Sabtu, 23 Agustus 2014

PELAKU KEBAJIKAN MEMBANGUN KEKUATAN YANG MELINDUNGI



(Oleh Sāmaṇera Guṇapiyo)


Attā hi attano nātho
Ko hi nātho paro siyā
Attanā hi sudantena
nāthaṁ labhati dullabhaṁ.

“Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi dirinya sendiri,
Karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya?
Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik,
Ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh amat sukar dicari.”
(Dhammapada:1)

Manusia mana di dunia ini yang tidak ingin memiliki suatu kekuatan yang mampu melindungi dirinya. Melindungi dari berbagai macam bahaya, ancaman, dan bahkan bencana alam sekalipun. Dari keinginan itulah setiap orang berusaha mencari yang namanya perlindungan – mencari kekuatan lebih, dan bukan lain untuk memberikan rasa aman, bebas dari ketakutan, dan ketenangan bagi dirinya. Orang-orang kaya mencari kekuatan untuk melindungi dengan cara membayar petugas keamanan, satpam atau bodyguard. Para pemimpin negara tentu memiliki juga pengamanan untuk melindunginya, di Indonesia dikenal ‘Paspampres’ atau Pasukan pengawal presiden. Secara alami ketika hujan manusia mencari perlindungan agar tidak basah karena air hujan. Ketika panas manusia pada umumnya mencari tempat untuk berteduh dari terik matahari. Menggunakan pakaian untuk melindungi tubuh, mengenakan alas kaki untuk melindungi kaki, dan lain sebagainya. Namun apakah perlindungan itu bersifat permanen? Apakah semua alat atau kekuatan tersebut mampu melindungi mereka dari segala macam ancaman?
Dalam Dhammapada dikatakan “Attā hi attano nātho,” yang berarti “diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri.” Dalam hal inilah Buddhisme menekankan, bahwa sesunggunya perlindungan atau kekuatan yang paling baik ada di dalam diri, bukan di luar diri ­– di gunung-gungung, di gua-gua, atau di hutan-hutan. Lalu bagaimana cara untuk membangun kekuatan untuk melindungi yang ada pada dalam diri kita, membangun potensi yang sudah ada, menggembangkannya sehingga dapat kita gunakan.

Pada Khuddakanikāya, Khuddakapāṭha - Nindhikaṇḍa Sutta dikatakan “Yassa dānena sīlena, saññamena damena ca, nidhi sunihito hoti, sabbametaṁ vinassati,” yang berarti “harta karun berupa kebajikan dengan berdana, bertata susila, dan dengan pencegahan dan penahanan diri dari keburukan adalah pemendaman harta karun yang baik bagi wanita atau pun pria.” Artinya ketika seseorang yang mampu melaksanakan kebajikan berupa dāna – sīla – samādhi maka ia akan mampu membangun kekuatan untuk melindungi dirinya dari segala macam bencana. Sumber dari kekuatan itu ada pada usaha gigih, semangat, dan pengembangan secara terus menerus pada diri kita. Mengapa dengan melaksanakan dāna – sīla – samādhi dapat membangun kekuatan bagi diri kita? Sehingga dapat melindungi dari berbagai macam ketakutan.
1.      Dāna
Dana berasal dari bahasa pāḷi Dāna’ yang berarti dana, amal, sedekah, pemberian, atau hadiah. Kata dana dalam bahasa umum (Indonesia) diartikan juga sebagai uang (modal). Dalam kegiatannya istilah dana disebut sebagai berdana, atau yang dalam istilah Buddhis dikatakan melakukan suatu perbuatan baik, yang dapat dilakukan melalui, perbuatan badan jasmani, pikiran, dan ucapan. 
Dana dalam Buddhisme dikategorikan sebagai landasan yang mendasar dan mempunyai peranan yang sangat penting. Mengapa dana dikatakan sebagai landasan yang mendasar, karena dana ini dapat kita temukan di berbagai macam pengelompokan Dhamma, misalnya saja pada dasa-pāramī atau pada dasa-puññakiriyavatthu. Praktik berdana menjadi sangat mendasar karena dana sudah banyak dikenal, dan mudah dilakukan, sehingga tidak menjadi asing pagi setiap orang. Dana menjadi mudah dilakukan karena dana dapat dilakukan kapan saja, dimana saja, dan dalam waktu apapun.
Karekteristik dari berdana adalah pelepasan atau penyerahan. Artinya ketika dana dilakukan di saat itulah ada unsur melepas, tidak terikat dengan apa yang diberikan, dan tidak memikirkan kemana barang itu setelah diberikan, cukup melepas dengan pikiran baik – penuh kegembiraan, dan tidak gelisan setelah memberikannya. Ada juga beberapa  karakteristik dimana dana dikatakan sebagai dana yang baik. Pertama sebelum memberikan pikiran diisi dengan pikiran yang baik, ada kesenangan dan kegembiraan. Kedua, saat memberikan dilakukan dengan pikiran baik dan disertai kegembiraan dalam melakukannya. Ketiga, setelah memberikan pikiran tetap diisi dengan pikiran yang baik, dan penuh kesenangan karena telah melakukannya (memberi). Keempat, setelah beberapa hari memberikan dana tersebut pikiran tetap dipenuhi dengan pikiran yang baik, penuh kegembiraan dan kesenangan, tidak menyesal karena telah melakukannya. Dalam kasus ini dapat dicontohkan, seorang ibu memiliki niat untuk berdana makan siang kepada anggota saṅgha. Pertama ibu tersebut melakukan persiapan, misalnya dengan memasak makanan yang akan didanakan. Saat akan memasak makanan tersebut, pikiran si ibu dipenuhi dengan kesenangan – kegembiraan karena melakukannya, dan disertai dengan pikiran-pikiran baik, pikiran baik karena akan melakukan dana makanan kepada anggota saṅgha. Ketika selesai memasak dan akan memberikannya, pikiran tetap terjaga pada hal-hal baik, perasaan senang dan gembira ada pada dirinya. Ketika ibu tersebut memberikan dana makanannya ia bergembira dan memenuhi pikiran dengan harapan semoga dana makanannya bermanfaat. Setelah memberikan atau menyerahkan makanan ibu tersebut sangat bergembira karena telah melakukannya, dan perasaan itu berlangsung sampai berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Itulah yang merupakan karakteristik berdana dengan pikiran-pikiran baik.
Dikatakan dalam Anguttara Nikāya V.34: Siha Sutta, manfaat dari berdana adalah disukai dan dikagumi banyak orang, dikagumi dan didekati para bijaksana, reputasi kebaikannya tersebar luas, dapat bersosialisasi dengan semua golongan dengan penuh percaya diri, dan terlahir di alam dewa setelah meninggal. Selain itu dalam Saṁyutta Nikāya X.12, dikatakan salah satu manfaat berdana adalah mempererat persahabatan. Untuk itulah, melakukan dana atau berdana adalah perbuatan baik pelakunya dikatakan pelaku kebajikan. Setelah melakukan dana akan mendapatkan manfaat ­– manfaat yang telah disebutkan sebelumnya. Dari manfaat itulah pelaku kebajikan akan mendapatkan kekuatan yang akan melindunginya, dari berbagai macam ketakutan dan kekhawatiran. Misalnya dengan ia dikagumi oleh banyak orang, lalu menjadi penuh percaya diri, dan memiliki persahabatan yang baik, ketika ia akan melangkah melakukan sesuatu, ia tidak akan pernah ragu, karena ia akan berfikir “teman-teman saya tidak akan mengecewakan saya, dan mereka sudah percaya saya, sehingga apa yang akan saya lakukan, jika baik, mereka akan setuju.” Itulah yang membuatnya memiliki kekuatan yang mampu melindunginya dari keraguan.

2.      Sīla
Dalam bahasa pāḷi, sīla diartikan sebagai moralitas. Sila juga dikatakan sebagai alat bantu bagi seseorang agar mamampu hidup teratur dan terkendali, sehingga memungkinkan untuk terhindar dari perbutan-perbuatan yang tidak baik atau tidak disenangi banyak orang, baik itu melalui perbuatan badan jasmani atau melalui ucapan. Definisi sīla dalam paṭisambidāmagga I.44 dikatakan sīla adalah kehendak hati (cetana), sīla adalah faktor mental (cetasika), sīla adalah pengendalian (saṁvara), dan sila adalah tanpa pelanggaran. Sīla sebagai kehendak hati ada pada seseorang ketiaka ia berusaha menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, yang mengarah pada pelanggaran dari pañcasīla – pembunuhan, pencurian, perbuatan asusila, perkataan tidak benar, dan hilangnya kesadaran karena minum-minuman memabukan. Sīla sebagai faktor mental adalah ketika ia mampu berbicara dengan benar (sammāvāca), memiliki perbuatan benar (sammākammanta), dan penghidupan benar (sammāājīva). Bicara benar adalah menghindari bicara salah dan perbuatan benar adalah menghindari perbuatan salah. Terakhir adalah sīla sebagai pengendalian, yaitu melakukan segala sesuatu dengan penuh pengendalian agar tidak terjadinya pelanggaran (seperti yang dijelaskan pada sīla sebagai kehendak hati). Dalam hal ini dapat dilakukan dengan pengendalian indria (indriya-saṁvara), mengendalikan mata dari objek-objek yang menyenangkan, mengendalikan hidung melalui bau-bau yang membuat senang, dan mengendalikan lidah dari rasa-rasa yang enak, yang memuaskan diri. Selain itu ada juga pengendalian dengan kesabaran, artinya ketika dihadapkan pada situasi yang tidak menyenangkan atau situasi sulit, kita diminta untuk sabar dalam menghadapinya.
            Karakteristik  dasar dari sīla adalah mampu mengendalikan perbuatan badan jasmani dan ucapan, sehingga tidak terjadinya pelanggaran yang mengarah pada ketercelaan. Dari hal itulah dapat dilihat bahwa fungsi dari sīla adalah mengarahkan seseorang untuk hidup bebas dari cela, dan terhindar dari terjadinya tindakan buruk atau menghentikan tindakan buruk yang sebelumnya telah dilakukan. Sīla juga dapat berfungsi sebagai alat kontrol sosial, dimana seseorang dalam kehidupan sosialnya mampu terkendali, dan mampu bersosialisasi dengan baik, tanpa merugikan diri sendiri, orang lain, dan lingkungannya. Landasan dasar dari praktik sīla adalah hiri dan ottappa. Hiri adalah rasa malu untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji. Sedangkan ottappa adalah takut akan akibat yang dihasilkan dari perbuatan yang tidak terpuji. Dengan memiliki keduanya seseorang akan dengan mudah melaksanakan sīla secara baik, mengapa? Karena ketika seseorang, mempunyai pikiran malu untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji, maka ia akan menghindari pelanggaran atas sīla yang ia latih. Salah satu contoh, ketika seseorang diajak untuk korupsi dalam sebuah perusahaan, timbul perasaan malu didalam dirinya untuk melakukan perbuatan tersebut, perasaan malu yang timbul itulah yang menekan dirinya untuk tidak ikut melakukan korupsi, sehingga ia terhindar dari pelanggaran sīla yang ia latih dan bebas dari cela. Sementara orang yang memiliki ottappa ia akan hidup penuh dengan pertimbangan. Dalam setiap perbuatannya orang yang memiliki ottappa akan mempertimbangkan akibat yang diterima ketika ia melakukan suatu perbuatan. Misalnya, “bila saya melakukan perbuatan yang tidak baik, mencuri, keluarga saya ikut tercemar nama baiknya, keluarga saya akan dikucilkan oleh orang lain, karena memiliki keturunan pencuri. Oleh sebab itu saya tidak akan melakukan perbuatan tersebut, karena saya tau dampaknya tidak baik, bagi saya dan keluarga saya.”
            Banyak manfaat yang diperoleh seseorang ketika ia melatih dan melaksanakan sīla dengan baik. Salah satu manfaat yang dijelaskan ada pada Mahāparinibbāna Sutta – Dīgha Nikāya 16, dikatakan ada lima manfaat yang akan diterima seseorang ketika melaksanakan sīla; (1) mendapat kekayaan yang berlimpah melalui usaha yang giat, (2) reputasi baik tersebar luas, (3) penuh percaya diri, (4) meninggal dengan tenang, dan (5) setelah meninggal terlahir di alam yang lebih baik. Visuddhimagga I. 109 dan 116, mengisahkan bagaimana dengan pelaksanaan sīla yang baik dapat membantu dalam menyembuhkan penyakit. Dengan kata lain, manfaat yang akan diteima oleh pelaksana sīla sebagai pelaksana kebajikan sangatlah banyak, dan dari manfaat-manfaat tersebut dapat membangun sebuah kekuatan bagi pelaksananya untuk terhindar dari hal-hal yang tidak baik. Misalkan seseorang yang tidak pernah mencuri dan berbohong, ia akan dipercaya oleh orang lain, sementara ia juga akan terhindar dari hukuman-hukuman akibat pencurian. Atau jika ia dituduh mencuri dan berbohong, karena kejujurannya dan banyak orang yang percaya terhadapnya akan menjadikan suatu kekuatan, kekuatan yang akan melindungi dirinya dari tuduhan-tuduhan tersebut. Orang yang tidak pernah mabuk, tentu ia akan memiliki kekuatan untuk melindunginya, yaitu kekuatan kesadaran, kesadaran ia akan terkendali, tidak mudah lengah dan selalu waspada. Itulah yang dikatakan, pelaku kebajikan dari sīla akan membangun kekuatan dan perlindungan bagi dirinya.

3.      Samādhi
Samādhi dalam Kamus Umum Buddha Dhamma diartikan sebagai pemusatan, atau pemusatan pikiran pada suatu objek. Samādhi atau bhāvanā merupakan corak tersendiri yang menjadikan Buddhisme berbeda dengan yang lainnya. Samādhi merupakan tahapan lebih lanjut ketika seseorang berusaha mencapai suatu pembebasan dari hancurnya kotoran-kotoran batin, selain ditunjang oleh sīla dan perbuatan baik lainnya. Samādhi yang benar (sammā-samādhi) adalah pemusatan pikiran pada objek yang dapat menghilangkan kotoran batin. Sedangkan samādhi yang salah (micchā-samādhi) adalah pemusatan pikiran pada objek yang dapat menimbulkan kotoran batin. Pelaksanaan samādhi dapat ditunjang dengan berbagai macam hal, misalnya tempat yang baik, waktu yang tepat, dan kesehatan yang cukup.
Samādhi dalam Buddhisme dikenal ada dua macam, yaitu samatha-bhāvanā (pengembangan ketenangan batin) dan vipassanā-bhāvanā (pengembangan pandangan terang). Samatha-bhāvanā (pengembangan ketenangan batin) bertujuan untuk memperoleh ketenangan, dalam hal ini pikiran hanya terpusat dan tertuju pada satu objek. Jadi pikiran tidak mengembara kemana-mana, tidak berhamburan kesegala penjuru, pikiran tidak melamun, dan tidak mengembara tanpa tujuan. Samatha-bhāvanā hanya dapat memotong secara sementara kotoran batin, tidak secara menyeluruh. Dengan demikian samatha-bhāvanā hanya mengkondisikan seseorang mencapai tingkatan pada jhāna-jhāna, dan mencapai berbagai kemampuan batin. Sementara vipassanā-bhāvanā (pengembangan pandangan terang) bertujuan untuk menyadari kotoran batin yang ada pada dalam diri, dan kemudian dibasmi sampai keakar-akarnya, sehingga orang yang melaksanakan vipassanā-bhāvanā dapat melihat kehidupan sebagaimana kehidupan ini adanya. Bahwa kehidupan ini dicengkram oleh anicca (ketidak kekalan), dukkha (ketidak puasan/derita), dan anatta (tanpa aku/tidak ada yang berdiri tunggal). Demikianlah vipassanā-bhāvanā akan membawa seseorang pada pembebasan sempurna, pencapaian nibbāna.
Manfaat yang akan diperoleh seseorang ketika melatih samatha-bhāvanā pada kehidupan ini adalah mencegah stres, mendapatkan keseimbangan/keselarasan batin untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan baik. Sementara manfaat lainnya dalam pencapaian jhāna adalah diperolehnya kemampuan batin (abhiññā) atau kesaktian. Lalu manfaat dari pelaksanaan vipassanā-bhāvanā tidak lain adalah hancurnya kotoran batin atau pencapaian nibbāna.
Oleh karena itu, pelaku kebajikan dari samādhi akan membangun kekuatan yang akan melindunginya dari ketakutan, kegelisahan, dan bahaya-bahaya. Mengapa demikian, karena dengan seseorang tekun melaksanakan samādhi ia akan memiliki pikiran yang tenang, mudah terkendali, dan bebas dari kegelisahan. Pikiran yang terkendali dan tidak mudah gelisah, ketika dihadapkan pada suatu persoalan ia akan dengan mudah menyelesaikannya, ada kekuatan dibalik pikiran yang tenang yang mampu menyelesaikannya. Dalam Dhammapada I.1 dikatakan ”pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk.” Artinya dengan pikiranlah ia akan membentuk prilaku dan kondisi-kondisi yang ada pada dirinya, pikiran yang tenang, pikiran yang terlatih, akan dengan mudah menciptakan kondisi yang baik, akan dengan mudah membangun kekuatan saat kita membutuhkannya, mudah diatur dan mudah diarahkan. Sebab itulah kita diminta tidak lalai dan menyia-nyiakan kehidupan kita, dimana kita terlahir sebagai manusia.



Kesimpulan
            Dikatakan sebagai pelaku kebajikan adalah ketika seseorang melakukan perbuatan yang bajik – yang baik, yang tentunya akan mendatangkan manfaat. Manfaat yang didapatkan akan membangun suatu kekuatan bagi dirinya, bagi orang tersebut. Melakukan kebajikan berupa dāna – sīla – samādhi merupakan suatu kebajikan yang sangat tinggi, terlebih ketiganya dilakukan secara bersamaan, bukan salah satu terlebih dahulu lalu meninggalkan yang lainnya. Seluruhnya, dari ketiga hal tersebut merupakan kesatuan, tidak hanya dilakukan sekali – duakali, atau tigakali, tetapi dilakukan berkali-kali secara bertahap dan menyambung, sehingga manfaat yang diharapkan akan mudah untuk dirasakan. Ibaratkan seseorang membangun kekuatan perlindungan, membangun benteng atau pagar. Tentu batu bata yang dibutuhkan untuk membangunnya, tidak hanya satu atau dua tumpuk, tetapi bertumpuk-tumpuk hingga tinggi, sehingga akan benar-benar melindungi apa yang ada dibaliknya. Sebaliknya jika disusun hanya satu, dua, atau tiga tumpuk, benteng atau pagar tersebut akan mudah dibobol atau diterobos oleh orang lain yang ingin menghancurkan apa yang ada dibaliknya. Untuk itulah, melakukan kebajikan tidak cukup hanya pada saat momen-momen tertentu, tetapi sepanjang hari, sepanjang kita mampu untuk melakukannya, sepanjang itulah perbuatan baik harus dilakukan. Karena dengan melakukan kebajikan, pelaku kebajikan akan membangun perlindungan bagi dirinya sendiri, bukan orang lain atau oleh makhluk lain. Jangan pernah lelah melakukan kebajikan, karena sudah selayaknya kebajikan kita lakukan dalam kehidupan ini.
Mendut, 6 Agustus 2014. 22.13 WIB
Sumber:
-       Kaharuddin, Pandit Jinaratana. 2004. Kamus Umum Buddha Dhamma (Pāli – Sansekerta – Indonesia).  Tri Sattva Buddhist Center, Jakarta.
-       Sikkhānanda, Bhikkhu. 2010. Dāna. Vihāra Padumuttara, Tanggerang.
-       Sikkhānanda, Bhikkhu 2012. Sīla. Vihāra Padumuttara, Tanggerang.
-     Tim penyusun, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta.
-     Tim Penyusun. 2013. Kitab Suci Dhammapada. Penerbit Bahussuta Society, Singkawang Selatan. (Penerjamah Indonesia: YM. Phra Rājavarācāriya ‘Bhante Win Vijāno’, Penerjemah Inggris: Ven. Acharya Buddharakkhita, dan Penerjemah Mandarin: Ven. Bhikkhu Dhammavaro ‘Fa Zhen’)
-       _______. 2012. Paritta Suci. Yayasan Saṅgha Theravāda Indonesia, Jakarta.
-       _______. ____. Samādhi. Lembaga Pendidikan Saṅgha, Mendut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar