LATAR BELAKANG SOSIAL, AGAMA,
DAN POLITIK DI INDIA
PADA MASA BUDDHA HIDUP
Mengacu
pada Cankī Sutta – Majjhima Nikāya
Oleh: Sāmaṇera Yogi Guṇavaro Guṇapiyo
Pendahuluan
Menjadi sesuatu yang sangat penting bagi suatu bangsa atau
bahkan agama untuk mengetahu latar belakang dari perkembangan bangsanya.
Terlebih lagi dalam hal ini untuk mengetahu latar belakang sosial, agama, dan
politik pada suatu bangsa, khususnya india. India sebagai negara asal dimana
Agama Buddha pernah berkembang memiliki latar belakang yang membangunnya. Pada
zaman dimana Buddha masih hidup India memiliki kehidupan sosial, agama, dan
politik yang berbeda dengan yang sekarang. Keadaan yang masih berupa kerajaan,
dan kental dengan budaya petapaan menjadi warna dalam kehidupan India pada saat
itu. Untuk meninjau latar belakang tersebut kita dapat melihatnya dalam
beberapa sutta yang telah Buddha
paparkan, salah satunya adalah cankī
sutta dari majjhima nikāya. Dalam
sutta tersebut kita dapat menemukan gambaran dari keadaan sosial, agama, dan
politik pada saat sutta itu
dipaparkan, atau pada masa dimana Buddha masih hidup.
Latar Belakang Cankī Sutta
Cankī adalah
seorang brahmana dari Desa Opāsāda yang datang menemui Buddha dengan banyak
orang. Di antara pengikutnya adalah seorang brahmana muda bernama Kāpāṭika.
Brahmana muda tersebut terlibat percakapan dengan Buddha mengenai ‘Tiga Veda.’[1]
Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial suatu masyarakat merupakan kenyataan yang
benar-benar ada dalam kehidupan ini. Terbentuk secara sengaja atau tidak,
kehidupan sosial suatu masyarakat terus berkembang. Kata sosial sendiri
memiliki banyak arti. Menurut beberapa ahli sperti Lewis menyatakan bahwa;
‘sosial adalah sesuatu yang dicapai, dihasilkan, dan ditetapkan dalam interaksi
sehari-hari antara warga negara dengan pemerintahnya.’[2] Latar
belakang kehidupan sosial pada masa Buddha hidup dapat kita tinjau pada Cankī Sutta. Ada beberapa kutipan sutta tersebut yang dapat kita ambil
gambaran kehidupan sosial di masa itu. Dari
beberapa kutipan dapat dilihat pembagian kehidupan sosial suatu masyarakat
dapat di kelompokan menjadi beberapa bagian.
1.
Kasta
"Pergilah kamu kepada orang-orang awam brahmana Opasada itu dan
katakan kepada mereka: 'Saudara-saudara, Brahmana Canki berkata….”
“Pada waktu itu ada lima ratus
orang brahmana pendatang yang berasal dari berbagai negara yang tinggal di
Opasada….”[3]
Pertama
dapat dilihat dari kutipan Suta di atas, bahwa pada masa Buddha masih
hidup sitem kasta sangatlah kuat. Kelompok sosial masyarakat pada saat itu
dikelompokkan menjadi beberapa bagian yang dinamakan kasta, dan dari setiap
kasta yang ada memiliki peranan yang berbeda, serta kewajiban dan hak yang
berbeda.
a. Kasta Brahmana, orang yang mengabdikan dirinya dalam urusan bidang
spiritual, sulinggih, pandita, dan rohaniawan. Disandang oleh para pribumi.
b. Kasta Ksatria, para kepala dan anggota lembaga pemerintahan. Seseorang yang menyandang gelar ini
tidak memiliki harta pribadi semua harta milik negara.
Dari hal tersebutlah kita dapat melihat bahwa
tingakatan masyarakat sangatlah berpengaruh. Seseorang dapat dinyatakan sebagai
Brahmana jika terlahir dari keluarga brahmana, dan seterusnya, artinya status
sosial mereka ditentukan ketika merka lahir, bukan bagaimana kepandaian mereka,
atau cara mereka melakukan suatu kesuksesan dalam hidup.
Dari sistem kasta yang ada, maka timbul pandangan pada
kehidupan sosial saat itu, bahwa seseorang yang berada pada kasta yang tinggi,
tidaklah pantas untuk menjumpai seseorang yang berada pada kasta yang renda.
Keturunan seorang kasta brahmana tidaklah pantas untuk datang menemui keturunan
murni seorang kasta ksatria atau yang berada di bawahnya. Hal ini dapat
dibuktikan dari kutipan cankī sutta:
"Saudara, jangan pergi menemui Samana Gotama.
Tidak pantas bagi anda untuk pergi menemuinya; adalah pantas apabila Samana
Gotama yang datang menemuimu. Sebab anda telah dilahirkan dari kedua belah
pihak keturunan yang baik, dari tujuh keturunan murni, garis keturunanmu tidak
dapat sangkal dan tak tercela. Karena itu, maka tidak pantas bagi anda untuk
pergi menemui Samana Gotama. Tetapi lebih layak Samana Gotama yang datang
menemuimu….”[5]
Kutipan tersebut berkaitan dengan brahmana Cankī yang
berkeinginan untuk menemui Samana Gotama yang berasal dari kasta ksatria,
sedangkan brahmana Cankī adalah seorang keturunan murni dari kasta brahmana.
2.
Pengetahuan/Pendidikan
Tingkatan
pengetahuan yang dimiliki seseorang pada masa Buddha hidup, turut menentukan
tataran kehidupan sosial mereka pada masa itu. Seseorang yang terpelajar dan
pintar tidak lah pantas menemui orang yang berada di bawahnya, dan tidak patut
untuk dicela. Dari hal tersebut juga kita dapat melihat bahwa tingkat
pendidikan pada masa itu sudah berkembang, dan sudah terpelajar. Bukti bahwa
tingkat pendidikan telah maju dan berkembang ada pada kutipan sutta:
“saudara,…
ahli dalam filologi, tata bahasa,… ahli dalam filosofi alam...”
“…engkau
mengajar para guru orang banyak, … mengajarkan hafalan hymne kepada tiga ratus
siswa brahmana…”[6]
Dari dua kutipan di atas dapat kita lihat, bahwa brahmana Cankī adalah
orang yang terpelajar, dan bukti ia mengajar siswa brahmana membuktikan bahwa
pada masa itu kepedulian terhadap pendidikan sudah mulai dibangun dan ada,
sistem sekolah sudah ada.
3. Moralitas
Seseorang dapat menjadi di
agungkan dan dipuji bedasarkan moralitas yang ia miliki. Hal ini menunjukan
bahwa pada masa itu penilaian bedasarkan moralitas dalam kehidupan sosial sudah
mulai ada, orang yang memiliki moralitas yang baik akan diagungkan, sebaliknya
yang moralitasnya rendah walaupun seorang brahmana tidak akan mendapat
pengakuan atau diagungkan.
“engkau, tuan, sungguh luhur, matang dalam
moralitas, memiliki moralitas yang matang. … pembicara yang baik dengan
penyampaian yang baik, … menyampaikan kata-kata yang sopan, jelas, tanpa cacat,
dan mengkomunikasikan maknanya.”[7]
4. Penampilan
Seseorang dapat dipandang luhur
dan agung juga dapat dilihat dari sisi penampilan atau fisiknya. Orang yang
memiliki fisik yang baik menjadi diagungkan, terlebih lagi ketika ia ada dalam
kasta brahmana. Dari fisik yang baik dan penampilan yang baik, ia memiliki
kedudukan sosial yang tinggi.
“engkau tuan, sungguh tampan, elok, dan anggun,
memiliki keindahan kulit yang agung, sungguh luar biasa untuk dipandang.”[8]
Kehidupan Politik
Sebelum kita membahas kehidupan politik pada masa Buddha hidup, terlebih
dahulu kita lihat beberapa kutipan dalam cankī
sutta yang berkaitan dengan kehidupan politik pada masa itu.
“…
brahmana Cankī sedang berkuasa di Opasāda ….”
“engkau,
tuan, … ditinggikan oleh Raja Pasenadi dari kosala. … ditinggikan oleh brahmana
Pokkharasatī. Engkau tuan, memerintah Opasāda, … anugerah sakral dari Rasa
Pasenadi dari Kosala …”[9]
Dari kutipan diatas dapat kita
ketahui, bahwa sistem politik atau pemerintahan pada masa Buddha hidup adalah
berupa kerajaan. Pada waktu itu dikatakan Raja Pasenadi yang berkuasa atas
Kosala yang sedang memimpin. Selain ada seorang raja yang berkuasa atas suatu
daerah, pada masa itu sebagian brahmana diberikan hak atau kekuasaan untuk
memimpin suatu wilayah, kekuasaan yang dimiliki brahmana tersebut bersifat
pemberian, yaitu pemberian dari seorang raja. Sehingga tidak hanya satu
brahmana yang memiliki kekuasaan untuk memimpin suatu wilayah, tetapi ada
banyak brahmana, seperti yang telah kita temukan dalam kutipan sutta di atas bawa adanya brahmana Cankī
dan brahmana Pokkharasatī, yang memiliki kekuasaan atas anugerah yang telah
diberikan oleh Raja Pasenadi. Dapat disimpulkan bahwa kehidupan politik pada
saat itu adalah bersifat kerajaan, dan mungkin pada saat itu ada suatu
wilayah-wilayah kecil yang di berikan oleh raja kepada kaum brahmana dan
diberikan hak untuk memiliki kekuasaan atas wilayah tersebut. Tetapi bisa saja
kekuasaan yang dimaksudkan pada kutipan sebelumnya hanya bersifat simbolik,
bukan berarti ia memiliki kekuasaan atas suatu wilayah.
Kehidupan
Agama
Kehidupan Agama mempunyai
pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan kehidupan suatu masyarakat. Agama
atau kepercayaan pasti ada dan dimiliki oleh setiap orang dalam suatu kelompok
masyarakat. Seiring berkembangnya masyarakat, maka kehidupan agama yang ada
didalamnya akan ikut berkembang juga. Melihat tentang kehidupan agama yang
memiliki pengaruh terhadap kehidupan suatu masyarakat, pada pembahasan ini akan
dibahas mengenai kehidupan Agama atau suatu kepercayaan yang berkembang di
India pada masa Buddha hidup.
Ada beberapa kutipan dalam cankī
sutta yang menggambarkan kehidupan agama dan kepercayaan pada masa ketika
Buddha hidup, kutipan tersebut adalah;
“Engkau, tuan, adalah pakar dari Tiga Veda
dengan kosakatanya, ….”
“brahmana bernama Kāpaṭhika. …dia adalah pakar
dari Tiga Veda, ….”
Kutipan pertama adalah tentang para Brahmana yang mempertanyakan kepada
Brahmana Cankī perihal keinginannya bertemu Buddha. Kemudian para Brahmana
memberikan pernyataan bahwa brahmana Cankī sebagai pakar dari Tiga Veda
tidaklah pantas untuk menjumpai Buddha. Lalu kutipan kedua mengenai seorang
siswa brahmana bernama Kāpaṭhika yang masih berumur enam belas tahun, namun
mahir dalam Tiga Veda.
Bedasarkan kutipan tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa, pada masa
Buddha hidup sudah dikenal kepercayaan mengenai Tiga Veda. Tiga Veda merupakan
kepercayaan yang di anut oleh kaum Brahmana, yang dimana digunakan juga sebagai
landasan kepercayaan masyarakat India pada waktu itu. Tiga Veda bisa dikatakan
juga sebagai agama asli dari masyarakat India. Kitab-kitab Veda terdiri dari tiga pengelompokkan dan masing-masing kelompok itu
terdiri dari sejumlah besar atau kecil mantra-mantra yang diterima oleh para
Rsi baik secara individual maupun secara bersama-sama dalam kelompok Gotra.
Sebagian mantra-mantra itu dapat diselamatkan dan sebagian lagi hilang dalam
perjalanan waktu. Pengelompokkan ini adalah :
1. Samhita, yakni himpunan
mantra-mantra Veda yang mengandung Upasana (doa kebaktian, pemujaan, ucapan-ucapan
syukur, petunjuk upacara korban), ajaran filsafat dan lain-lain.
2. Brahmana, yakni uraian yang panjang
tentang ketuhanan/teologi teristimewa observasi tentang jalannya upacara korban
atau mistis dari upacara korban yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun
upacara-upacara besar lainnya.
3. Aranyaka dan Upanisad. Yang pertama berarti buku
hutan dan yang kedua artinya ajaran yang bersifat rahasia, yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kitab-kitab ini.[10]
Demikianlah kehidupan agama dan
kepercayaan pada masa Buddha hidup, dimana Tiga Veda adalah kepercayaan yang
berkembang pada saat itu, dan hingga kini menjadi dasar atau agama asli dari
masyarakat India.
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah
dijabarkan sebelumnya, dapat kita simpulkan masa dimana Buddha hidup bukanlah
suatu masa yang sangat primitif, tetapi pada masa itu kehidupan masyarakat
sudah mulai terpola dan memiliki struktur kehidupan yang cukup baik pada masanya.
Tingkat kepedulian masyarakat pada masa itu juga sudah muncul, hal ini dapat
dibuktikan dalam cankī sutta yang
menyatakan pada masa itu, brahmana Cankī merupakan seorang guru pengajar
daripada brahmana. Dari bukti tersebutlah menunjukan bahwa kehidupan masyarakat
India pada masa Buddha hidup sudah mulai mengarah pada kemajuan, bukan sebagai
masyarakat primitif. Selain itu sisi ekonomi yang ada pada masyarakat tersbut
dapat tergolong maju, dimana adanya orang-orang sukses dan kaya raya yang
ditemukan, misalnya saja brahmana Cankī sendiri, walaupun hal demikian tidak
menutup kemungkinan adanya juga kaum yang miskin atau kesusahan. Mengenai
hubungan sosial yang dibangun, disini masih adanya kesenjangan karena adanya
sistem kasta, yang pada akhirnya membagi-bagi kelompok masyarakat dengan
batasan-batasan yang ada, hal demikian menimbulkan kesenjangan sosial.
Demikianlah kesimpulan yang dapat diberikan, yang pada intinya adalah kehidupan
masyarakat pada saat itu sudah mulai mengarah pada perkembangan, bukan sebagai
masyarakat yang primitif, dapat di golongkan maju, karena adanya para ahli
dalam bidang tertentu pada masa itu.
[1] U Ko Lay (alih bahasa:
Dra. Lanny Anggawati & Dra. Wena Cintiawati). 2007. Guide to Tipiṭaka (Panduan Tipiṭaka). Wisma Sambodhi, Klaten.
[2] http://dilihatya.com/852/pengertian-sosial-menurut-para-ahli
[3] Ñānamoli Bhikkhu &
Bhikkhu Bodhi (diterjemahkan dari bahasa inggris oleh: Dra. Lanny Anggawati
& Dra. Wena Cintiawati). 2008. The
Middle Length Discourses og the Buddha (Majjhima Nikāya Kitab Suci Agama
Buddha). Wisma Sambodhi, Klaten.
[5] Ñānamoli Bhikkhu &
Bhikkhu Bodhi (diterjemahkan dari bahasa inggris oleh: Dra. Lanny Anggawati
& Dra. Wena Cintiawati). 2008. The
Middle Length Discourses og the Buddha (Majjhima Nikāya Kitab Suci Agama
Buddha). Wisma Sambodhi, Klaten.
[6] Ñānamoli Bhikkhu &
Bhikkhu Bodhi (diterjemahkan dari bahasa inggris oleh: Dra. Lanny Anggawati
& Dra. Wena Cintiawati). 2008. The
Middle Length Discourses og the Buddha (Majjhima Nikāya Kitab Suci Agama
Buddha). Wisma Sambodhi, Klaten.
[7] Ñānamoli Bhikkhu &
Bhikkhu Bodhi (diterjemahkan dari bahasa inggris oleh: Dra. Lanny Anggawati
& Dra. Wena Cintiawati). 2008. The Middle
Length Discourses og the Buddha (Majjhima Nikāya Kitab Suci Agama Buddha).
Wisma Sambodhi, Klaten.
[8] Ñānamoli Bhikkhu &
Bhikkhu Bodhi (diterjemahkan dari bahasa inggris oleh: Dra. Lanny Anggawati
& Dra. Wena Cintiawati). 2008. The
Middle Length Discourses og the Buddha (Majjhima Nikāya Kitab Suci Agama
Buddha). Wisma Sambodhi, Klaten.
[9] [9]
Ñānamoli Bhikkhu & Bhikkhu
Bodhi (diterjemahkan dari bahasa inggris oleh: Dra. Lanny Anggawati & Dra.
Wena Cintiawati). 2008. The Middle
Length Discourses og the Buddha (Majjhima Nikāya Kitab Suci Agama Buddha).
Wisma Sambodhi, Klaten.
[10] Winternitz, Moriz. 2003. A History of Indian Literature, Volume I.
Narendra Prakash Jain, Delhi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar