(Oleh Sāmaṇera Guṇapiyo)
Attā hi attano nātho
Ko hi nātho paro siyā
Attanā hi sudantena
nāthaṁ labhati dullabhaṁ.
“Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi
dirinya sendiri,
Karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi
dirinya?
Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan
baik,
Ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh amat
sukar dicari.”
(Dhammapada:1)
Manusia
mana di dunia ini yang tidak ingin memiliki suatu kekuatan yang mampu
melindungi dirinya. Melindungi dari berbagai macam bahaya, ancaman, dan bahkan
bencana alam sekalipun. Dari keinginan itulah setiap orang berusaha mencari
yang namanya perlindungan – mencari kekuatan lebih, dan bukan lain untuk
memberikan rasa aman, bebas dari ketakutan, dan ketenangan bagi dirinya.
Orang-orang kaya mencari kekuatan untuk melindungi dengan cara membayar petugas
keamanan, satpam atau bodyguard. Para
pemimpin negara tentu memiliki juga pengamanan untuk melindunginya, di
Indonesia dikenal ‘Paspampres’ atau Pasukan pengawal presiden. Secara alami
ketika hujan manusia mencari perlindungan agar tidak basah karena air hujan.
Ketika panas manusia pada umumnya mencari tempat untuk berteduh dari terik matahari.
Menggunakan pakaian untuk melindungi tubuh, mengenakan alas kaki untuk
melindungi kaki, dan lain sebagainya. Namun apakah perlindungan itu bersifat
permanen? Apakah semua alat atau kekuatan tersebut mampu melindungi mereka dari
segala macam ancaman?
Dalam Dhammapada dikatakan “Attā hi attano nātho,” yang berarti “diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung
bagi diri sendiri.” Dalam hal inilah Buddhisme menekankan, bahwa
sesunggunya perlindungan atau kekuatan yang paling baik ada di dalam diri,
bukan di luar diri – di gunung-gungung, di gua-gua, atau di hutan-hutan. Lalu
bagaimana cara untuk membangun kekuatan untuk melindungi yang ada pada dalam
diri kita, membangun potensi yang sudah ada, menggembangkannya sehingga dapat
kita gunakan.
Pada Khuddakanikāya, Khuddakapāṭha - Nindhikaṇḍa
Sutta dikatakan “Yassa dānena sīlena,
saññamena damena ca, nidhi sunihito hoti, sabbametaṁ vinassati,” yang
berarti “harta karun berupa kebajikan
dengan berdana, bertata susila, dan dengan pencegahan dan penahanan diri dari
keburukan adalah pemendaman harta karun yang baik bagi wanita atau pun pria.”
Artinya ketika seseorang yang mampu melaksanakan kebajikan berupa dāna – sīla – samādhi maka ia akan mampu
membangun kekuatan untuk melindungi dirinya dari segala macam bencana. Sumber
dari kekuatan itu ada pada usaha gigih, semangat, dan pengembangan secara terus
menerus pada diri kita. Mengapa dengan melaksanakan dāna – sīla – samādhi dapat membangun kekuatan bagi diri kita?
Sehingga dapat melindungi dari berbagai macam ketakutan.
1.
Dāna
Dana berasal
dari bahasa pāḷi ‘Dāna’ yang berarti dana, amal, sedekah,
pemberian, atau hadiah. Kata dana dalam bahasa umum (Indonesia) diartikan juga
sebagai uang (modal). Dalam kegiatannya istilah dana disebut sebagai berdana,
atau yang dalam istilah Buddhis dikatakan melakukan suatu perbuatan baik, yang
dapat dilakukan melalui, perbuatan badan jasmani, pikiran, dan ucapan.
Dana
dalam Buddhisme dikategorikan sebagai landasan yang mendasar dan mempunyai
peranan yang sangat penting. Mengapa dana dikatakan sebagai landasan yang
mendasar, karena dana ini dapat kita temukan di berbagai macam pengelompokan
Dhamma, misalnya saja pada dasa-pāramī
atau pada dasa-puññakiriyavatthu. Praktik
berdana menjadi sangat mendasar karena dana sudah banyak dikenal, dan mudah
dilakukan, sehingga tidak menjadi asing pagi setiap orang. Dana menjadi mudah
dilakukan karena dana dapat dilakukan kapan saja, dimana saja, dan dalam waktu
apapun.
Karekteristik
dari berdana adalah pelepasan atau penyerahan. Artinya ketika dana dilakukan di
saat itulah ada unsur melepas, tidak terikat dengan apa yang diberikan, dan
tidak memikirkan kemana barang itu setelah diberikan, cukup melepas dengan
pikiran baik – penuh kegembiraan, dan tidak gelisan setelah memberikannya. Ada
juga beberapa karakteristik dimana dana
dikatakan sebagai dana yang baik. Pertama sebelum memberikan pikiran diisi
dengan pikiran yang baik, ada kesenangan dan kegembiraan. Kedua, saat
memberikan dilakukan dengan pikiran baik dan disertai kegembiraan dalam melakukannya.
Ketiga, setelah memberikan pikiran tetap diisi dengan pikiran yang baik, dan
penuh kesenangan karena telah melakukannya (memberi). Keempat, setelah beberapa
hari memberikan dana tersebut pikiran tetap dipenuhi dengan pikiran yang baik,
penuh kegembiraan dan kesenangan, tidak menyesal karena telah melakukannya.
Dalam kasus ini dapat dicontohkan, seorang ibu memiliki niat untuk berdana
makan siang kepada anggota saṅgha.
Pertama ibu tersebut melakukan persiapan, misalnya dengan memasak makanan yang
akan didanakan. Saat akan memasak makanan tersebut, pikiran si ibu dipenuhi
dengan kesenangan – kegembiraan karena melakukannya, dan disertai dengan
pikiran-pikiran baik, pikiran baik karena akan melakukan dana makanan kepada
anggota saṅgha. Ketika selesai memasak
dan akan memberikannya, pikiran tetap terjaga pada hal-hal baik, perasaan
senang dan gembira ada pada dirinya. Ketika ibu tersebut memberikan dana
makanannya ia bergembira dan memenuhi pikiran dengan harapan semoga dana
makanannya bermanfaat. Setelah memberikan atau menyerahkan makanan ibu tersebut
sangat bergembira karena telah melakukannya, dan perasaan itu berlangsung
sampai berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Itulah yang merupakan karakteristik
berdana dengan pikiran-pikiran baik.
Dikatakan
dalam Anguttara Nikāya V.34: Siha Sutta, manfaat
dari berdana adalah disukai dan dikagumi banyak orang, dikagumi dan didekati
para bijaksana, reputasi kebaikannya tersebar luas, dapat bersosialisasi dengan
semua golongan dengan penuh percaya diri, dan terlahir di alam dewa setelah
meninggal. Selain itu dalam Saṁyutta
Nikāya X.12, dikatakan salah satu manfaat berdana adalah mempererat
persahabatan. Untuk itulah, melakukan dana atau berdana adalah perbuatan baik
pelakunya dikatakan pelaku kebajikan. Setelah melakukan dana akan mendapatkan
manfaat – manfaat yang telah disebutkan sebelumnya. Dari manfaat itulah pelaku
kebajikan akan mendapatkan kekuatan yang akan melindunginya, dari berbagai
macam ketakutan dan kekhawatiran. Misalnya dengan ia dikagumi oleh banyak
orang, lalu menjadi penuh percaya diri, dan memiliki persahabatan yang baik,
ketika ia akan melangkah melakukan sesuatu, ia tidak akan pernah ragu, karena
ia akan berfikir “teman-teman saya tidak akan mengecewakan saya, dan mereka
sudah percaya saya, sehingga apa yang akan saya lakukan, jika baik, mereka akan
setuju.” Itulah yang membuatnya memiliki kekuatan yang mampu melindunginya dari
keraguan.
2.
Sīla
Dalam
bahasa pāḷi, sīla diartikan sebagai moralitas. Sila juga dikatakan sebagai alat
bantu bagi seseorang agar mamampu hidup teratur dan terkendali, sehingga
memungkinkan untuk terhindar dari perbutan-perbuatan yang tidak baik atau tidak
disenangi banyak orang, baik itu melalui perbuatan badan jasmani atau melalui
ucapan. Definisi sīla dalam paṭisambidāmagga I.44 dikatakan sīla adalah kehendak hati (cetana), sīla adalah faktor mental (cetasika),
sīla adalah pengendalian (saṁvara), dan sila adalah tanpa
pelanggaran. Sīla sebagai kehendak
hati ada pada seseorang ketiaka ia berusaha menghindari perbuatan-perbuatan
yang tidak baik, yang mengarah pada pelanggaran dari pañcasīla – pembunuhan, pencurian, perbuatan asusila, perkataan
tidak benar, dan hilangnya kesadaran karena minum-minuman memabukan. Sīla sebagai faktor mental adalah ketika
ia mampu berbicara dengan benar (sammāvāca),
memiliki perbuatan benar (sammākammanta),
dan penghidupan benar (sammāājīva).
Bicara benar adalah menghindari bicara salah dan perbuatan benar adalah
menghindari perbuatan salah. Terakhir adalah sīla sebagai pengendalian, yaitu melakukan segala sesuatu dengan
penuh pengendalian agar tidak terjadinya pelanggaran (seperti yang dijelaskan
pada sīla sebagai kehendak hati).
Dalam hal ini dapat dilakukan dengan pengendalian indria (indriya-saṁvara), mengendalikan mata dari objek-objek yang
menyenangkan, mengendalikan hidung melalui bau-bau yang membuat senang, dan
mengendalikan lidah dari rasa-rasa yang enak, yang memuaskan diri. Selain itu
ada juga pengendalian dengan kesabaran, artinya ketika dihadapkan pada situasi
yang tidak menyenangkan atau situasi sulit, kita diminta untuk sabar dalam
menghadapinya.
Karakteristik dasar dari sīla adalah mampu mengendalikan perbuatan badan jasmani dan ucapan,
sehingga tidak terjadinya pelanggaran yang mengarah pada ketercelaan. Dari hal
itulah dapat dilihat bahwa fungsi dari sīla
adalah mengarahkan seseorang untuk hidup bebas dari cela, dan terhindar dari
terjadinya tindakan buruk atau menghentikan tindakan buruk yang sebelumnya
telah dilakukan. Sīla juga dapat
berfungsi sebagai alat kontrol sosial, dimana seseorang dalam kehidupan
sosialnya mampu terkendali, dan mampu bersosialisasi dengan baik, tanpa
merugikan diri sendiri, orang lain, dan lingkungannya. Landasan dasar dari
praktik sīla adalah hiri dan ottappa. Hiri adalah rasa malu untuk melakukan tindakan yang tidak
terpuji. Sedangkan ottappa adalah
takut akan akibat yang dihasilkan dari perbuatan yang tidak terpuji. Dengan
memiliki keduanya seseorang akan dengan mudah melaksanakan sīla secara baik, mengapa? Karena ketika seseorang, mempunyai
pikiran malu untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji, maka ia akan
menghindari pelanggaran atas sīla yang
ia latih. Salah satu contoh, ketika seseorang diajak untuk korupsi dalam sebuah
perusahaan, timbul perasaan malu didalam dirinya untuk melakukan perbuatan
tersebut, perasaan malu yang timbul itulah yang menekan dirinya untuk tidak
ikut melakukan korupsi, sehingga ia terhindar dari pelanggaran sīla yang ia latih dan bebas dari cela.
Sementara orang yang memiliki ottappa
ia akan hidup penuh dengan pertimbangan. Dalam setiap perbuatannya orang yang
memiliki ottappa akan
mempertimbangkan akibat yang diterima ketika ia melakukan suatu perbuatan.
Misalnya, “bila saya melakukan perbuatan yang tidak baik, mencuri, keluarga
saya ikut tercemar nama baiknya, keluarga saya akan dikucilkan oleh orang lain,
karena memiliki keturunan pencuri. Oleh sebab itu saya tidak akan melakukan
perbuatan tersebut, karena saya tau dampaknya tidak baik, bagi saya dan
keluarga saya.”
Banyak manfaat yang diperoleh
seseorang ketika ia melatih dan melaksanakan sīla dengan baik. Salah satu manfaat yang dijelaskan ada pada Mahāparinibbāna Sutta – Dīgha Nikāya 16,
dikatakan ada lima manfaat yang akan diterima seseorang ketika melaksanakan sīla; (1) mendapat kekayaan yang
berlimpah melalui usaha yang giat, (2) reputasi baik tersebar luas, (3) penuh
percaya diri, (4) meninggal dengan tenang, dan (5) setelah meninggal terlahir
di alam yang lebih baik. Visuddhimagga I.
109 dan 116, mengisahkan
bagaimana dengan pelaksanaan sīla
yang baik dapat membantu dalam menyembuhkan penyakit. Dengan kata lain, manfaat
yang akan diteima oleh pelaksana sīla
sebagai pelaksana kebajikan sangatlah banyak, dan dari manfaat-manfaat tersebut
dapat membangun sebuah kekuatan bagi pelaksananya untuk terhindar dari hal-hal
yang tidak baik. Misalkan seseorang yang tidak pernah mencuri dan berbohong, ia
akan dipercaya oleh orang lain, sementara ia juga akan terhindar dari
hukuman-hukuman akibat pencurian. Atau jika ia dituduh mencuri dan berbohong,
karena kejujurannya dan banyak orang yang percaya terhadapnya akan menjadikan
suatu kekuatan, kekuatan yang akan melindungi dirinya dari tuduhan-tuduhan
tersebut. Orang yang tidak pernah mabuk, tentu ia akan memiliki kekuatan untuk
melindunginya, yaitu kekuatan kesadaran, kesadaran ia akan terkendali, tidak
mudah lengah dan selalu waspada. Itulah yang dikatakan, pelaku kebajikan dari sīla akan membangun kekuatan dan
perlindungan bagi dirinya.
3.
Samādhi
Samādhi dalam Kamus Umum Buddha Dhamma diartikan sebagai
pemusatan, atau pemusatan pikiran pada suatu objek. Samādhi atau bhāvanā
merupakan corak tersendiri yang menjadikan Buddhisme berbeda dengan yang
lainnya. Samādhi merupakan tahapan
lebih lanjut ketika seseorang berusaha mencapai suatu pembebasan dari hancurnya
kotoran-kotoran batin, selain ditunjang oleh sīla dan perbuatan baik lainnya. Samādhi yang benar (sammā-samādhi)
adalah pemusatan pikiran pada objek yang dapat menghilangkan kotoran batin.
Sedangkan samādhi yang salah (micchā-samādhi) adalah pemusatan pikiran
pada objek yang dapat menimbulkan kotoran batin. Pelaksanaan samādhi dapat ditunjang dengan berbagai
macam hal, misalnya tempat yang baik, waktu yang tepat, dan kesehatan yang
cukup.
Samādhi dalam Buddhisme dikenal ada dua macam, yaitu samatha-bhāvanā (pengembangan ketenangan
batin) dan vipassanā-bhāvanā (pengembangan
pandangan terang). Samatha-bhāvanā (pengembangan
ketenangan batin) bertujuan untuk memperoleh ketenangan, dalam hal ini pikiran
hanya terpusat dan tertuju pada satu objek. Jadi pikiran tidak mengembara
kemana-mana, tidak berhamburan kesegala penjuru, pikiran tidak melamun, dan
tidak mengembara tanpa tujuan. Samatha-bhāvanā
hanya dapat memotong secara sementara kotoran batin, tidak secara
menyeluruh. Dengan demikian samatha-bhāvanā
hanya mengkondisikan seseorang mencapai tingkatan pada jhāna-jhāna, dan mencapai berbagai kemampuan batin. Sementara vipassanā-bhāvanā (pengembangan
pandangan terang) bertujuan untuk menyadari kotoran batin yang ada pada dalam
diri, dan kemudian dibasmi sampai keakar-akarnya, sehingga orang yang
melaksanakan vipassanā-bhāvanā dapat
melihat kehidupan sebagaimana kehidupan ini adanya. Bahwa kehidupan ini
dicengkram oleh anicca (ketidak
kekalan), dukkha (ketidak
puasan/derita), dan anatta (tanpa
aku/tidak ada yang berdiri tunggal). Demikianlah vipassanā-bhāvanā akan membawa seseorang pada pembebasan sempurna,
pencapaian nibbāna.
Manfaat
yang akan diperoleh seseorang ketika melatih samatha-bhāvanā pada kehidupan ini adalah mencegah stres,
mendapatkan keseimbangan/keselarasan batin untuk melaksanakan pekerjaan
sehari-hari dengan baik. Sementara manfaat lainnya dalam pencapaian jhāna adalah diperolehnya kemampuan
batin (abhiññā) atau kesaktian. Lalu
manfaat dari pelaksanaan vipassanā-bhāvanā
tidak lain adalah hancurnya kotoran batin atau pencapaian nibbāna.
Oleh
karena itu, pelaku kebajikan dari samādhi
akan membangun kekuatan yang akan melindunginya dari ketakutan, kegelisahan,
dan bahaya-bahaya. Mengapa demikian, karena dengan seseorang tekun melaksanakan
samādhi ia akan memiliki pikiran yang
tenang, mudah terkendali, dan bebas dari kegelisahan. Pikiran yang terkendali
dan tidak mudah gelisah, ketika dihadapkan pada suatu persoalan ia akan dengan
mudah menyelesaikannya, ada kekuatan dibalik pikiran yang tenang yang mampu
menyelesaikannya. Dalam Dhammapada
I.1 dikatakan ”pikiran adalah pelopor
dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk.” Artinya
dengan pikiranlah ia akan membentuk prilaku dan kondisi-kondisi yang ada pada
dirinya, pikiran yang tenang, pikiran yang terlatih, akan dengan mudah
menciptakan kondisi yang baik, akan dengan mudah membangun kekuatan saat kita
membutuhkannya, mudah diatur dan mudah diarahkan. Sebab itulah kita diminta
tidak lalai dan menyia-nyiakan kehidupan kita, dimana kita terlahir sebagai
manusia.
Kesimpulan
Dikatakan
sebagai pelaku kebajikan adalah ketika seseorang melakukan perbuatan yang bajik
– yang baik, yang tentunya akan mendatangkan manfaat. Manfaat yang didapatkan
akan membangun suatu kekuatan bagi dirinya, bagi orang tersebut. Melakukan
kebajikan berupa dāna – sīla – samādhi merupakan
suatu kebajikan yang sangat tinggi, terlebih ketiganya dilakukan secara
bersamaan, bukan salah satu terlebih dahulu lalu meninggalkan yang lainnya.
Seluruhnya, dari ketiga hal tersebut merupakan kesatuan, tidak hanya dilakukan
sekali – duakali, atau tigakali, tetapi dilakukan berkali-kali secara bertahap
dan menyambung, sehingga manfaat yang diharapkan akan mudah untuk dirasakan.
Ibaratkan seseorang membangun kekuatan perlindungan, membangun benteng atau
pagar. Tentu batu bata yang dibutuhkan untuk membangunnya, tidak hanya satu
atau dua tumpuk, tetapi bertumpuk-tumpuk hingga tinggi, sehingga akan
benar-benar melindungi apa yang ada dibaliknya. Sebaliknya jika disusun hanya
satu, dua, atau tiga tumpuk, benteng atau pagar tersebut akan mudah dibobol
atau diterobos oleh orang lain yang ingin menghancurkan apa yang ada
dibaliknya. Untuk itulah, melakukan kebajikan tidak cukup hanya pada saat
momen-momen tertentu, tetapi sepanjang hari, sepanjang kita mampu untuk
melakukannya, sepanjang itulah perbuatan baik harus dilakukan. Karena dengan
melakukan kebajikan, pelaku kebajikan akan membangun perlindungan bagi dirinya
sendiri, bukan orang lain atau oleh makhluk lain. Jangan pernah lelah melakukan
kebajikan, karena sudah selayaknya kebajikan kita lakukan dalam kehidupan ini.
Mendut, 6 Agustus 2014. 22.13 WIB
Sumber:
-
Kaharuddin, Pandit Jinaratana. 2004. Kamus Umum Buddha Dhamma (Pāli – Sansekerta – Indonesia). Tri Sattva Buddhist Center, Jakarta.
-
Sikkhānanda, Bhikkhu. 2010. Dāna. Vihāra Padumuttara, Tanggerang.
-
Sikkhānanda, Bhikkhu 2012. Sīla. Vihāra Padumuttara, Tanggerang.
-
Tim penyusun, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta.
- Tim
Penyusun. 2013. Kitab Suci Dhammapada.
Penerbit Bahussuta Society, Singkawang Selatan. (Penerjamah Indonesia: YM. Phra
Rājavarācāriya ‘Bhante Win Vijāno’, Penerjemah Inggris: Ven. Acharya
Buddharakkhita, dan Penerjemah Mandarin: Ven. Bhikkhu Dhammavaro ‘Fa Zhen’)
-
_______. 2012. Paritta
Suci. Yayasan Saṅgha Theravāda Indonesia, Jakarta.
-
_______. ____. Samādhi.
Lembaga Pendidikan Saṅgha, Mendut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar