ETIKA SOSIAL BUDDHIS
MENGACU PADA
TULISAN TAVIVAT PUNTARIGVIVAT YANG BERJUDUL "THOWARD
A BUDDHIST SOCIAL ETHICS: THE CASE OF THAILAND"
PENDAHULUAN
Memandang Buddhisme sebagai agama yang anti sosial dan
hanya mementingkan kepentingan pribadi tidaklah salah, tergantung dari mana orang tersebut memandang Buddhisme dalam
membangun hubungan sosial. Kritikan terhadap Buddhisme sebagai agama yang hanya
mementingkan keselamatan pribadi dan tidak memiliki etika sosial mungkin tampak
benar. Namun ketika prinsip-prinsip dalam Buddhisme, terlebih lagi dalam hal
pembebasan ― dapat ditafsirkan dan diperluas ke teori etika sosial, sudah
barang tentu Buddhisme memiliki etika dalam hubungan sosial.
Etika sosial diartikan sebagai peraturan
yang dianut oleh suatu tatanan sosial,
yang merupakan hasil kreasi manusia yang diciptakan dengan tujuan untuk menjaga
hubungan suatu masyarakat yang baik dan harmonis. Etika sosial juga dikatakan sebagai cara pandang untuk membangun
kepedulian terhadap suatu permasalahan yang terjadi dalam suatu masyarakat, dan
digunakan sebagai dasar bagi seseorang untuk lebih berperan dalam tindakan
sosial, bukan sekedar pada tindakan
individual atau religius saja. Pada bagian ini Buddhisme dituntut untuk
memiliki peranan lebih terhadap permasalahan umum yang ada, tidak hanya pada
pembebasan pribadi dengan tujuan kebagaiaan pribadi. Dalam Buddhisme banyak
aspek yang akan ditemukan, dimana aspek-aspek tersbut bisa diterapkan untuk
membangun etika sosial Buddhis. Misalnya saja Metta, Karuna, Mudita, Upekkha, Sacca, dan lain sebagainya. Tentu
hal-hal tersebut bersifat lebih pada tindakan nyata, bukan hanya sekedar teori
atau bahkan hanya sekedar tahu. Misalnya saja ketika seseorang lapar, yang
dibutuhkan bukan teori bagaimana orang tersebut bisa kenyang, namun yang lebih
dibutuhkan adalah makanan yang bisa membuat orang tersebut kenyang. Selain
hal-hal tersebut etika Buddhis yang paling mendasar dapat juga kita temukan
pada lima latihan moral (pañcasīla).
Sekilas jika kita pandang isi dari lima latihan ini hanya mengarah pada diri
sendiri, hanya untuk kebahagiaan dan keuntungan pribadi, bukan terhadap
kepentingan diluar diri. Lalu mengapa lima latihan moral ini dapat dikatakan
sebagai dasar etika sosial yang dimiliki Buddhisme?
Pañcasīla Sebagai
Dasar Etika Sosial dalam Buddhisme
Buddhisme memandang permasalahan mendasar yang menjadi
penyebab dari penyimpangan sosial adalah keserakahan, kebencian, dan
ketidaktahuan/kebodohan. Keserakahan yang tersistematis dapat kita temukan
dalam sistem ekonomi saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kasus
di Thailand, dimana jutaan petani tersingkir dari lahan pertaniaannya akibat
perkembangan pembangunan yang mengambil lahan pertanian mereka, hal itulah yang
mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan bertambah.
Untuk mengatasi keserakahan, kebencian, dan
ketidaktahuan/kebodohan yang menjadi dasar atas penyimpangan yang terjadi,
seseorang diarahkan untuk merupah prilaku dan cara hidup mereka, namun hal itu
tidak cukup. Merubah sistem yang ada pada lingkungan mereka juga diperlukan. Untuk
itul lima latihan moral yang menjadi dasar dari etika Buddhis diperlukan.
Poin pertama dari lima latihan moral dalam Buddhisme
adalah, menahan diri dari membunuh makhluk hidup, dalam hal ini mencangkup
tindakan yang merugikan makhluk lain. Dengan seseorang memiliki sikap untuk
tidak membunuh dan menyakiti makhluk lain, secara tidak langsung orang tersebut
turut andil dalam menjaga perdamaian, dan pelestarian atas keberlangsungan
hidup suatu makhluk. Lalu bagaimana seseorang bersikap dan memiliki etika
sosial dengan ia memiliki latihan yang pertama ini? Ketika seseorang memilih
utuk tidak membunuh dan menyakiti makhluk lain, tidakan yang harus ia miliki
adalah menjaga dan menghormati setiap kehidupan yang ada, termasuk binatang
kecil sekalipun. Misalnya dengan melindungi hewan-hewan yang terancam punah,
dan melestarikan hutan lindung yang banyak terdapat hewan didalamnya. Tindakan
terhadap manusia misalnya dengan cara menghindari penyiksaan terhadap para
pembantu, tahanan-tahanan, dan penyiksaan terhadap anak-anak, sehingga
berkurangnya pelanggaran hak asasi manusia. Dengan hal demikianlah seseorang
semestinya bertindak, ketia ia benar-benar melatih untuk tidak membunuh dan
menyakiti makhluk lain. Untuk itu, etika sosial yang pertama dalam buddhisme
adalah menghargai setiap kehidupan yang ada dan berusha melindungi kehidupan
tersebut, dengan tidak adanya keserakahan, kebencian, dan kebodohan didalamnya.
Poin kedua dari lima latihan moral dalam buddhisme
adalah, menahan diri dari tindakan mengambil barang yang bukan milik kita,
tidak diberikan, atau mencuri. Memandang hal ini, seseorang diarahkan untuk
menghargai kepemilikan orang lain. Korupsi yang sudah melaten dalam banyak
lembaga merupakan penyakit yang tersistematis, terpola, dan menjadi suatu yang
biasa. Dengan hal tersebutlah banyak rakyat yang dirugikan, dan dirampas secara
tidak langsung. Selain itu, perusakan hutan seperti penebangan pohon
sembarangan menyakibatkan lingkungan dan ekologi dunia menjadi berantakan,
sehingga mengakibatkan kerugian bagi generasi mendatang. Tindakan nyata dari
latihan yang kedua ini adalah, ketika seseorang menghindari pencurian, orang
tersebut akan berusaha untuk melindungi milik orang lain, termasuk menjaganya.
Misalnya ketika seseorang tidak dapat menanam pohon ― melakukan penghijauan,
yang dilakukan adalah menjaga pohon-pohon yang ada, dengan tidak menebang atau
merusaknya. Dan ketia setiap orang menghargai milik orang lain, terlebih
menjaga dan merawatnya, maka kehidupan ini akan terasa damai, itulah sikap
etika sosial yang kedua alam Buddhisme, membangun kepedulian terhadap pihak
luar, dengan tidak merampas milik orang lain, atau merusaknya.
Poin ketiga dari lima latihan moral adalah menahan
diri dari perbuatan asusila, atau pelecehan seksual. Prostitusi telah menjadi
pelanggaran yang tersistematis dalam hal ini. Bukan hanya pada kalangan
masyarakat kota, namun terjadi juga pada kalangan masyarakat desa. Seseorang
yang melatih menahan diri dari perbuatan asusila, hendaknya berusaha untuk
menghargai pasangan masing-masing dan mengedepankan kesetiaan. Banyak sebab
terjadi prostitusi, faktor kesejahteraan ekonomi suatu daerah mendorong juga
terjadinya hal ini, tidak ada cara lain untuk memperoleh penghasilan membuat
seseorang berada dalam pilihan ini. Untuk itu membangun kesejahteraan pada
suatu daerah, dan menegakan hukum yang ada atas pelanggaran ini, merupakan cara
untuk mengurasi prostitusi yang telah ada dan tersistematis, dengan demikian
tekanan yang ada pada wanita sebagai korban akan berkurang. Hal demikian yang
dikatakan etika sosial dalam Buddhis yang bertujuan untuk membangun sifat
menghargai antar sesama dan membangun kerukunan.
Poin keempat dari lima latihan moral adalah, menahan
diri dari ucapan salah, berbohong, dan dalam hal ini termasuk berkata kasar dan
mencela. Dalam hal ini sering kali kita temukan para politikus-politikus yang
pada awalnya hanya mengumbar janji dan tidak sampai benar-benar memperjuangkan
apa yang dijanjikannya. Pada dasarnya ketika seseorang memilih untuk menjaga
ucapannya, maka ketika ia berucap ia akan mempertimbangkan apakah ucapannya
sesuai, apakah akan menyinggung perasaan orang lain, dan banyak pertimbangan
lainnya. Artinya seseorang akan senantiasa menjaga ucapan sehingga ucapannya
tidak merugikan, menyinggung, dan menyakitkan bagi oranglain, dan tidak
berdampak negatif pada dirinya sendiri. Etika sosial tentu dibangun dari
komunikasi, dan komunikasi yang baik adalah seperti yang telah di jelaskan.
Poin terakhir dari lima latihan moral adalah, menahan
diri dari minum ― minuman keras atau memabukan yang dapat melemahkan kesadaran.
Seseorang diminta untuk selalu memiliki kesadaran, sadar dari apa yang ia
lakukan, baik melalui ucapan, pikiran, dan perbuatan tubuh jasmani, sehingga ia
akan senantiasa menghindari minuman yang menyebabkan mabuk. Seseorang yang
senang mabuk sudah barang pasti lingkungannya akan terisi juga dengan
orang-orang yang seperti itu, dan lingkungan yang seperti itu merupakan
lingkungan yang tidak baik. Ketika seseorang memiliki citra diri yang tidak
baik atas lingkungan pergaulannya, maka ketia ia memasuki kelompok lainnya, ia
akan mendapatkan kesulitan, karena latar belakang dia sebelumnya. Demikianlah,
ketika seseorang ingin diterima dalam suatu lingkungan, orang tersebut haruslah
memiliki etika sosial dimana ia memiliki pergaulan yang baik dan tidak
merugikan bagi orang banyak.
Selain itu, dengan seseorang melatih
dan melaksanakan kelima latihan moral tersebut, ia akan bersamaan mengikis
keserakahan, kebencian, dan kebodohan. Menjadi demikian karena, sumber
permasalahan dari tidak terlatihnya kelima hal tersebut adalah kebencian,
keserakahan dan kebodohan, yang tentu sudah mengendap lama dalam diri
seseorang.
KESIMPULAN
Menjadi suatu keharusan bagi makhluk sosial adalah
memiliki etika dalam bersosialisasi. Memiliki etika bukan hanya ketika kita tau
teori-teori tersebut, tetapi jauh dari itu adalah ketika kita mampu
memperaktikan. Bukan sekedar ilmu atau ajaran yang diharapkan dalam hal ini,
melainkan tindakan yang nyata yang setiap orang butuhkan dalam kehidupan.
Karena dengan tindakan nyata yang seseorang lakukan, orang lain yang melihatnya
akan mengetahui dan menjadi bukti atas tindakan-tindakannya. Bahkan ketika kita
merasa kesulitan untuk melakukan sesuatu, misalnya kita tidak mampu untuk
mengatasi sampah yang menumpuk di sungai-sungai dan kali, cara sederhana adalah
kita berusaha untuk tidak membuang sampah secara sembarangan, mulai dari
pribadi dan keluarga, memanfaatkan sampah-sampah yang masih berguna dan
menyortir sampah-sampah yang tidak layak, sehingga kita akan mengurangi sampah
yang menumpuk tidak karuan, walupun hanya sedikit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar