Minggu, 28 September 2014

Etika Sosial Buddhis



ETIKA SOSIAL BUDDHIS
MENGACU PADA TULISAN TAVIVAT PUNTARIGVIVAT YANG BERJUDUL "THOWARD A BUDDHIST SOCIAL ETHICS: THE CASE OF THAILAND"



PENDAHULUAN
Memandang Buddhisme sebagai agama yang anti sosial dan hanya mementingkan kepentingan pribadi tidaklah salah, tergantung dari  mana orang tersebut memandang Buddhisme dalam membangun hubungan sosial. Kritikan terhadap Buddhisme sebagai agama yang hanya mementingkan keselamatan pribadi dan tidak memiliki etika sosial mungkin tampak benar. Namun ketika prinsip-prinsip dalam Buddhisme, terlebih lagi dalam hal pembebasan ― dapat ditafsirkan dan diperluas ke teori etika sosial, sudah barang tentu Buddhisme memiliki etika dalam hubungan sosial.
Etika sosial diartikan sebagai peraturan yang dianut oleh suatu tatanan sosial, yang merupakan hasil kreasi manusia yang diciptakan dengan tujuan untuk menjaga hubungan suatu masyarakat yang baik dan harmonis. Etika sosial juga dikatakan sebagai cara pandang untuk membangun kepedulian terhadap suatu permasalahan yang terjadi dalam suatu masyarakat, dan digunakan sebagai dasar bagi seseorang untuk lebih berperan dalam tindakan sosial,  bukan sekedar pada tindakan individual atau religius saja. Pada bagian ini Buddhisme dituntut untuk memiliki peranan lebih terhadap permasalahan umum yang ada, tidak hanya pada pembebasan pribadi dengan tujuan kebagaiaan pribadi. Dalam Buddhisme banyak aspek yang akan ditemukan, dimana aspek-aspek tersbut bisa diterapkan untuk membangun etika sosial Buddhis. Misalnya saja Metta, Karuna, Mudita, Upekkha, Sacca, dan lain sebagainya. Tentu hal-hal tersebut bersifat lebih pada tindakan nyata, bukan hanya sekedar teori atau bahkan hanya sekedar tahu. Misalnya saja ketika seseorang lapar, yang dibutuhkan bukan teori bagaimana orang tersebut bisa kenyang, namun yang lebih dibutuhkan adalah makanan yang bisa membuat orang tersebut kenyang. Selain hal-hal tersebut etika Buddhis yang paling mendasar dapat juga kita temukan pada lima latihan moral (pañcasīla). Sekilas jika kita pandang isi dari lima latihan ini hanya mengarah pada diri sendiri, hanya untuk kebahagiaan dan keuntungan pribadi, bukan terhadap kepentingan diluar diri. Lalu mengapa lima latihan moral ini dapat dikatakan sebagai dasar etika sosial yang dimiliki Buddhisme?



Pañcasīla Sebagai Dasar Etika Sosial dalam Buddhisme
Buddhisme memandang permasalahan mendasar yang menjadi penyebab dari penyimpangan sosial adalah keserakahan, kebencian, dan ketidaktahuan/kebodohan. Keserakahan yang tersistematis dapat kita temukan dalam sistem ekonomi saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kasus di Thailand, dimana jutaan petani tersingkir dari lahan pertaniaannya akibat perkembangan pembangunan yang mengambil lahan pertanian mereka, hal itulah yang mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan bertambah.
Untuk mengatasi keserakahan, kebencian, dan ketidaktahuan/kebodohan yang menjadi dasar atas penyimpangan yang terjadi, seseorang diarahkan untuk merupah prilaku dan cara hidup mereka, namun hal itu tidak cukup. Merubah sistem yang ada pada lingkungan mereka juga diperlukan. Untuk itul lima latihan moral yang menjadi dasar dari etika Buddhis diperlukan.
Poin pertama dari lima latihan moral dalam Buddhisme adalah, menahan diri dari membunuh makhluk hidup, dalam hal ini mencangkup tindakan yang merugikan makhluk lain. Dengan seseorang memiliki sikap untuk tidak membunuh dan menyakiti makhluk lain, secara tidak langsung orang tersebut turut andil dalam menjaga perdamaian, dan pelestarian atas keberlangsungan hidup suatu makhluk. Lalu bagaimana seseorang bersikap dan memiliki etika sosial dengan ia memiliki latihan yang pertama ini? Ketika seseorang memilih utuk tidak membunuh dan menyakiti makhluk lain, tidakan yang harus ia miliki adalah menjaga dan menghormati setiap kehidupan yang ada, termasuk binatang kecil sekalipun. Misalnya dengan melindungi hewan-hewan yang terancam punah, dan melestarikan hutan lindung yang banyak terdapat hewan didalamnya. Tindakan terhadap manusia misalnya dengan cara menghindari penyiksaan terhadap para pembantu, tahanan-tahanan, dan penyiksaan terhadap anak-anak, sehingga berkurangnya pelanggaran hak asasi manusia. Dengan hal demikianlah seseorang semestinya bertindak, ketia ia benar-benar melatih untuk tidak membunuh dan menyakiti makhluk lain. Untuk itu, etika sosial yang pertama dalam buddhisme adalah menghargai setiap kehidupan yang ada dan berusha melindungi kehidupan tersebut, dengan tidak adanya keserakahan, kebencian, dan kebodohan didalamnya.
Poin kedua dari lima latihan moral dalam buddhisme adalah, menahan diri dari tindakan mengambil barang yang bukan milik kita, tidak diberikan, atau mencuri. Memandang hal ini, seseorang diarahkan untuk menghargai kepemilikan orang lain. Korupsi yang sudah melaten dalam banyak lembaga merupakan penyakit yang tersistematis, terpola, dan menjadi suatu yang biasa. Dengan hal tersebutlah banyak rakyat yang dirugikan, dan dirampas secara tidak langsung. Selain itu, perusakan hutan seperti penebangan pohon sembarangan menyakibatkan lingkungan dan ekologi dunia menjadi berantakan, sehingga mengakibatkan kerugian bagi generasi mendatang. Tindakan nyata dari latihan yang kedua ini adalah, ketika seseorang menghindari pencurian, orang tersebut akan berusaha untuk melindungi milik orang lain, termasuk menjaganya. Misalnya ketika seseorang tidak dapat menanam pohon ― melakukan penghijauan, yang dilakukan adalah menjaga pohon-pohon yang ada, dengan tidak menebang atau merusaknya. Dan ketia setiap orang menghargai milik orang lain, terlebih menjaga dan merawatnya, maka kehidupan ini akan terasa damai, itulah sikap etika sosial yang kedua alam Buddhisme, membangun kepedulian terhadap pihak luar, dengan tidak merampas milik orang lain, atau merusaknya.
Poin ketiga dari lima latihan moral adalah menahan diri dari perbuatan asusila, atau pelecehan seksual. Prostitusi telah menjadi pelanggaran yang tersistematis dalam hal ini. Bukan hanya pada kalangan masyarakat kota, namun terjadi juga pada kalangan masyarakat desa. Seseorang yang melatih menahan diri dari perbuatan asusila, hendaknya berusaha untuk menghargai pasangan masing-masing dan mengedepankan kesetiaan. Banyak sebab terjadi prostitusi, faktor kesejahteraan ekonomi suatu daerah mendorong juga terjadinya hal ini, tidak ada cara lain untuk memperoleh penghasilan membuat seseorang berada dalam pilihan ini. Untuk itu membangun kesejahteraan pada suatu daerah, dan menegakan hukum yang ada atas pelanggaran ini, merupakan cara untuk mengurasi prostitusi yang telah ada dan tersistematis, dengan demikian tekanan yang ada pada wanita sebagai korban akan berkurang. Hal demikian yang dikatakan etika sosial dalam Buddhis yang bertujuan untuk membangun sifat menghargai antar sesama dan membangun kerukunan.
Poin keempat dari lima latihan moral adalah, menahan diri dari ucapan salah, berbohong, dan dalam hal ini termasuk berkata kasar dan mencela. Dalam hal ini sering kali kita temukan para politikus-politikus yang pada awalnya hanya mengumbar janji dan tidak sampai benar-benar memperjuangkan apa yang dijanjikannya. Pada dasarnya ketika seseorang memilih untuk menjaga ucapannya, maka ketika ia berucap ia akan mempertimbangkan apakah ucapannya sesuai, apakah akan menyinggung perasaan orang lain, dan banyak pertimbangan lainnya. Artinya seseorang akan senantiasa menjaga ucapan sehingga ucapannya tidak merugikan, menyinggung, dan menyakitkan bagi oranglain, dan tidak berdampak negatif pada dirinya sendiri. Etika sosial tentu dibangun dari komunikasi, dan komunikasi yang baik adalah seperti yang telah di jelaskan.
Poin terakhir dari lima latihan moral adalah, menahan diri dari minum ― minuman keras atau memabukan yang dapat melemahkan kesadaran. Seseorang diminta untuk selalu memiliki kesadaran, sadar dari apa yang ia lakukan, baik melalui ucapan, pikiran, dan perbuatan tubuh jasmani, sehingga ia akan senantiasa menghindari minuman yang menyebabkan mabuk. Seseorang yang senang mabuk sudah barang pasti lingkungannya akan terisi juga dengan orang-orang yang seperti itu, dan lingkungan yang seperti itu merupakan lingkungan yang tidak baik. Ketika seseorang memiliki citra diri yang tidak baik atas lingkungan pergaulannya, maka ketia ia memasuki kelompok lainnya, ia akan mendapatkan kesulitan, karena latar belakang dia sebelumnya. Demikianlah, ketika seseorang ingin diterima dalam suatu lingkungan, orang tersebut haruslah memiliki etika sosial dimana ia memiliki pergaulan yang baik dan tidak merugikan bagi orang banyak.
            Selain itu, dengan seseorang melatih dan melaksanakan kelima latihan moral tersebut, ia akan bersamaan mengikis keserakahan, kebencian, dan kebodohan. Menjadi demikian karena, sumber permasalahan dari tidak terlatihnya kelima hal tersebut adalah kebencian, keserakahan dan kebodohan, yang tentu sudah mengendap lama dalam diri seseorang. 

KESIMPULAN
Menjadi suatu keharusan bagi makhluk sosial adalah memiliki etika dalam bersosialisasi. Memiliki etika bukan hanya ketika kita tau teori-teori tersebut, tetapi jauh dari itu adalah ketika kita mampu memperaktikan. Bukan sekedar ilmu atau ajaran yang diharapkan dalam hal ini, melainkan tindakan yang nyata yang setiap orang butuhkan dalam kehidupan. Karena dengan tindakan nyata yang seseorang lakukan, orang lain yang melihatnya akan mengetahui dan menjadi bukti atas tindakan-tindakannya. Bahkan ketika kita merasa kesulitan untuk melakukan sesuatu, misalnya kita tidak mampu untuk mengatasi sampah yang menumpuk di sungai-sungai dan kali, cara sederhana adalah kita berusaha untuk tidak membuang sampah secara sembarangan, mulai dari pribadi dan keluarga, memanfaatkan sampah-sampah yang masih berguna dan menyortir sampah-sampah yang tidak layak, sehingga kita akan mengurangi sampah yang menumpuk tidak karuan, walupun hanya sedikit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar