Minggu, 12 Oktober 2014

LATAR BELAKANG SOSIAL, AGAMA, DAN POLITIK DI INDIA PADA MASA BUDDHA HIDUP Mengacu pada Cankī Sutta – Majjhima Nikāya

LATAR BELAKANG SOSIAL, AGAMA, DAN POLITIK DI INDIA
PADA MASA BUDDHA HIDUP
Mengacu pada Cankī Sutta – Majjhima Nikāya
Oleh: Sāmaṇera Yogi Guṇavaro Guṇapiyo

Pendahuluan
Menjadi sesuatu yang sangat penting bagi suatu bangsa atau bahkan agama untuk mengetahu latar belakang dari perkembangan bangsanya. Terlebih lagi dalam hal ini untuk mengetahu latar belakang sosial, agama, dan politik pada suatu bangsa, khususnya india. India sebagai negara asal dimana Agama Buddha pernah berkembang memiliki latar belakang yang membangunnya. Pada zaman dimana Buddha masih hidup India memiliki kehidupan sosial, agama, dan politik yang berbeda dengan yang sekarang. Keadaan yang masih berupa kerajaan, dan kental dengan budaya petapaan menjadi warna dalam kehidupan India pada saat itu. Untuk meninjau latar belakang tersebut kita dapat melihatnya dalam beberapa sutta yang telah Buddha paparkan, salah satunya adalah cankī sutta dari majjhima nikāya. Dalam sutta tersebut kita dapat menemukan gambaran dari keadaan sosial, agama, dan politik pada saat sutta itu dipaparkan, atau pada masa dimana Buddha masih hidup.


Latar Belakang Cankī Sutta
Cankī adalah seorang brahmana dari Desa Opāsāda yang datang menemui Buddha dengan banyak orang. Di antara pengikutnya adalah seorang brahmana muda bernama Kāpāṭika. Brahmana muda tersebut terlibat percakapan dengan Buddha mengenai ‘Tiga Veda.’[1]

Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial suatu masyarakat merupakan kenyataan yang benar-benar ada dalam kehidupan ini. Terbentuk secara sengaja atau tidak, kehidupan sosial suatu masyarakat terus berkembang. Kata sosial sendiri memiliki banyak arti. Menurut beberapa ahli sperti Lewis menyatakan bahwa; ‘sosial adalah sesuatu yang dicapai, dihasilkan, dan ditetapkan dalam interaksi sehari-hari antara warga negara dengan pemerintahnya.’[2] Latar belakang kehidupan sosial pada masa Buddha hidup dapat kita tinjau pada Cankī Sutta. Ada beberapa kutipan sutta tersebut yang dapat kita ambil gambaran kehidupan sosial di masa itu. Dari beberapa kutipan dapat dilihat pembagian kehidupan sosial suatu masyarakat dapat di kelompokan menjadi beberapa bagian.

1.      Kasta
"Pergilah kamu kepada orang-orang awam brahmana Opasa­da itu dan katakan kepada mereka: 'Saudara-saudara, Brahmana Canki berkata….”
Pada  waktu itu ada lima ratus orang brahmana penda­tang yang berasal dari berbagai negara yang tinggal di Opasada….”[3]

Pertama dapat dilihat dari kutipan Suta di atas, bahwa pada masa Buddha masih hidup sitem kasta sangatlah kuat. Kelompok sosial masyarakat pada saat itu dikelompokkan menjadi beberapa bagian yang dinamakan kasta, dan dari setiap kasta yang ada memiliki peranan yang berbeda, serta kewajiban dan hak yang berbeda.

a.     Kasta Brahmana, orang yang mengabdikan dirinya dalam urusan bidang spiritual, sulinggih, pandita, dan rohaniawan. Disandang oleh para pribumi.
b.  Kasta Ksatria, para kepala dan anggota lembaga pemerintahan. Seseorang yang menyandang gelar ini tidak memiliki harta pribadi semua harta milik negara.
c.     Kasta Waisya, orang yang telah memiliki pekerjaan dan harta benda sendiri. Petani & nelayan.
d.      Kasta Sudra, pelayan bagi ketiga kasta di atasnya.[4]

Dari hal tersebutlah kita dapat melihat bahwa tingakatan masyarakat sangatlah berpengaruh. Seseorang dapat dinyatakan sebagai Brahmana jika terlahir dari keluarga brahmana, dan seterusnya, artinya status sosial mereka ditentukan ketika merka lahir, bukan bagaimana kepandaian mereka, atau cara mereka melakukan suatu kesuksesan dalam hidup.
Dari sistem kasta yang ada, maka timbul pandangan pada kehidupan sosial saat itu, bahwa seseorang yang berada pada kasta yang tinggi, tidaklah pantas untuk menjumpai seseorang yang berada pada kasta yang renda. Keturunan seorang kasta brahmana tidaklah pantas untuk datang menemui keturunan murni seorang kasta ksatria atau yang berada di bawahnya. Hal ini dapat dibuktikan dari kutipan cankī sutta:

"Saudara, jangan pergi menemui Samana Gotama. Tidak pantas bagi anda untuk pergi menemuinya; adalah pantas apabila Samana Gotama yang datang menemuimu. Sebab anda telah dilahirkan dari kedua belah pihak keturunan yang baik, dari tujuh keturunan murni, garis keturunanmu tidak dapat sangkal dan tak tercela. Karena itu, maka tidak pantas bagi anda untuk pergi menemui Samana Gotama. Tetapi lebih layak Samana Gotama yang datang menemuimu.”[5]
Kutipan tersebut berkaitan dengan brahmana Cankī yang berkeinginan untuk menemui Samana Gotama yang berasal dari kasta ksatria, sedangkan brahmana Cankī adalah seorang keturunan murni dari kasta brahmana.
2.      Pengetahuan/Pendidikan
Tingkatan pengetahuan yang dimiliki seseorang pada masa Buddha hidup, turut menentukan tataran kehidupan sosial mereka pada masa itu. Seseorang yang terpelajar dan pintar tidak lah pantas menemui orang yang berada di bawahnya, dan tidak patut untuk dicela. Dari hal tersebut juga kita dapat melihat bahwa tingkat pendidikan pada masa itu sudah berkembang, dan sudah terpelajar. Bukti bahwa tingkat pendidikan telah maju dan berkembang ada pada kutipan sutta:

“saudara,… ahli dalam filologi, tata bahasa,… ahli dalam filosofi alam...”

“…engkau mengajar para guru orang banyak, … mengajarkan hafalan hymne kepada tiga ratus siswa brahmana…”[6]

Dari dua kutipan di atas dapat kita lihat, bahwa brahmana Cankī adalah orang yang terpelajar, dan bukti ia mengajar siswa brahmana membuktikan bahwa pada masa itu kepedulian terhadap pendidikan sudah mulai dibangun dan ada, sistem sekolah sudah ada.

3.      Moralitas
Seseorang dapat menjadi di agungkan dan dipuji bedasarkan moralitas yang ia miliki. Hal ini menunjukan bahwa pada masa itu penilaian bedasarkan moralitas dalam kehidupan sosial sudah mulai ada, orang yang memiliki moralitas yang baik akan diagungkan, sebaliknya yang moralitasnya rendah walaupun seorang brahmana tidak akan mendapat pengakuan atau diagungkan.

“engkau, tuan, sungguh luhur, matang dalam moralitas, memiliki moralitas yang matang. … pembicara yang baik dengan penyampaian yang baik, … menyampaikan kata-kata yang sopan, jelas, tanpa cacat, dan mengkomunikasikan maknanya.”[7]

4.      Penampilan
Seseorang dapat dipandang luhur dan agung juga dapat dilihat dari sisi penampilan atau fisiknya. Orang yang memiliki fisik yang baik menjadi diagungkan, terlebih lagi ketika ia ada dalam kasta brahmana. Dari fisik yang baik dan penampilan yang baik, ia memiliki kedudukan sosial yang tinggi.

“engkau tuan, sungguh tampan, elok, dan anggun, memiliki keindahan kulit yang agung, sungguh luar biasa untuk dipandang.”[8]

Kehidupan Politik
Sebelum kita membahas kehidupan politik pada masa Buddha hidup, terlebih dahulu kita lihat beberapa kutipan dalam cankī sutta yang berkaitan dengan kehidupan politik pada masa itu.

“… brahmana Cankī sedang berkuasa di Opasāda ….”

“engkau, tuan, … ditinggikan oleh Raja Pasenadi dari kosala. … ditinggikan oleh brahmana Pokkharasatī. Engkau tuan, memerintah Opasāda, … anugerah sakral dari Rasa Pasenadi dari Kosala …”[9]

Dari kutipan diatas dapat kita ketahui, bahwa sistem politik atau pemerintahan pada masa Buddha hidup adalah berupa kerajaan. Pada waktu itu dikatakan Raja Pasenadi yang berkuasa atas Kosala yang sedang memimpin. Selain ada seorang raja yang berkuasa atas suatu daerah, pada masa itu sebagian brahmana diberikan hak atau kekuasaan untuk memimpin suatu wilayah, kekuasaan yang dimiliki brahmana tersebut bersifat pemberian, yaitu pemberian dari seorang raja. Sehingga tidak hanya satu brahmana yang memiliki kekuasaan untuk memimpin suatu wilayah, tetapi ada banyak brahmana, seperti yang telah kita temukan dalam kutipan sutta di atas bawa adanya brahmana Cankī dan brahmana Pokkharasatī, yang memiliki kekuasaan atas anugerah yang telah diberikan oleh Raja Pasenadi. Dapat disimpulkan bahwa kehidupan politik pada saat itu adalah bersifat kerajaan, dan mungkin pada saat itu ada suatu wilayah-wilayah kecil yang di berikan oleh raja kepada kaum brahmana dan diberikan hak untuk memiliki kekuasaan atas wilayah tersebut. Tetapi bisa saja kekuasaan yang dimaksudkan pada kutipan sebelumnya hanya bersifat simbolik, bukan berarti ia memiliki kekuasaan atas suatu wilayah.

Kehidupan Agama
Kehidupan Agama mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan kehidupan suatu masyarakat. Agama atau kepercayaan pasti ada dan dimiliki oleh setiap orang dalam suatu kelompok masyarakat. Seiring berkembangnya masyarakat, maka kehidupan agama yang ada didalamnya akan ikut berkembang juga. Melihat tentang kehidupan agama yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan suatu masyarakat, pada pembahasan ini akan dibahas mengenai kehidupan Agama atau suatu kepercayaan yang berkembang di India pada masa Buddha hidup.
Ada beberapa kutipan dalam cankī sutta yang menggambarkan kehidupan agama dan kepercayaan pada masa ketika Buddha hidup, kutipan tersebut adalah;

“Engkau, tuan, adalah pakar dari Tiga Veda dengan kosakatanya, ….”
“brahmana bernama Kāpaṭhika. …dia adalah pakar dari Tiga Veda, ….”
Kutipan pertama adalah tentang para Brahmana yang mempertanyakan kepada Brahmana Cankī perihal keinginannya bertemu Buddha. Kemudian para Brahmana memberikan pernyataan bahwa brahmana Cankī sebagai pakar dari Tiga Veda tidaklah pantas untuk menjumpai Buddha. Lalu kutipan kedua mengenai seorang siswa brahmana bernama Kāpaṭhika yang masih berumur enam belas tahun, namun mahir dalam Tiga Veda.
Bedasarkan kutipan tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa, pada masa Buddha hidup sudah dikenal kepercayaan mengenai Tiga Veda. Tiga Veda merupakan kepercayaan yang di anut oleh kaum Brahmana, yang dimana digunakan juga sebagai landasan kepercayaan masyarakat India pada waktu itu. Tiga Veda bisa dikatakan juga sebagai agama asli dari masyarakat India. Kitab-kitab Veda terdiri dari tiga pengelompokkan dan masing-masing kelompok itu terdiri dari sejumlah besar atau kecil mantra-mantra yang diterima oleh para Rsi baik secara individual maupun secara bersama-sama dalam kelompok Gotra. Sebagian mantra-mantra itu dapat diselamatkan dan sebagian lagi hilang dalam perjalanan waktu. Pengelompokkan ini adalah :

1. Samhita, yakni himpunan mantra-mantra Veda yang mengandung Upasana (doa kebaktian, pemujaan, ucapan-ucapan syukur, petunjuk upacara korban), ajaran filsafat dan lain-lain.
2.    Brahmana, yakni uraian yang panjang tentang ketuhanan/teologi teristimewa observasi tentang jalannya upacara korban atau mistis dari upacara korban yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun upacara-upacara besar lainnya.
3.   Aranyaka dan Upanisad. Yang pertama berarti buku hutan dan yang kedua artinya ajaran yang bersifat rahasia, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kitab-kitab ini.[10]

Demikianlah kehidupan agama dan kepercayaan pada masa Buddha hidup, dimana Tiga Veda adalah kepercayaan yang berkembang pada saat itu, dan hingga kini menjadi dasar atau agama asli dari masyarakat India.


Kesimpulan
            Dari pembahasan yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat kita simpulkan masa dimana Buddha hidup bukanlah suatu masa yang sangat primitif, tetapi pada masa itu kehidupan masyarakat sudah mulai terpola dan memiliki struktur kehidupan yang cukup baik pada masanya. Tingkat kepedulian masyarakat pada masa itu juga sudah muncul, hal ini dapat dibuktikan dalam cankī sutta yang menyatakan pada masa itu, brahmana Cankī merupakan seorang guru pengajar daripada brahmana. Dari bukti tersebutlah menunjukan bahwa kehidupan masyarakat India pada masa Buddha hidup sudah mulai mengarah pada kemajuan, bukan sebagai masyarakat primitif. Selain itu sisi ekonomi yang ada pada masyarakat tersbut dapat tergolong maju, dimana adanya orang-orang sukses dan kaya raya yang ditemukan, misalnya saja brahmana Cankī sendiri, walaupun hal demikian tidak menutup kemungkinan adanya juga kaum yang miskin atau kesusahan. Mengenai hubungan sosial yang dibangun, disini masih adanya kesenjangan karena adanya sistem kasta, yang pada akhirnya membagi-bagi kelompok masyarakat dengan batasan-batasan yang ada, hal demikian menimbulkan kesenjangan sosial. Demikianlah kesimpulan yang dapat diberikan, yang pada intinya adalah kehidupan masyarakat pada saat itu sudah mulai mengarah pada perkembangan, bukan sebagai masyarakat yang primitif, dapat di golongkan maju, karena adanya para ahli dalam bidang tertentu pada masa itu.


[1] U Ko Lay (alih bahasa: Dra. Lanny Anggawati & Dra. Wena Cintiawati). 2007. Guide to Tipiṭaka (Panduan Tipiṭaka). Wisma Sambodhi, Klaten.
[2] http://dilihatya.com/852/pengertian-sosial-menurut-para-ahli
[3] Ñānamoli Bhikkhu & Bhikkhu Bodhi (diterjemahkan dari bahasa inggris oleh: Dra. Lanny Anggawati & Dra. Wena Cintiawati). 2008.  The Middle Length Discourses og the Buddha (Majjhima Nikāya Kitab Suci Agama Buddha). Wisma Sambodhi, Klaten.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Kasta
[5] Ñānamoli Bhikkhu & Bhikkhu Bodhi (diterjemahkan dari bahasa inggris oleh: Dra. Lanny Anggawati & Dra. Wena Cintiawati). 2008.  The Middle Length Discourses og the Buddha (Majjhima Nikāya Kitab Suci Agama Buddha). Wisma Sambodhi, Klaten.
[6] Ñānamoli Bhikkhu & Bhikkhu Bodhi (diterjemahkan dari bahasa inggris oleh: Dra. Lanny Anggawati & Dra. Wena Cintiawati). 2008.  The Middle Length Discourses og the Buddha (Majjhima Nikāya Kitab Suci Agama Buddha). Wisma Sambodhi, Klaten.
[7] Ñānamoli Bhikkhu & Bhikkhu Bodhi (diterjemahkan dari bahasa inggris oleh: Dra. Lanny Anggawati & Dra. Wena Cintiawati). 2008.  The Middle Length Discourses og the Buddha (Majjhima Nikāya Kitab Suci Agama Buddha). Wisma Sambodhi, Klaten.
[8] Ñānamoli Bhikkhu & Bhikkhu Bodhi (diterjemahkan dari bahasa inggris oleh: Dra. Lanny Anggawati & Dra. Wena Cintiawati). 2008.  The Middle Length Discourses og the Buddha (Majjhima Nikāya Kitab Suci Agama Buddha). Wisma Sambodhi, Klaten.
[9] [9] Ñānamoli Bhikkhu & Bhikkhu Bodhi (diterjemahkan dari bahasa inggris oleh: Dra. Lanny Anggawati & Dra. Wena Cintiawati). 2008.  The Middle Length Discourses og the Buddha (Majjhima Nikāya Kitab Suci Agama Buddha). Wisma Sambodhi, Klaten.
[10] Winternitz, Moriz. 2003. A History of Indian Literature, Volume I. Narendra Prakash Jain, Delhi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar