian, dan non-absolutisme. Namun sebelum memasuki pembahasan yang lebih jauh mengenai karakteristik Buddhisme awal tersebut, pada bagian ini akan dibahas mengenai apa yang diajarkan Buddha pada awalnya dan dicari persamaannya melalui sumber Nikāya dan Āgama.
3.2. Perbandingan Cāttariariyasaccāni Melalui Sumber Nikāya dan Āgama
Cāttariariyasaccāni atau empat kebenaran mulia merupakan hal yang paling mendasar di dalam Buddhisme, dimana di dalamnya terkandung tujuan yang paling dasar dari Buddhisme. Sehingga dapat dikatakan bahwa Buddhisme dibangun di atas empat kebenaran mulia ini. Dengan demikian ketika empat kebenaran mulia diabaikan, maka yang dihasilkan adalah suatu ajaran yang berbeda dari tujuan Buddhisme awal.
Tujuan mendasar Buddhisme adalah untuk terbebas dari penderitaan. Seluruh ajaran Buddha memiliki tujuan yang sama, walaupun dalam penyajiannya berbeda-beda. Dalam hal ini jika empat kebenaran mulia merupakan hal yang mendasar bagi Buddhisme, maka jika dilakukan perbandingan antara Nikāya-Pāli dan Āgama-Sansekerta sudah seharusnya ditemukan kesamaan dalam pembahasan mengenai empat kebenaran mulia.
Cāttariariyasaccāni (empat kebenaran mulia) dalam Nikāya-Pāli
Cāttariariyasaccāni atau empat kebenaran mulia dalam Nikāya-Pāli dapat ditemukan pada  Dhammacakkapavatana Sutta, yang berbunyi sebagai berikut:
“Wahai, Bhikkhu! Kelahiran adalah penderitaan...kemelekatan terhadap lima khanddha adalah penderitaan. Inilah kebenaran mulia mengenai penderitaan.
...Kemelekatanlah yang membawa pada kelahiran kembali, ...Inilah kebenaran mulia mengenai penyebab penderitaan.
...Kemelekatan dapat diatasi dan dihancurkan, dihilangkan dan ditolak. ...Inilah kebenaran mulia mengenai lenyapnya penderitaan.
...Inilah kebenaran mulia menuju hilangnya penderitaan: pandangan benar (sammā-diṭṭhi), ... dan meditasi benar (sammā-samādhi).”
Cāttariariyasaccāni (empat kebenaran mulia) dalam Āgama-Sansekerta
Sedangkan Cāttariariyasaccāni (empat kebenaran mulia) dalam Āgama-Sansekerta bisa diketemukan pada Avatamsaka-Sutra bab VIII, yang berisi:
“Putera-putera Buddha, Kebenaran Mulia tentang penderitaan di dalam Samsara ini kadang-kadang disebut dengan perilaku salah, penganiyayaan, perubahan/ketidak kekalan, kemelekatan pada suatu objek ... atau tindakan yang dilansasi kebodohan.
Kebenaran mulia mengenai penyebab penderitaan di dalam samsara ini boleh disebut belenggu atau perpisahan ... kesadaran palsu... .
Kebenaran mulia mengenai lenyapnya penderitaan, di dalam samsara ini boleh disebut dengan penghindaran atas pertikaian ... atau berdiam di dalam sifat sejati...
Kebenaran mulia mengenai jalan untuk menghilangkan penderitaan di dalam samsara ini boleh disebut satu kendaraan, jalan bertahap menuju kedamaian, ... tidak memiliki nafsu keinginan lagi, mengikuti jalan para Arya ... .”
Dhammacakkapavatana-Sutta mendefinisikan penderitaan sebagai penyakit, usia tua, kematian, bertemu dengan yang tidak disukai/dikehendaki, berpisah dengan yang disukai/dicintai, serta kemelekatan pada lima khandha. Sedangkan Avatamsaka-Sutra menyebutkan sebagai perilaku salah, ketidak kekalan, kemelekatan pada suatu objek, dan tindakan yang dilandasi kebodohan. Dari definisi diatas dapat dihubungkan bahwa, penyakit, usia tua dan kematian berkaitan dengan ketidak kekalan atau perubahan secara terusmenerus. Berjumpa dengan yang tidak disuka, berpisah dengan yang disuka, dan tidak mendapat apa yang diinginkan berkaitan dengan kemelekatan terhadap suatu objek. Kemelekatan pada suatu objek pada Avatamsaka-Sutra didefinisikan sebagai prilakuk salah atau tindakan yang dilandasi kebodohan, hal itu berkaitan dengan tindakan fisik maupun mental yang salah yang dilandasi kebodohan (Pāli. Avijja, Snkt. Avidya).
Mengenai penyebab penderitaan Dhammacakkapavatana-Sutta menyebutkan kemelekatanlah yang menjadi penyebab kelahiran terus menerus dalam samsara ini. Avatamsaka-Sutra menyebutkan dengan istilah belenggu, karena menyebabkan kita selamanya terikat dalam lingkaran kelahiran dan kematian.
Dengan menghilangkan kemelekatanpenderitaan akan dilenyapkan demikian dalam Dhammaccakapavatana-Sutta yang sebagai sumber dari Nikāya-Pāli. Sementara dalam Avatamsaka-Sutra yang menjadi sumber dari Āgama-Sansekerta mengatakan hal tersebut sebagai kebebasan dari kekotoran batin, hilangnya hambatan-hambatan, dan prealisasian atas sifat sejati para makhluk.




Sebagai jalan untuk menuju pembebasan dari penderitaan Buddha mengajarkan mengenai Jalan Mulia Berunsur Delapan. Rumusan jalan mulia berunsur delapan sebagai jalan untuk mengakhiri penderitaan, juga sama antara sumber Nikāya-Pāli dan Āgama-Sansekerta. Berikut ini adalah perbandingannya.
Nikāya-Pāli
Āgama-Sansekerta
Arti
Sammā-Diṭṭhi
Samyak-Dṛṣṭi
Pandangan benar
Sammā-Saṅgkappa
Samyak-Saṃkalpa
Pikiran benar
Sammā-Vācā
Samyak-Vācā
Ucapan benar
Sammā-Kammanta
Samyak-Karmanta
Perbuatan benar
Sammā-Ājiva
Samyak-Ājiva
Mata pencahariaan benar
Sammā-Vāyāma
Samyak-Vyāyāma
Usaha benar
Sammā-Sati
Samyak-Smṛti
Perhatian benar
Sammā-Samādhi
Samyak-Samadhi
Meditasi benar

Setelah melihat perbandingan antara Nikāya-Pāli dengan Āgama-Sansekerta­ terhadap empat kebenaran mulia, dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan mendasar diantara keduanya, hanya saja dalam sumber Āgama-Sansekerta konsep-konsepnya lebih dijabarkan secara luas. Dengan demikian karakteristik atau ajaran Buddha pada masa Buddhisme awal dapat kita temukan dalam persamaan yang ada atas perbandingan kedua isinya.

3.2. Pembagian bedasarkan Sifat Terhadap Ajaran Buddha pada Masa Buddhisme Awal




3.2.1.        Non-Spekulatif
Ajaran Agama Buddha pada masa Buddhisme awal lebih bersifat non-spekulatif. Spekulatif disini merupakan kata yang berasal dari kata spekulasi yaitu pendapat atau dugaan yang tidak bedasarkan kenyataan[5]. Artinya pendapat itu dibuat atau teori itu berdiri bukan bedasarkan apa yang telah dialami atau telah dilihat pada kenyataannya, namun lebih pada perkiraan-perkiraan yang mendekati dengan apa yang berhubungan dengan hal tersebut. Buddhisme awal jelas tidak bersifat spekulatif, dimana dalam ajaran Buddha pada umumnya bertujuan untuk pembebasan Dukkha, oleh karena itu Buddhisme jika bersifat spekulatif akar terjebak pada spekulasi-spekulasi yang pada akhirnya tidak membawa pada manfaat untuk tujuan dari Buddhisme itu sendiri, yaitu pembebasan dari Dukkha.
Beberapa hal yang bersangkutan dengan pandangan ajaran Buddha pada masa Buddhisme awal yang bersifat non-spekulatif misalnya dapat kita temukan di dalam Samyuta-Nikāya, yaitu tentang seseorang yang bernama Acela Kassapa, yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Buddha yang berkaitan jawabannya dengan spekulasi-spekulasi.
1.       Apakah penderitaan disebabkan oleh diri sendiri?
2.       Apakah penderitaan disebabkan oleh yang lainnya?
3.       Apakah penderitaan disebabkan baik oleh sendiri maupun yang lainnya?
4.       Apakah penderitaan disebabkan bukan oleh sendiri dan bukan juga oleh yang lain?
Untuk pertanyaan tersebut Buddha menjawab: “Jangan berkata demikian, alih-alih membuat penyangkalan yang lebih umum yang bisa dinyatakan sebagai: ‘bukan demikian’. Keengganan untuk menerima dalih yang pertama (penderitaan bersebab akibat sendiri) didorong oleh kewaspadaannya bahwa hal itu dapat membimbing ke kepercayaan akan eternalisme. Yang kedua dihindari karena ia dapat membimbing ke anihilasionisme. Yang ketiga, kombinasi dari kedua teori di atas, membawa serta kedua implikasi tadi, eternalisme dan anihillasionisme. Dan yang keempat menyangkal sebab-akibat sama sekali.”
Dengan demikian Buddha sama sekali tidak memberikan jawaban yang pasti akan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Karena dengan memberikan jawaban yang pasti hanya akan membuat apa yang diajarkan Buddha terjebak dalam spekulasi-spekulasi yang nantinya akan mengarah pada kepercayaan akan eternalisme. Yang sebenarnya dalam Buddhisme tidak memandang paham eternalisme.
3.2.2.        Non-Otoritarian
                Otoritarian memiliki makna yang berasal dari kata otoriter dimana otoriter mengandung makna berkuasa sendiri atau sewenang-wenang[6], atau menganggap segala keputusan berasal dari dia.
                Dalam sumber lain istilah otoritarianisme berasal dari bahasa Inggris, authoritarian.  Kata authoritarian sendiri berasal dari bahasa Inggris authority, yang sebetulnya merupakan turunan dari kata Latin auctoritas. Kata ini berarti pengaruh, kuasa, wibawa, otoritas. Oleh otoritas itu, orang dapat memengaruhi pendapat, pemikiran,  gagasan, dan perilaku orang, baik secara perorangan maupun kelompok. Otoritarianisme adalah paham atau pendirian yang berpegang pada otoritas, kekuasaan dan kewibawaan, yang meliputi cara hidup dan bertindak. Penganut otoritarianisme akan berpegang pada kekuasaan sebagai acuan hidup. Ia akan menggunakan wewenang sebagai dasar berpikir. Ketika berhadapan dengan orang lain dan menanggapi masalahnya, mereka akan menanyakan kedudukannya (sebagai apa) dalam lembaga dan organisasi. Dalam membahas masalah itu, dia tidak akan mempersoalkan hakikat dan kepentingannya, tetapi berhak ikut campur dan mengurus perkara yang dipersoalkannya. Namun demikian, hal ini hanya berlaku untuk dirinya. Untuk orang lain, orang otoritarian akan membatasi pekerjaan seseorang, yaitu agar orang tersebut bekerja menurut prosedur dan aturan yang ada. Jika orang itu tidak mengerti dan tidak menjalankan tugasnya dengan baik, ia akan dianggap salah.[7]
                Dari penjabaran mengenai pengertian otoritarian yang telah di bahas, jelas dalam hal ini Buddhisme awal tidak memegang paham tersebut, atau dengan kata lain bersifat non-otoritarian. Hal itu dapat dibuktikan dalam ajaran Buddha yang terkandung dalam Mahāparinibbāna-Sutta, yang berisikan tentang saat-saat terakhir sebelum Buddha Parinibbāna.


Dan isi kutipan dari Mahāparinibbāna-Sutta yang mencerminkan sifat non-otoritarian pada masa Buddhisme awal adalah:
Yo vo,ānanda, mayā dhammo ca vinayo ca desito paññatto, so vo mamaccayena satthā.
“Ananda, Dhamma dan Winaya yang telah kupaparkan dan kumaklumkan, itulah yang menjadi guru Anda sepeninggalan saya.”
Jelas dalam kutipan tersebut Buddha menunjukan, bahwa pada saat kepeninggalannya, Buddha tidak menyatakan bahwa dia adalah guru satu-satunya, atau menggunakan posisinya sebagai Buddha untuk menunjuk seseorang menjadi penerus atau penggantinya dalam posisi guru. Sebelumnya Y.A. Ānanda mempertanyakan, siapa kelak yang akan menggantikan Buddha kelak setelah Buddha Parinibbāna, dan Buddha dengan pertanyaan tersebut menjawan sesuai dengan kutipan diatas dan tidak sama sekali menunjuk atau memilih siapa yang menjadi penggantinya.
3.2.3.            Non-Absolutisme
Buddhisme awal bersifat non-absolutisme artinya bahwa agama Buddha menekankan untuk tidak terjebak pada sesuatu yang paling mutlak, paling benar, dan paling hakiki. Kata absolutisme berasal dari kata dasar absolut yang berarti tidak terbatas atau mutlak[8].
Salah satu Sutta yang merujuk pada sifat non-absolut adalah Caṅki-Sutta pada Majjhima-Nikāya.


Caṅki, seorang brahmana dari desa Opāsāda, datang menemui Sang Buddha dengan banyak orang. diantara pengikutnya adalah seorang brahmana muda bernama Kāpāṭika. Brahmana muda itu terlibat di dalam diskusi dengan Sang Buddha tentang ‘Tiga Veda’yang telah diturunkan dari generasi ke generasi dalam tradisi yang tidak terputus. Tradisi yang oleh brahmana itu dipercaya sebagai satu-satunya kebenaran yang diibaratkan oleh Sang Buddha seperti sebaris orang buta yang masing-masing berpegangan pada orang buta yang didepannya.

Kutipan dari isi sutta tersebut adalah:
"... Ada lima hal yang mempunyai dua macam akibat pada kehidupan sekarang. Apakah ke lima hal itu? Lima hal itu adalah: Keyakinan (saddha), kesukaan (ruci), tradisi (lisan), berde­bat tentang bukti (akaraparivitakka) dan senang merenungkan pandangan-pandangan (ditthinijjhanakhanti). Lima hal ini mempunyai dua macam akibat pada kehidupan sekarang.[9] ... Tidaklah tepat bagi seorang yang cerdas, melindungi kebenaran utuk tiba pada kesimpulan (nitthaṁ) secara kategorik (ekaṁsena) dalam hal ini bahwa hanya inilah yang benar dan selainnya keliru (Idaṁ eva saccaṁ moghaṁ aññaṁ).”[10]
Di sini Sang Buddha menegaskan bahwa suatu teori yang berlandaskan tradisi atau laporan atau wahyu dapat benar atau keliru. Dengan tidak adanya jaminan akan kebenarannya atau kekeliruannya, tidaklah tepat untuk tergantung kepada teori itu sebagai alat yang mutlak untuk memperoleh pengetahuan. Oleh sebab itu, seperti yang dikemukakan Sang Buddha, seseorang seharusnya menunda keputusan, dan itu berarti penolakan terhadap tradisi atau wahyu sebagai sumber yang mutlak bagi pengetahuaan.

BAB IV
KESIMPULAN

               
Dari seluruh pembahasan yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, dapat di ambil suatu kesimpulan mengenai agama Buddha pada masa Buddhisme awal, yaitu bahwa pada masa Buddhisme awal jelas Buddha dalam ajarannya mengandung beberapa sifat yang sebelumnya telah dibahas, dimana ajarannya bersifat non-spekulasi, non-otoritarian, dan non-absolutisme. Non-spekulasi adalah saat dimana Buddha dalam ajarannya lebih menekankan hal-hal yang sifatnya ber-spekulasi, artinya dimana ketika seseorang dalam usahanya memperoleh pengetahuan mengenai asal mula dan keluasan semesta alam atau sebagainya dan keadaan sebenarnya, terjerumus dalam spekulasi yang diputuskan bedasarkan prinsip-prinsip tertentu. Dan pada akhirnya hal tersebut tidak membawa manfaat sama sekali kepada tujuan utama dari ajaran Buddha yaitu kehidupan religius yang luhur, kepada pelepasan diri, bebas dari nafsu-nafsu, keberhentian, kedamaian, pandangan terang, penerangan, atau nibbāna. Lalu non-otoritarian dimana dalam hal ini Buddha tidak menekankan bahwa DIa adalah satu-satunya sosok guru yang paling berkuasa dan berhak mengambil keputusan atau mengatur sesuatu, dia juga sangat menghindari pengkultusan akan dirinya dimana ketika saat-saat terakhirnya ia tidak sama sekali menunjuk pengganti bagi dirinya sebagai guru atau pimpinan, melainkan ia berkata bahwa Dhamma dan Vinaya adalah guru bagi para murid-murinya setelah Buddha Parinibbāna. Terakhir adalah non-absolutisme, Buddha dalam ajarannya sangat menghindari tentang sesuatu yang mutlak atau yang paling hakiki, dari beberapa ajarannya semuanya bersifat demikian, beliau tidak pernah menyinggung sesuatu yang mutlak adalah ‘A’ atau sesuatu yang paling benar dan hakiki adalah ‘B’. Dengan demikian tidak ada yang mutlak dalam ajaran Buddha pada masa Buddhisme awal, seperti yang tertuang dalam ajrannya yaitu, “Sabbe saṅkhārā aniccā’ti; Sabbe saṅkhārā dukkhā’ti; Sabbe dhammā anattā’ti.” (Segala bentukan tidak kekal adanya; Segala bentukan sukar bertahan adanya; Segala bentukan maupun bukan bentukan adalah bukan diri adanya).

Referensi                                      .

-          A. Mangunhardjana. 1997. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Jogjakarta: Kanisius. Hlm. 174-177.
-          Anggawati, Lanny & Wena Cintiawati (Penerjemah). 2008. Kitab Suci MAJJHIMA-NIKĀYA 5 (Judul asli: The Middle Legth Discourses of The Buddha by Bhikkhu Ñanamoli & Bhikkhu Bodhi). Yogyakarta: Vidyāsena – Vihāra Vidyāloka.
-          Anggawati, Lanny & Wena Cintiawati (Penerjemah). 2007. Panduan Tipiaka (Judul asli: Guide to Tipiaka by U Ko Lay). Klaten: Wisma Sambodhi.
-          Kalupahana, David J. 1976. Buddhist Philosophy A Historical Analysis. Hawaii: The University Press of Hawaii.
-          Taniputera, Ivan Dipl. Ing. 2003. Ehipassiko Theravada – Mahayana, Studi Banding Doktrin Buddhisme Aliran Selatan dan Utara. Yogyakarta: Penerbit Suwung.
-          Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan.
-          Yayasan Saṅgha Theravāda Indonesia. 2005. Paritta Suci. Jakarta: Yayasan Saṅgha Theravāda Indonesia.



[1] Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan. Hlm: 1484.
[2] Berarti: ‘menyesuaikan’. Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan. Hlm: 93.
[3] Sang Buddha Wafat
[4] Taniputera, Ivan Dipl. Ing. 2003. Ehipassiko Theravada – Mahayana, Studi Banding Doktrin Buddhisme Aliran Selatan dan Utara. Yogyakarta: Penerbit Suwung.
[5] Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan. Hlm: 1334.
[6] Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan. Hlm: 992.
[7]  A. Mangunhardjana. 1997. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Jogjakarta: Kanisius. Hlm. 174-177.
[8] Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan. Hlm: 4.
[9] Anggawati, Lanny & Wena Cintiawati (Penerjemah). 2008. Kitab Suci MAJJHIMA-NIKĀYA 5 (Judul asli: The Middle Legth Discourses of The Buddha by Bhikkhu Ñanamoli & Bhikkhu Bodhi). Yogyakarta: Vidyāsena – Vihāra Vidyāloka.
[10] Kalupahana, David J. 1976. Buddhist Philosophy A Historical Analysis. Hawaii: The University Press of Hawaii.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar