Oleh, Samanera Gunapiyo (Vihara Mendut| 29 November 2014)
Berawal dari setumpuk kardus. Suatu cerita datang pada saat
hari menjelang sore. Seorang pemuda yang nampak tidak muda dan tidak tua sedang
merasakan keletihannya. Ingin rasanya ia membaringkan badan pada saat itu.
Beberapa menit berlalu, apa daya mimpi tak sampai, tidur tak didapatnya. Rintik
hujan mulai turun, hembusan angin sejuk mulai menusuk, bingung dan jenuh mulai
terasa. Teringat akan tumpukan kardus, pemuda itu lekas bangkit dari
kekecewaannya yang gagal untuk memperoleh mimpi dalam tidurnya. Melihat ruangan
yang katanya kantor namun lebih pantas disebut gudang, nampak didalamnya
tumpukan kardus yang tak karuan, menumpuk semaunya, seolah berteriak untuk
segera dirapikan. Oleh pemandangan itulah bergegas si pemuda memulai panggilan
dari teriakan sang kardus.
Bersih, rapih, ayo! Itu yang muncul dalam benak si pemuda.
Namun siap sangka, dalam hati tulusnya ia juga berteriak, "dasar manusia,
menumpuk barang tak punya aturan, semaunya!" Sadar akan teriakan tersebut
si pemuda terhentak, hmmm.... disana ada 'aku', aku yang merapihkan, aku yang
merasa rapih. Sang aku mulai meraja, apalagi melihat hari-hari sebelumnya, hari
dimana si pemuda sedang merapihkan kardus-kardus tersebut, dan kini kembali
merapihkannya. 'Aku' ini sepeti jelangkung, yang datang tak diundang dan pulang
semaunya. Si pemuda dalam kucuran keringatnya bertarung dengan sang aku,
berusaha kembali pada tujuan awal, melakukan sesuatu yang tulus, yang spontan,
dan tanpa alih-alih mendapat pujian. Pertempuran itu mulai sengit kala sang
'angin' datang, angin yang selalu membuat semuanya berhamburan dan berantakan,
yang hanya merasa dirinya membawa kesejukan, namun ketika berlebihan, hancurlah
semua. Dua lawan satu, si pemuda mudai terdiam dalam batinnya, berusaha tetap
fokus dengan kegiatannya. Dalam hitunga satu, lima, dua, empat, dan tiga sang
angin mulai pergi, kini tinggal sang aku dan si pemuda. Lama cukup berlalu,
kardus mulai tertata, meski tertata dalam peperangan kardus-kardus mulai
terlihat indah, rapih, dan elok. Kemana sang aku?
Dalam kehidupan kita, sering kita menjumpai hal serupa,
dimana sang aku selalu datang tanpa diundang. Sang aku yang datang mulai kita
lawan. DIlawan dengan kekuatan agar ia cepat hilang dan pergi. Perlawanan yang
kita lakukan terkadang terasa lelah, dan tanpa ambil pusing kita mulai
meninggalkan perlawanan itu, berusaha tidak perduli dengan sang aku, saat
itulah, saat dimana sang aku pergi dengan semaunya. 'Aku' yang terkadang sulit
untuk kita tekan, malah menjadi mudah ketika kita tidak merespon kedatangannya,
tidak menganalisa maksud dan tujuannya. Apalagi saat kita melakukan pekerjaan
yang berguna, sang aku selalu datang. Saat dimana sang aku datang, berusahalah
tidak meresponnya, tetap pada pekerjaan kita, dan cukup sadari "oh sang
aku datang," dalam bahasa gaul di katakan 'as it has come to be.'
Demikianlah kita belajar dari tumpukan kardus.