BAB I
PENDAHULUAN
Transformasi merupakan perubahan rupa (bentuk, sifat,
fungsi, dsb)[1].
Transformasi juga dapat diartikan sebagai suatu perubahan pola pikir masyarakat
teradap suatu fungsi yang dapat memenuhi kebutuhannya. Transformasi bukan hanya
terjadi pada suatu negara atau suatu lapisan masyarakat dalam tujuan tertentu,
transformasi juga dapat terjadi dalam suatu ajaran agama. Agama yang mengalami
transformasi tentu memiliki berbagai macam latar belakang yang mengakibatkan
suatu transformasi tersebut, baik itu perkembangan pemikiran masyarakat agama
tersebut atau karena pengaruh dari perkembangan suatu peradaban atau zaman.
Buddhisme adalah sebuah agama dan filsafat yang
berasal dari anak benua India dan meliputi beragam
tradisi kepercayaan, dan praktik yang sebagian besar berdasarkan pada ajaran
yang dikaitkan dengan Siddhartha Gautama, yang
secara umum dikenal sebagai Sang Buddha (berarti “yang telah sadar” dalam
bahasa Sanskerta dan Pāli). Sang
Buddha hidup dan mengajar di bagian timur anak benua India dalam beberapa waktu
antara abad ke-6 sampai ke-4 SM (Sebelum Masehi). Beliau dikenal oleh para umat
Buddha sebagai seorang guru yang telah sadar atau tercerahkan yang membagikan
wawasan-Nya untuk membantu makhluk hidup mengakhiri ketidaktahuan/kebodohan (avijjā),
kehausan/napsu rendah (taṇhā), dan penderitaan (dukkha), dengan
menyadari sebab musabab saling bergantungan dan
mengikis kekotoran batin yang menjadi sebab dari penderitaan, hancurnya atau
lenyapnya kekotoran batin tersebut dinamakan Nibbāna. Setiap aliran Buddha berpegang kepada Tripitaka
sebagai rujukan utama karena dalamnya tercatat sabda dan ajaran sang Buddha
Gautama. Murid-murid yang masih mewarisi ajaran dari Buddha kemudian mencatat
dan mengklasifikasikan ajarannya dalam 3 buku yaitu Sutta Piṭaka
(kotbah-kotbah Sang Buddha), Vinaya Piṭaka
(peraturan atau tata tertib para bhikkhu dan bhikkhunī) dan Abhidhamma Piṭaka (ajaran yang tinggi atau
luhur).
Buddhisme
sekarang telah berusia lebih dari 2500 (dua ribu lima ratus) tahun. Sesuai
dengan apa yang Buddha katakan dalam ajarannya, bahwa “segala sesuatu di dunia
ini tidak kekal”, ajaran Buddha pun mengalami trasformasi dalam memenuhi
kebutuhan dan aspirasi religius pada pengikutnya. Dalam transformasi yang
dialami oleh Buddhisme, di satu sisi Budhisme banyak menyumbangkan ide atau
gagasan mengenai filsafat yang dipegangnya kepada berbagai ajaran agama yang
berkembang pada zamannya dan pernah berhubungan dengannya, Buddhisme juga tidak
dapat dipungkiri mengasimilasi[2] banyak jenis
doktrin-doktrin non-Buddhis.
Buddhisme
yang mengalami transformasi atau suatu perubahan dari masa awalnya sampai masa
sekarang tentu bersebab dan memiliki faktor dari banyak hal yang berada
diluarnya atau dilingkungannya. Dari perubahan tersebut Buddhisme terbagi atas
beberapa aliran dan dimasing-masing aliran tersebut ajaran awal dari masa
Buddhisme awal telah mengalami perubahan dan penyesuaian terhadap aliran yang
ada. Sehingga pada saat ini Ajaran Buddha telah mengalami sedikit perbedaan
terhadap ajaran Buddha pada masa Buddhisme awal.
Bedasarkan
apa yang terjadi atas perkembangan Buddhisme awal dan Buddhisme yang sekarang.
Dalam pembahasan ini akan dibahas mengenai ajaran agama Buddha pada masa
Buddhime awal, sehingga dengan demikian dapat ditemukan kemurnian awal dari apa
yang Buddhisme ajarkan pada masa awal, atau bisa dikatakan masa sebelum
aliran-aliran atau sekte-sekte terbentuk. Pembahasan ini tentu bukan bertujuan
untuk membenarkan atau menyalahkan antara Buddhisme awal dengan Buddhisme
setelah munculnya sekte-sekte atau aliran-aliran yang ada pada saat ini. Namun
pembahasan ini lebih bertujuan untuk meninjau atau melihat apa yang sebenarnya
tertuju pada ajaran agama Buddha masa Buddhisme awal.
BAB
II
BUDDHISME AWAL
Tentu saja, semua aliran Buddhis
mempercayai bahwa ajaran mereka berasal dari Buddha historis dalam pengertian
tertentu, dan mereka semuanya benar, dalam pengertian tertentu. Tidak diragukan
bahwa kita dapat menelusuri jejak kelanjutan di antara aliran-aliran Buddhisme,
sedemikian sehingga mereka semuanya dapat dengan sah dianggap sebagai pewaris
ajaran Sang Buddha. Namun pada waktu yang sama dapat menjadi aneh jika beberapa hal tidak berubah
dalam 2500 tahun sejarah Buddhis, dan sungguh tidak Buddhis untuk menyatakan
bahwa Buddhisme tidak pernah berubah.
Periode paling awal dari Buddhisme
adalah periode dimana ketika Buddha masih hidup dan membabarkan Dhamma kepada
para siswanya. Dalam periode inilah Dhamma diajarkan dan diterima dalam
masyarakat, diajarkan langsung oleh Buddha, sehingga kemurnian dari apa yang
diajarkannya masih dapat dipertahankan. Kemurnian dari ajaran Buddha yang
menjadi tolak ukur Buddhisme awal berlangsung hingga Buddha Parinibbāna[3].
Periode paling awal dari Buddhisme adalah bersatu, dengan tidak adanya
aliran-aliran yang terpisah secara jelas. Periode ini bertahan sampai masa
Asoka, ±100 tahun setelah Parinibbāna Buddha.
Pada masa ini belum terdapat pembagian antara sekte dan ajarannya masih
disampaikan secara lisan. Pada buku Ivan
Taniputera Dipl. Ing. yang membahas mengenai ‘Studi Banding Doktrin Buddhisme Aliran Selatan dan Utara’
menyatakan bahwa, dalam hal ini Buddhisme awal dibagi menjadi dua masa atau dua
periode, yaitu:
Setelah 350 SM terjadi perpecahan
pada Saṅgha yang terjadi karena
kontroversi yang ada karena perbedaan dalam penafsiran ajaran dan peraturan
hidup membiara. Suatu kelompok yang lebih progresif, Mahasamghika (Kumpulan Besar), menentang ajaran tradisional yang
sudah dibakukan oleh kelompok yang lebih konservatif yang disebut Theravāda (atau disebut Sthaviravada dalam Bahasa Sansekerta).
Semua teks yang kita miliki sekarang disusun ke dalam bentuknya yang sekarang
oleh aliran-aliran ini, menggunakan kumpulan materi tekstual bersama yang
diwariskan melalui komunitas Buddhis awal. Pada zaman itu naskah-naskah tertua
Buddhis adalah Nikāya-Nikāya Pāli (Sutta-Piṭaka) yang sama dengan Āgama Sutra pada Sansekerta. Salah satu
acuan terawal selain dari kitab-kita agama Buddha tentang keberadaan beberapa sutta adalah tugu Bhabra dari Raja Asoka
abad ke-3 SM, yang menyebutkan tujuh kitab berasal dari sutta terdahulu yang sekarang telah diidentifikasi, seperti Cullavagga dari Vinaya Piṭaka.
Pada awal melihat perbedaan dan
adanya pembentukan banyak sekte (aliran) dalam Buddhisme saat ini, dapat
dilakukan perbandingan dari isi kitab suci masing-masing sekte, sehingga dengan
perbandingan tersebut titik temu Buddhisme awal akan dapat ditemukan. Materi
awal terutama ditemukan dalam Sutta-sutta
seperti yang dikumpulkan dalam lima Āgama
(Sansekerta) atau Nikāya (Pāli).
KITAB
SUCI (TIPIṬAKA)
|
|
THERAVĀDA
(Pāli)
|
MAHAYANA
(Sansekerta)
|
Nikāya
|
Āgama
|
↓
|
↓
|
Dīgha Nikāya
|
Dirgha Āgama
|
Majjhima Nikāya
|
Madya Āgama
|
Aṅguttara Nikāya
|
Anguttara Āgama
|
Samyutta Nikāya
|
Samyukta Āgama
|
Khuddaka Nikāya
|
Kruddaka Āgama
|
Dilakukan
Perbandingan mucul titik temu
|
|
↓
|
|
Adanya kesamaan ajaran dijadikan karakteristik
Buddhisme Awal
|
Selain itu Vinaya Piṭaka juga sudah dikenal pada zaman itu. Vinaya mengandung
banyak materi yang umum misalnya pāṭimokkha (Pāli) atau Praktimoksa
(Sansekerta), tetapi juga banyak tambahan yang belakangan ini dilakukan
terhadap isi dari Vinaya itu sendiri. Terutama ketika muncul kontroversi yang
terjadi oleh karena penafsiran ajaran dan peraturah hidup membiara yang
berbeda-beda. Pendapat pertama mengatakan bahwa penyebab perpecahan adalah
sepuluh peraturan kebhikkhuan yang diusulkan beberapa anggota Saṅgha agar ditinjau kembali. Pendapat
kedua mengatakan bahwa perpecahan terjadi karena perbedaan pendapat mengenai
arahat sebagai mana yang dikemukakan oleh seorang Bhikkhu bernama Mahadeva.
Pandangan Mahadeva ini ditentang oleh para Bhikkhu yang lebih senior, namun
didukung oleh para anggota Sangha yang lebih muda. Dari kedua pendapat tersebut
tidak dapat diketahui mana yang lebih benar, namun yang pasti pendapat-pendapat
tersebut menunjukan bahwa pada saat itu telah terjadi pepecahan yang
diakibatkan oleh beda penafsiran antara Vinaya
Piṭaka dan Sutta Piṭaka.
Abhidhamma (Pāli) atau Abhidharma (Sansekerta) merupakan
penyusunan yang belakangan dilakukan. Lebih lanjut pada buku yang sama Ivan Taniputera Dipl. Ing. mengatakan
bahwa pada masa itu masing-masing aliran tersebut mengarang suatu kumpulan dan
penafsiran ajaran yang terdapat pada Sutta
Piṭaka dan Vinaya Piṭaka untuk
mendukung kebenaran dari ajaran mereka. Kumpulan dari penafsiran itu yang kini
dinamakan Abhidhamma, sehingga dalam
perkembangannya masing-masing aliran memiliki Abhidhamma-nya sendiri-sendiri, yang kemudian digabungkan dengan Sutta Piṭaka dan Vinaya Piṭaka, sehingga terbentuk apa yang disebut Tipiṭaka (Tiga Keranjang). Di antara Abhidhamma yang dipergunakan oleh
berbagai aliran tersebut, hanya ada tiga Abhidhamma[4]
yang masih bertahan hingga saat ini, yakni : Abhidhamma Pāli, Abhidhamma
Sarvatisvadin, dan Abhidhamma
Sariputra.
Abhidhamma Pāli
|
Abhidharma Sarvastivadin Sansekerta
|
Dhammasaṅgaṇī
|
Sangitiparyaya
|
Vibhaṅga
|
Dharmaskandha
|
Dhātukathā
|
Prajnapti
|
Punggalapaññatti
|
Vijnanakaya
|
Kathāvatthu
|
Dhatukaya
|
Yamaka
|
Prakarana
|
Paṭṭhāna
|
Jnanaprasthana
|
Sedangkan Abhidhamma Sariputra
merupakan gabungan keduanya. Dari tabel yang telah diberikan diatas terdapat
perbedaan antara Abhidhamma Pāli dengan
Abhidharma Sarvastivadin Sansekerta,
dan dengan perbedaan tersebut, suatu analisa mengenai Buddhisme awal tidak
dapat dilakukan melalui ajaran yang ada pada Abhidhamma atau Abhidharma.
Oleh sebab itu upaya yang
sungguh-sungguh untuk menyelidiki Buddhisme Awal harus didasarkan terutama pada
lima Āgama (Sansekerta) / Nikāya (Pāli), karena dalam
masing-masing sutta yang dibahas
dalam 2 (dua) sumber tersebut dapat ditemukan kesamaan-kesamaan yang akhirnya
dapat menjadi titik temu dalam menentukan karakteristik Buddhisme awal. Selain
itu juga sumber-sumber yang berkaitan dengan sutta merupakan sumber dari naskah-naskah tua yang ada pada
Buddhisme awal, sehingga dengan dilakukannya pembandingan antara sutta-sutta yang ada dari setiap sekte dan aliran tersebut, tidak menutup
kemungkinan untuk ditemukannya suatu kesamaan yang dapat digunakan sebagai
titik temu dalam menemukan karakteristik ajaran agama Buddha pada masa
Buddhisme awal.
BAB III
AJARAN BUDDHA PADA MASA BUDDHISME AWAL
Sesuai dengan apa yang telah dibahas pada bab
sebelumnya, ajaran Buddha paa masa Buddhisme awal dapat ditinjau melalui sumber
yang dianggap paling tua yaitu Nikāya-Pāli (Sutta-Piṭaka) yang sama dengan Āgama-Sutra
pada Sansekerta. Nikāya-Pāli yang ada saat ini masih dipertahankan oleh
aliran Theravāda dan Āgama-Sutra yang masih dipertahankan
dalam teks mandarin yang berasal dari teks sansekerta
oleh aliran Mahayana. Pada bagian ini juga akan dibahas mengenai
kesamaan-kesamaan dari masing-masing Nikāya
dan Āgama terhadap konsep-konsep
terpenting yang membentuk Buddhisme, dan dengan tidak diakuinya salah satu dari
konsep ini, maka akan dapat diketemukan suatu ajaran yang sangat menyimpang
dari karakteristik Buddhisme tersebut. Karakteristik dari Buddhisme atau
Buddhisme awal adalah non-spekulatif, non-otoritarian, dan non-absolutisme.
Namun sebelum memasuki pembahasan yang lebih jauh mengenai karakteristik
Buddhisme awal tersebut, pada bagian ini akan dibahas mengenai apa yang
diajarkan Buddha pada awalnya dan dicari persamaannya melalui sumber Nikāya dan Āgama.
3.2. Perbandingan Cāttariariyasaccāni
Melalui Sumber Nikāya dan Āgama
Cāttariariyasaccāni
atau
empat kebenaran mulia merupakan hal yang paling mendasar di dalam Buddhisme,
dimana di dalamnya terkandung tujuan yang paling dasar dari Buddhisme. Sehingga
dapat dikatakan bahwa Buddhisme dibangun di atas empat kebenaran mulia ini.
Dengan demikian ketika empat kebenaran mulia diabaikan, maka yang dihasilkan
adalah suatu ajaran yang berbeda dari tujuan Buddhisme awal.
Tujuan mendasar Buddhisme adalah untuk terbebas dari
penderitaan. Seluruh ajaran Buddha memiliki tujuan yang sama, walaupun dalam
penyajiannya berbeda-beda. Dalam hal ini jika empat kebenaran mulia merupakan
hal yang mendasar bagi Buddhisme, maka jika dilakukan perbandingan antara Nikāya-Pāli dan Āgama-Sansekerta sudah seharusnya ditemukan kesamaan dalam
pembahasan mengenai empat kebenaran mulia.
Cāttariariyasaccāni (empat
kebenaran mulia) dalam Nikāya-Pāli
Cāttariariyasaccāni
atau
empat kebenaran mulia dalam Nikāya-Pāli
dapat ditemukan pada Dhammacakkapavatana Sutta, yang berbunyi
sebagai berikut:
“Wahai, Bhikkhu! Kelahiran
adalah penderitaan...kemelekatan terhadap lima khanddha adalah penderitaan.
Inilah kebenaran mulia mengenai penderitaan.
...Kemelekatanlah yang
membawa pada kelahiran kembali, ...Inilah kebenaran mulia mengenai penyebab
penderitaan.
...Kemelekatan dapat diatasi
dan dihancurkan, dihilangkan dan ditolak. ...Inilah kebenaran mulia mengenai
lenyapnya penderitaan.
...Inilah kebenaran mulia
menuju hilangnya penderitaan: pandangan benar (sammā-diṭṭhi), ... dan meditasi
benar (sammā-samādhi).”
Cāttariariyasaccāni (empat
kebenaran mulia) dalam Āgama-Sansekerta
Sedangkan Cāttariariyasaccāni (empat kebenaran mulia) dalam Āgama-Sansekerta bisa diketemukan pada Avatamsaka-Sutra bab VIII, yang berisi:
“Putera-putera Buddha,
Kebenaran Mulia tentang penderitaan di dalam Samsara ini kadang-kadang disebut
dengan perilaku salah, penganiyayaan, perubahan/ketidak kekalan, kemelekatan
pada suatu objek ... atau tindakan yang dilansasi kebodohan.
Kebenaran mulia mengenai
penyebab penderitaan di dalam samsara ini boleh disebut belenggu atau
perpisahan ... kesadaran palsu... .
Kebenaran mulia mengenai
lenyapnya penderitaan, di dalam samsara ini boleh disebut dengan penghindaran
atas pertikaian ... atau berdiam di dalam sifat sejati...
Kebenaran mulia mengenai
jalan untuk menghilangkan penderitaan di dalam samsara ini boleh disebut satu
kendaraan, jalan bertahap menuju kedamaian, ... tidak memiliki nafsu keinginan
lagi, mengikuti jalan para Arya ... .”
Dhammacakkapavatana-Sutta mendefinisikan penderitaan
sebagai penyakit, usia tua, kematian, bertemu dengan yang tidak
disukai/dikehendaki, berpisah dengan yang disukai/dicintai, serta kemelekatan
pada lima khandha. Sedangkan Avatamsaka-Sutra
menyebutkan sebagai perilaku salah, ketidak kekalan, kemelekatan pada suatu
objek, dan tindakan yang dilandasi kebodohan. Dari definisi diatas dapat
dihubungkan bahwa, penyakit, usia tua dan kematian berkaitan dengan ketidak
kekalan atau perubahan secara terusmenerus. Berjumpa dengan yang tidak disuka,
berpisah dengan yang disuka, dan tidak mendapat apa yang diinginkan berkaitan
dengan kemelekatan terhadap suatu objek. Kemelekatan pada suatu objek pada Avatamsaka-Sutra didefinisikan sebagai
prilakuk salah atau tindakan yang dilandasi kebodohan, hal itu berkaitan dengan
tindakan fisik maupun mental yang salah yang dilandasi kebodohan (Pāli. Avijja, Snkt. Avidya).
Mengenai penyebab penderitaan Dhammacakkapavatana-Sutta menyebutkan
kemelekatanlah yang menjadi penyebab kelahiran terus menerus dalam samsara ini.
Avatamsaka-Sutra menyebutkan dengan
istilah belenggu, karena menyebabkan kita selamanya terikat dalam lingkaran
kelahiran dan kematian.
Dengan menghilangkan
kemelekatanpenderitaan akan dilenyapkan demikian dalam Dhammaccakapavatana-Sutta yang sebagai sumber dari Nikāya-Pāli. Sementara dalam Avatamsaka-Sutra yang menjadi sumber
dari Āgama-Sansekerta mengatakan hal
tersebut sebagai kebebasan dari kekotoran batin, hilangnya hambatan-hambatan,
dan prealisasian atas sifat sejati para makhluk.
Sebagai jalan untuk menuju pembebasan
dari penderitaan Buddha mengajarkan mengenai Jalan Mulia Berunsur Delapan.
Rumusan jalan mulia berunsur delapan sebagai jalan untuk mengakhiri
penderitaan, juga sama antara sumber Nikāya-Pāli
dan Āgama-Sansekerta. Berikut ini
adalah perbandingannya.
Nikāya-Pāli
|
Āgama-Sansekerta
|
Arti
|
Sammā-Diṭṭhi
|
Samyak-Dṛṣṭi
|
Pandangan benar
|
Sammā-Saṅgkappa
|
Samyak-Saṃkalpa
|
Pikiran benar
|
Sammā-Vācā
|
Samyak-Vācā
|
Ucapan benar
|
Sammā-Kammanta
|
Samyak-Karmanta
|
Perbuatan benar
|
Sammā-Ājiva
|
Samyak-Ājiva
|
Mata pencahariaan benar
|
Sammā-Vāyāma
|
Samyak-Vyāyāma
|
Usaha benar
|
Sammā-Sati
|
Samyak-Smṛti
|
Perhatian benar
|
Sammā-Samādhi
|
Samyak-Samadhi
|
Meditasi benar
|
Setelah melihat perbandingan
antara Nikāya-Pāli dengan Āgama-Sansekerta terhadap empat
kebenaran mulia, dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan mendasar diantara
keduanya, hanya saja dalam sumber Āgama-Sansekerta
konsep-konsepnya lebih dijabarkan secara luas. Dengan demikian karakteristik
atau ajaran Buddha pada masa Buddhisme awal dapat kita temukan dalam persamaan
yang ada atas perbandingan kedua isinya.
3.2. Pembagian bedasarkan Sifat Terhadap Ajaran Buddha
pada Masa Buddhisme Awal
3.2.1.
Non-Spekulatif
Ajaran
Agama Buddha pada masa Buddhisme awal lebih bersifat non-spekulatif. Spekulatif
disini merupakan kata yang berasal dari kata spekulasi yaitu pendapat atau
dugaan yang tidak bedasarkan kenyataan[5]. Artinya
pendapat itu dibuat atau teori itu berdiri bukan bedasarkan apa yang telah
dialami atau telah dilihat pada kenyataannya, namun lebih pada
perkiraan-perkiraan yang mendekati dengan apa yang berhubungan dengan hal
tersebut. Buddhisme awal jelas tidak bersifat spekulatif, dimana dalam ajaran
Buddha pada umumnya bertujuan untuk pembebasan Dukkha, oleh karena itu Buddhisme jika bersifat spekulatif akar
terjebak pada spekulasi-spekulasi yang pada akhirnya tidak membawa pada manfaat
untuk tujuan dari Buddhisme itu sendiri, yaitu pembebasan dari Dukkha.
Beberapa
hal yang bersangkutan dengan pandangan ajaran Buddha pada masa Buddhisme awal
yang bersifat non-spekulatif misalnya dapat kita temukan di dalam Samyuta-Nikāya, yaitu tentang seseorang
yang bernama Acela Kassapa, yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Buddha
yang berkaitan jawabannya dengan spekulasi-spekulasi.
1. Apakah
penderitaan disebabkan oleh diri sendiri?
2. Apakah
penderitaan disebabkan oleh yang lainnya?
3. Apakah
penderitaan disebabkan baik oleh sendiri maupun yang lainnya?
4.
Apakah penderitaan disebabkan bukan oleh sendiri dan bukan
juga oleh yang lain?
Untuk pertanyaan tersebut Buddha menjawab: “Jangan berkata demikian, alih-alih membuat
penyangkalan yang lebih umum yang bisa dinyatakan sebagai: ‘bukan demikian’.
Keengganan untuk menerima dalih yang pertama (penderitaan bersebab akibat
sendiri) didorong oleh kewaspadaannya bahwa hal itu dapat membimbing ke
kepercayaan akan eternalisme. Yang kedua dihindari karena ia dapat membimbing
ke anihilasionisme. Yang ketiga, kombinasi dari kedua teori di atas, membawa
serta kedua implikasi tadi, eternalisme dan anihillasionisme. Dan yang keempat
menyangkal sebab-akibat sama sekali.”
Dengan demikian Buddha sama sekali tidak memberikan
jawaban yang pasti akan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Karena dengan
memberikan jawaban yang pasti hanya akan membuat apa yang diajarkan Buddha
terjebak dalam spekulasi-spekulasi yang nantinya akan mengarah pada kepercayaan
akan eternalisme. Yang sebenarnya dalam Buddhisme tidak memandang paham
eternalisme.
3.2.2.
Non-Otoritarian
Otoritarian
memiliki makna yang berasal dari kata otoriter dimana otoriter mengandung makna
berkuasa sendiri atau sewenang-wenang[6], atau
menganggap segala keputusan berasal dari dia.
Dalam sumber lain istilah otoritarianisme berasal
dari bahasa Inggris, authoritarian. Kata authoritarian sendiri berasal dari bahasa Inggris authority, yang sebetulnya
merupakan turunan dari kata Latin auctoritas.
Kata ini berarti pengaruh, kuasa, wibawa, otoritas. Oleh otoritas itu, orang dapat
memengaruhi pendapat, pemikiran, gagasan,
dan perilaku orang,
baik secara perorangan maupun kelompok.
Otoritarianisme adalah paham atau pendirian yang berpegang pada otoritas,
kekuasaan dan kewibawaan, yang meliputi cara hidup dan
bertindak. Penganut otoritarianisme akan berpegang
pada kekuasaan sebagai acuan hidup. Ia akan menggunakan wewenang sebagai
dasar berpikir. Ketika berhadapan dengan orang lain dan menanggapi masalahnya,
mereka akan menanyakan kedudukannya (sebagai apa) dalam lembaga dan organisasi. Dalam membahas masalah itu, dia tidak
akan mempersoalkan hakikat dan kepentingannya, tetapi berhak ikut campur dan
mengurus perkara yang dipersoalkannya. Namun demikian, hal ini hanya berlaku
untuk dirinya. Untuk orang lain, orang otoritarian akan membatasi pekerjaan
seseorang, yaitu agar orang tersebut bekerja menurut prosedur dan aturan yang ada.
Jika orang itu tidak mengerti dan tidak menjalankan tugasnya dengan baik, ia
akan dianggap salah.[7]
Dari
penjabaran mengenai pengertian otoritarian yang telah di bahas, jelas dalam hal
ini Buddhisme awal tidak memegang paham tersebut, atau dengan kata lain bersifat
non-otoritarian. Hal itu dapat dibuktikan dalam ajaran Buddha yang terkandung
dalam Mahāparinibbāna-Sutta, yang
berisikan tentang saat-saat terakhir sebelum Buddha Parinibbāna.
Dan isi kutipan dari Mahāparinibbāna-Sutta yang mencerminkan
sifat non-otoritarian pada masa Buddhisme awal adalah:
“Yo vo,ānanda, mayā dhammo ca vinayo ca
desito paññatto, so vo mamaccayena satthā.”
“Ananda, Dhamma dan Winaya yang telah
kupaparkan dan kumaklumkan, itulah yang menjadi guru Anda sepeninggalan saya.”
Jelas dalam kutipan tersebut Buddha
menunjukan, bahwa pada saat kepeninggalannya, Buddha tidak menyatakan bahwa dia
adalah guru satu-satunya, atau menggunakan posisinya sebagai Buddha untuk
menunjuk seseorang menjadi penerus atau penggantinya dalam posisi guru.
Sebelumnya Y.A. Ānanda
mempertanyakan, siapa kelak yang akan menggantikan Buddha kelak setelah Buddha Parinibbāna, dan Buddha dengan
pertanyaan tersebut menjawan sesuai dengan kutipan diatas dan tidak sama sekali
menunjuk atau memilih siapa yang menjadi penggantinya.
3.2.3.
Non-Absolutisme
Buddhisme
awal bersifat non-absolutisme artinya bahwa agama Buddha menekankan untuk tidak
terjebak pada sesuatu yang paling mutlak, paling benar, dan paling hakiki. Kata
absolutisme berasal dari kata dasar absolut yang berarti tidak terbatas atau
mutlak[8].
Salah satu Sutta
yang merujuk pada sifat non-absolut adalah Caṅki-Sutta
pada Majjhima-Nikāya.
Caṅki, seorang brahmana dari desa
Opāsāda, datang menemui Sang Buddha dengan banyak orang. diantara pengikutnya
adalah seorang brahmana muda bernama Kāpāṭika. Brahmana muda itu terlibat di
dalam diskusi dengan Sang Buddha tentang ‘Tiga Veda’yang telah diturunkan dari
generasi ke generasi dalam tradisi yang tidak terputus. Tradisi yang oleh
brahmana itu dipercaya sebagai satu-satunya kebenaran yang diibaratkan oleh
Sang Buddha seperti sebaris orang buta yang masing-masing berpegangan pada
orang buta yang didepannya.
Kutipan dari isi sutta tersebut
adalah:
"... Ada lima hal yang mempunyai dua macam akibat pada kehidupan
sekarang. Apakah ke lima hal itu? Lima hal itu adalah: Keyakinan (saddha),
kesukaan (ruci), tradisi (lisan), berdebat tentang bukti (akaraparivitakka)
dan senang merenungkan pandangan-pandangan (ditthinijjhanakhanti). Lima hal ini
mempunyai dua macam akibat pada kehidupan sekarang.[9]
... Tidaklah tepat bagi seorang yang cerdas,
melindungi kebenaran utuk tiba pada kesimpulan (nitthaṁ) secara kategorik (ekaṁsena)
dalam hal ini bahwa hanya inilah yang benar dan selainnya keliru (Idaṁ eva saccaṁ moghaṁ aññaṁ).”[10]
Di sini Sang Buddha
menegaskan bahwa suatu teori yang berlandaskan tradisi atau laporan atau wahyu
dapat benar atau keliru. Dengan tidak adanya jaminan akan kebenarannya atau
kekeliruannya, tidaklah tepat untuk tergantung kepada teori itu sebagai alat
yang mutlak untuk memperoleh pengetahuan. Oleh sebab itu, seperti yang
dikemukakan Sang Buddha, seseorang seharusnya menunda keputusan, dan itu
berarti penolakan terhadap tradisi atau wahyu sebagai sumber yang mutlak bagi
pengetahuaan.
BAB IV
KESIMPULAN
Dari seluruh pembahasan yang telah dilakukan
pada bab-bab sebelumnya, dapat di ambil suatu kesimpulan mengenai agama Buddha
pada masa Buddhisme awal, yaitu bahwa pada masa Buddhisme awal jelas Buddha
dalam ajarannya mengandung beberapa sifat yang sebelumnya telah dibahas, dimana
ajarannya bersifat non-spekulasi, non-otoritarian, dan non-absolutisme.
Non-spekulasi adalah saat dimana Buddha dalam ajarannya lebih menekankan
hal-hal yang sifatnya ber-spekulasi, artinya dimana ketika seseorang dalam
usahanya memperoleh pengetahuan mengenai asal mula dan keluasan semesta alam
atau sebagainya dan keadaan sebenarnya, terjerumus dalam spekulasi yang
diputuskan bedasarkan prinsip-prinsip tertentu. Dan pada akhirnya hal tersebut
tidak membawa manfaat sama sekali kepada tujuan utama dari ajaran Buddha yaitu
kehidupan religius yang luhur, kepada pelepasan diri, bebas dari nafsu-nafsu,
keberhentian, kedamaian, pandangan terang, penerangan, atau nibbāna. Lalu non-otoritarian dimana
dalam hal ini Buddha tidak menekankan bahwa DIa adalah satu-satunya sosok guru
yang paling berkuasa dan berhak mengambil keputusan atau mengatur sesuatu, dia
juga sangat menghindari pengkultusan akan dirinya dimana ketika saat-saat
terakhirnya ia tidak sama sekali menunjuk pengganti bagi dirinya sebagai guru
atau pimpinan, melainkan ia berkata bahwa Dhamma dan Vinaya adalah guru bagi
para murid-murinya setelah Buddha Parinibbāna.
Terakhir adalah non-absolutisme, Buddha dalam ajarannya sangat menghindari
tentang sesuatu yang mutlak atau yang paling hakiki, dari beberapa ajarannya
semuanya bersifat demikian, beliau tidak pernah menyinggung sesuatu yang mutlak
adalah ‘A’ atau sesuatu yang paling benar dan hakiki adalah ‘B’. Dengan
demikian tidak ada yang mutlak dalam ajaran Buddha pada masa Buddhisme awal,
seperti yang tertuang dalam ajrannya yaitu, “Sabbe saṅkhārā
aniccā’ti; Sabbe saṅkhārā dukkhā’ti; Sabbe dhammā anattā’ti.” (Segala bentukan tidak kekal
adanya; Segala bentukan sukar bertahan adanya; Segala bentukan maupun bukan
bentukan adalah bukan diri adanya).
Referensi .
-
A.
Mangunhardjana. 1997. Isme-isme
dalam Etika dari A sampai Z.
Jogjakarta: Kanisius. Hlm. 174-177.
-
Anggawati, Lanny & Wena Cintiawati (Penerjemah). 2008. Kitab Suci MAJJHIMA-NIKĀYA 5
(Judul asli: The Middle Legth Discourses of The Buddha by Bhikkhu Ñanamoli
& Bhikkhu Bodhi). Yogyakarta: Vidyāsena – Vihāra Vidyāloka.
-
Anggawati, Lanny & Wena Cintiawati (Penerjemah). 2007. Panduan
Tipiṭaka (Judul asli: Guide to Tipiṭaka by
U Ko Lay). Klaten: Wisma Sambodhi.
-
Kalupahana, David J. 1976. Buddhist
Philosophy A Historical Analysis. Hawaii: The University Press of
Hawaii.
-
Taniputera, Ivan Dipl. Ing.
2003. Ehipassiko Theravada – Mahayana, Studi Banding Doktrin Buddhisme Aliran
Selatan dan Utara. Yogyakarta: Penerbit Suwung.
-
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus
Besar Bahasa indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan.
-
Yayasan
Saṅgha Theravāda Indonesia. 2005. Paritta Suci. Jakarta: Yayasan Saṅgha
Theravāda Indonesia.
[1] Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa indonesia Pusat Bahasa.
Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan. Hlm: 1484.
[2] Berarti: ‘menyesuaikan’. Tim Redaksi
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa indonesia
Pusat Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan. Hlm: 93.
[3] Sang Buddha Wafat
[4] Taniputera, Ivan Dipl. Ing. 2003. Ehipassiko
Theravada – Mahayana, Studi Banding Doktrin Buddhisme Aliran Selatan dan Utara.
Yogyakarta: Penerbit Suwung.
[5] Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa indonesia Pusat Bahasa.
Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan. Hlm: 1334.
[6] Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus
Besar Bahasa indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan. Hlm:
992.
[7] A. Mangunhardjana. 1997. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Jogjakarta: Kanisius. Hlm. 174-177.
[8] Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus
Besar Bahasa indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan. Hlm:
4.
[9] Anggawati, Lanny & Wena Cintiawati (Penerjemah). 2008. Kitab
Suci MAJJHIMA-NIKĀYA
5 (Judul asli: The Middle Legth
Discourses of The Buddha by Bhikkhu Ñanamoli & Bhikkhu Bodhi). Yogyakarta:
Vidyāsena – Vihāra Vidyāloka.
[10] Kalupahana,
David J. 1976. Buddhist Philosophy A Historical Analysis. Hawaii: The
University Press of Hawaii.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar