Selasa, 07 April 2015

PELAKU KEBAJIKAN AKAN BERBAHAGIA DI KEDUA ALAM


PELAKU KEBAJIKAN AKAN BERBAHAGIA DI KEDUA ALAM
(Empat Cakka)

Oleh: Sāmaera Yogi Guṇavaro Guṇapiyo

“Dhamma care sucarita,
na na duccaritaṁ care;
Dhammacārī sukhaṁ seti,
asmiṁ loke paramhi ca’ti.”

Hendaklah seseorang hidup sesuai dengan Dhamma
dan tak menempuh cara-cara jahat.
Barang siapa hidup sesuai dengan Dhamma,
maka ia akan hidup bahagia di dunia ini maupun di dunia selanjutnya.
(Dhammapada: 169 – Loka Vagga)



            Apa yang telintas di dalam pikiran kita saat mendengar kata ‘kebahagiaan’ dan ‘kebajikan’? Apakah keduanya dapat dipisahkan? Atau?
            Kebahagiaan dan kebajikan adalah dua hal yang saling menopang satu dengan yang lainnya. Kebahagiaan, kebahagiaan bukan lah hal instan, kebahagiaan yang dapat kita rasakan merupakan hasil dari kebajikan yang telah kita lakukan, dilakukan sebelumnya. Ketika seseorang membantu orang lainnya, orang lain tersebut merasa bahagia dan berpuas hati, kebahagian yang dapat kita rasakan dari kebajikan tersebut adalah, ketika kita mampu melihat orang yang kita bantu merasa bahagia dan menikmati pemberian kita. Demikian pula dengan kebahagiaan, kebahagian yang kita rasakan merupakan suatu kondisi yang baik, yang dapat mendorong kita untuk berbuat baik lagi, lagi dan lagi. Dengan kata lain, ketika seseorang melakukan kebajikan dan kemudian berbahagia atas hasil yang diperoleh, orang tersebut di dorong untuk kembali melakukan kebajikan dengan kebahagiaan yang tengah ia rasakan.
            Kita ketahui dalam kehidupan ini ada beberapa orang yang selalu ingin berbahagia namun tidak ingin melakukan sesuatu, terlebih lagi berbuat kebajikan. Menunggu kebahagiaan datang secara instan merupakan mimpi di siang bolong, tidak akan menjadi kenyataan dan tidak akan didapatkan. Manusia itu ingin berbahagia tetapi enggan berbuat. Dari sekian banyak manusia, hanya sedikit manusia sampai kepantai seberang, lainnya hanya hilir mudik di tepi pantai. Demikian juga dengan seseorang yang ingin memperoleh kebahaiaan, baik di dunia ini maupun di dunia yang akan datang, ada yang benar-benar berusaha untuk mencapainya, ada pula yang hanya menunggu dan berharap.
            Dalam proses mencapai kebahagiaan di dunia ini dan di dunia yang akan datang, tidak sedikit juga orang yang menggunakan cara instan, cara singkat untuk memperolehnya. Cara singkat biasa dilakukan dengan cara-cara yang salah, cara yang tidak sesuai dengan Dhamma. Lantas bagaimanakah dengan cara-cara yang baik, yang sesuai dengan Dhamma untuk mendapatkan kebahagian tersebut?
            Melakukan kebajikan, kebajikan banyak jenis dan tipenya, kebajikan disini bukan hanya sekedar memberi materi. Hidup sesuai dengan Dhamma dan mempraktikan Dhamma secara benar dan tekun, merupakan suatu kebajikan juga. Lantas kebajikan dari pelaksanaan Dhamma apa yang dapat mendorong kita untuk berbahagia di dunia ini dan di dunia yang akan datang?
            Di dalam salah satu Sutta yang terdapat pada Dīgha Nikāya yaitu Dasuttara Sutta, dikatakan oleh YA. Sariputta ada empat roda (cakka) yang sangat membantu. Roda (cakka) ini dikatakan sangat membantu (bahukāro), karena ketika dimiliki oleh seseorang maka orang tersebut akan mudah dalam mencapai apa yang dicita-citakannya, termasuk kebahagiaan di dunia ini dan di dunia yang akan datang. Ibarat pedati yang memiliki empat roda, maka pedati tersebut akan berjalan dengan seimbang dan kuat. Demikian pula dengan seseorang yang memiliki empat roda (cakka), maka ia akan kuat dan seimbang dalam perjalanannya untuk mendapatkan apa yang ia cita-citakan. Apa saja keempat roda tersebut,

“katame cattāro dhammā bahukārā? Cattāri cakkāni – patirūpadesavāso, sappurisūpanissayo, attasammāpaṇidhi, pubbe ca katapuññatā. Ime cattāro dhammā bahukārā.”

Apakah empat hal yang sangat membantu? Empat “Roda” (cakkānī) – tempat yang baik untuk menetap (pairūpa-desa-vāso), bergaul dengan orang-orang baik (sappurisūpassayo), memahami apa yang berguna bagi diri sendiri (atta-sammā-paidhi), perbuatan baik masa lampau (pubbe-kata-puññātā).”[1]

1. Tempat yang baik untuk menetap (pairūpa-desa-vāso)
Tempat yang baik untuk menetap yang dimaksudkan dalam hal ini bukan lah tempat yang mewah, besar, atau megah, akan tetapi tempat yang jauh dari konflik, pertikaian, peperangan dan jauh dari segala macam penyakit, bencana kelaparan dan kekeringan. Mengapa demikian? Karena ketika lingkungan tersebut berada dalam kondisi yang baik, maka akan menunjang orang yang berada di tempat tinggal tersebut untuk melakukan kebajikan. Berada di lingkungan yang rawan konflik dan bencana alam sangatlah kecil kemungkian untuk melakukan kebajikan, yang ada perasaan takut dan khawatir lah yang akan datang menemani kehidupan sepanjang harinya. Akan tetapi, lingkungan tempat tinggal yang baik pun tidak akan mendukung seseorang melakukan kebajikan, dimana orang yang tinggal di dalamnya selalu dipenuhi dengan keserakahan, kebencian, dan ego yang besar, bisa dibayangkan bagaimana kondisi tempat tinggal dengan orang-orang yang seperti itu, tidak ada kedamaian sepanjang harinya, tidak ada kebajikan yang dapat dilakukan, yang ada hanya pertikaian akan ego masing-masing. Oleh karena itu, lingkungan tempat tinggal yang baik tidak lah cukup untuk membantu dalam pencapaian kebahagiaan, baik di dunia ini maupun di dunia yang akan datang. Tetapi didukung dengan kondisi mental orang-orang yang berada didalamnya, akanlah sangat mungkin untuk memperoleh kebahagian tersebut.

2.  Bergaul dengan orang-orang baik (sappurisūpassayo)
Tidak dapat dipungkiri, bergaul dengan orang-orang yang baik sangatlah membawa pada manfaat dan menunjang pada kehidupan yang berbahagia. Ketika kita memiliki pergaulan dengan orang-orang yang baik, maka di dalam kehidupan ini ketika kita hendak melakukan sesuatu yang merugikan ada orang yang selalu mengingatkan, memberitahukan bahwa apa yang kita lakukan salah. Demikian pula saat kita hendak melakukan sesuatu yang bermanfaat, mereka akan senantiasa mendukungnya, bukan malah menjerumuskan pada sesuatu hal yang salah. Di dalam Aguttara Nikāya: VII[2] dijelaskan ada tujuh faktor sahabat yang baik, yaitu ia memberikan apa yang sulit diberikan,  dia melakukan apa yang sulit dilakukan, dia sabar menanggung apa yang sulit ditanggung, dia memberitahukan rahasianya sendiri, dia menjaga rahasia orang lain, dia tidak meninggalkan orang di dalam kemalangan, dan dia tidak menghina seseorang di dalam kemalangannya. Itulah ketujuh faktor dari sahabat yang baik, atau tujuh faktor orang yang dapat kita jadikan sebagai sahabat yang baik. Bukan hanya bergaul hanya dengan orang-orang yang demikian, tetapi hendaknya kita juga memiliki ketujuh faktor tersebut, sehingga orang-orang baik akan dengan mudah datang dan bergaul dengan diri kita.

3. Memahami apa yang berguna bagi diri sendiri (atta-sammā-paidhi)
Memahami apa yang berguna bagi diri sendiri berarti, ketika kita melakukan suatu perbuatan, hendaknya perbuatan itu berguna bagi diri kita, bukan malah sebaliknya membuat kita rugi dan dicela orang lain. Demikian ketika seseorang hendak mencapai kebahagiaan di dunia ini dan di dunia yang akan datang, maka segala bentuk perbuatannya haruslah ia pahami, apakah ini berguna atau tidak. Perbuatan yang berguna bagi diri sendiri adalah perbuatan yang ketika dilakukan senantiasa memberikan manfaat yang baik bagi diri kita sendiri dan terlebih lagi bagi makhluk lain.
Salah satu contoh dari memahami apa yang berguna bagi diri sendiri adalah, saat kita diajak untuk pergi jalan-jalan oleh teman kita, sementara teman yang lain mengajak kita untuk ikut latihan meditasi di wihara. Kedua ajakan tersebut adalah baik, akan tetapi ketika seseorang mengatahui mana yang berguna bagi dirinya, ia akan menimbah dan memilih pilihan tersebut bedasarkan nilai bergunanya, orang tersebut akan memilih ikut latihan meditasi ketimbang jalan-jalan. Latihan meditasi akan berguna bagi kemajuan mentalitas dan batinnya, sementara jalan-jalan hanya mencari kesenangan sesaat, yang belum tentu ada nilai berguna di dalamnya. Orang yang senantiasa mengetahui mana hal yang berguna dan mana hal yang tidak berguna, sepanjang hidupnya akan senantiasa melakukan kebajikan, melakukan kebajikan sesuai dengan Dhamma, dan kebahagiaan pun akan ia dapatkan.

4. Perbuatan baik masa lampau (pubbe-kata-puññātā)
Roda yang terakhir adalah memiliki ‘simpanan’ atau perbuatan baik masa lampau. Perbuatan baik masa lampau sangatlah penting untuk menunjang pencapaian kebahagiaan baik di dunia ini maupun di dunia yang akan datang. Simpanan kebajikan yang telah di tanam jauh-jauh hari, tentu akan memberikan kondisi yang baik saat berbuah. Buah atau hasil dari perbuatan baik masa lampaulah yang nantinya akan sangat membantu dalam pencapaian kebahagiaan itu sendiri. Masa lampau yang dimaksudkan bukan hanya masa lampau di kehidupan lampau, masa lampau disini dapat diartikan hari-hari lalu juga masa sebelum saat ini.
Misalkan saja seseorang rajin berbuat baik, ia selalu berbagi apapun yang dibutuhkan oleh tetangganya, bukan hanya materi tetapi tenaga juga. Suatu ketika ia pergi jauh dan meninggalkan rumah dalam waktu yang lama, saat itu juga ada orang berniat tidak baik ingin merampas seluruh isi rumahnya. Karena ia dikenal baik dengan tetangga dan senang berbagi, tetangganya yang mengetahui hal ini lalu mencegah perampok-perampok tersebut untuk membawa lari barang-barang miliknya. Jika kita lihat, orang tersebut sebelumnya tidak segan berbagi kepada tetangganya, ia juga otomatis ramah kepada tetangga-tetangganya, dan karena prilakunya yang demikian di masa lampau ia terhindar dari perampokan yang akan membawanya pada kerugian. Itulah yang dapat dikatakan perbuatan baik di masa lampau menunjang pada kebahagiaan di dunia ini maupun di dunia yang akan datang.

Kesimpulan
            Tidak ada kebahagiaan tanpa usaha gigih di dalamnya. Tidak ada kebahagiaan tanpa tindakan nyata di dalamnya. Bukan kebahagiaan jika itu melukai dan merugikan makhluk lain. Perbuatan baik yang dilakukan dengan cara-cara yang baik akan menghasilkan kebahagiaan yang baik pula, baik itu di dunia ini maupun di dunia yang akan datang. Pada dasarnya setiap orang mampu berbuat baik, tidak terkecuali dari mana, siapa, memiliki latar belakang bagaimana, dan dari status apa, semua memiliki kesempatan dalam melakukan kebajikan. Melakukan kebajikan bukan hanya perihal memberikan suatu barang, materi, atau jasa, melaksanakan Dhamma yang telah diajarkan oleh Guru Agung Buddha juga merupakan suatu kebajikan. Kebajikan dari melaksanakan Dhamma akan membuahkan sesuatu yang bermanfaat, bermanfaat bagi kehidupan di dunia ini, kini dan saat ini, dan kehidupan di dunia yang akan datang, dunia di mana kita akan dilahirkan setelah kematian. Hiduplah sesuai dengan Dhamma, melaksanakan kebajikan dan senantiasa menghindari cara-cara salah dalam mencapai suatu tujuan, maka kebahagiaan akan ia dapatka. Empat roda (cakka) adalah salah satu dari sekian banyak pokok pembahasan Dhamma, empat roda ini juga yang merupakan alat bagi si pelaku kebajikan untuk memperoleh kebahagiaan yang ia tujukan. Oleh karena itu, Dhamma yang telah di ketahui dengan jelas sebagaimana yang telah di ajarkan oleh Guru Agung Buddha, hendaknya bukan sekedar kita baca dan ketahui saja, akan tetapi jauh lebih bermanfaat dan memberikan hasil ketika Dhamma itu dipraktikan dalam kehidupan kita saat ini. Jangan pernah lelah melaksanakan Dhamma, jangan pernah mengharap hasil yang instan, nikmatilah proses yang ada, karena ketika kita berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempraktikan Dhamma, disana akan ada hasil yang baik, yang baik untuk kita rasakan.

Bekasi, 26 Maret 2015

Referensi:
-                      Bodhi, Bhikkhu. 2012. The Numerical Discourses of the Buddha (A Translation of the Aṅguttara Nikāya). Wisdom Publication: Boston.
-                      Walshe, Maurice. 1996. The Long Discourses of the Buddha: A translation of the Dīgha Nikāya. Wisdom Publication: Boston.
-                      Tim Penyusun. 2013. Kitab Suci Dhammapada. Penerbit Bahussuta Society: Singkawang Selatan.


[1] Walshe, Maurice. 1996. The Long Discourses of the Buddha: A translation of the Dīgha Nikāya. Wisdom Publication: Boston. (hlm. 513)
[2] Bodhi, Bhikkhu. 2012. The Numerical Discourses of the Buddha (A Translation of the Aṅguttara Nikāya). Wisdom Publication: Boston. (hlm.1021)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar